Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010  tentang Cagar Budaya disebutkan “Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya”. Sementara itu, zonasi dipahami sebagai penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pelestarian, zonasi merupakan tahapan penting yang perlu dilakukan sebagai bentuk pelindungan terhadap Cagar Budaya.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, telah sering dilakukan zonasi Cagar Budaya di beberapa situs purbakala yang terdapat di wilayah Indonesia. Kegiatan zonasi Cagar Budaya selama ini dilakukan oleh UPT Balai Pelestarian Cagar Budaya di setiap wilayah kerja masing-masing yang tersebar di Indonesia. Peraturan zonasi pada dasarnya adalah suatu alat untuk pengendalian yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap blok/zona peruntukan (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), dimana blok/zona peruntukan yang menjadi acuan ditetapkan melalui rencana rinci tata ruang.

Peraturan zonasi ini lebih dikenal dengan istilah populer zoning regulation. Zoning merujuk pada pembagian lingkungan kota ke dalam zona-zona pemanfaatan ruang. Dalam tiap zona tersebut ditetapkan pengendalian pemanfaatan ruang atau diberlakukan ketentuan hukum yang berbeda-beda. Adapun peraturan zonasi atau zoning regulation ini di beberapa negara diberlakukan dengan istilah yang berbeda-beda: zoning code, land development code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by law, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan penataan ruang di kawasan Cagar Budaya, peraturan zonasi ini menjadi penting artinya terutama yang berkenaan dengan upaya pemanfatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Cagar Budaya. Selama ini, implementasi rencana tata ruang yang telah disusun bukan merupakan suatu perkara yang mudah. Kepentingan publik dengan kepentingan pribadi serta kepentingan pelestarian seringkali berbenturan sehingga apa yang telah disusun dan ditetapkan dalam suatu rencana tata ruang tidak sejalan dengan pembangunan yang ada. Dalam kondisi ini, peraturan zonasi Cagar Budaya sebagai salah satu instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Cagar Budaya menjadi penting artinya, karena peraturan zonasi ini dapat menjadi rujukan dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, serta dapat menjadi panduan teknis dalam pengembangan/pemanfaatan ruang di kawasan Cagar Budaya. Dengan adanya acuan yang jelas serta operasional mengenai bagaimana suatu rencana tata ruang dapat diterapkan, maka persoalan penyimpangan pembangunan terhadap rencana tata ruang setidaknya dapat dihindari dan dicegah.

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa zonasi Cagar Budaya sangat erat kaitannya dengan pelestarian. Perlu dipahami pula bahwa pelestarian tidak hanya berorientasi masa lampau. Sebaliknya, pelestarian harus berwawasan ke masa kini dan masa depan, karena nilai-nilai penting itu sendiri diperuntukkan bagi kepentingan masa kini dan masa depan. Mengacu pada aspek pemanfaatan Cagar Budaya, tujuan pelestarian dapat diarahkan untuk mencapai nilai manfaat (use value), nilai pilihan (optional value), dan nilai keberadaan (existence value). Dalam hal ini, nilai manfaat lebih ditujukan untuk pemanfaatan Cagar Budaya pada saat ini, baik untuk ilmu pengetahuan, sejarah, agama, jatidiri, kebudayaan, maupun ekonomi melalui pariwisata yang keuntungannya (benefit) dapat dirasakan oleh generasi saat ini. Hal yang perlu dipahami dengan baik adalah, bahwa manfaat ekonomi ini bukanlah menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan Cagar Budaya sebagai objek wisata, tetapi merupakan dampak positif dari keberhasilan pemanfaatan Cagar Budaya dalam pariwisata.

Kerangka pikir pelestarian Cagar Budaya bertumpu pada dua aspek utama. Pertama, pelestarian terhadap nilai budaya dari masa lampau, nilai penting yang ada saat ini, maupun nilai penting potensial untuk masa mendatang. Kedua, pelestarian terhadap bukti bendawi yang mampu menjamin agar nilai-nilai penting masa lampau, masa kini, maupun masa mendatang dapat diapresiasi oleh masyarakat. Jadi pada hakekatnya, pelestarian Cagar Budaya harus berorientasi pada kepentingan Cagar Budaya yang berdampak positif pada masyarakat. Dalam kaitannya dengan zonasi, maka pelaksanaan zonasi harus berlandaskan pada perspektif pelestarian.

Sebagai tinggalan budaya manusia yang tak dapat diperbaharui dan lambat atau cepat pasti akan mengalami kerusakan. Sementara itu, situs ini juga menempati ruang tertentu (space) dalam kawasan dengan bentuk dan bentang lahan tertentu. Kondisi ini merupakan titik krusial yang dapat menjadi ancaman yang serius bagi kepentingan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan situs yang bersangkutan. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 Pasal 72 mengatur mengenai penetapan batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang dalam situs dan kawasan berdasarkan kajian, sedangkan Pasal 73 Ayat (3). Sistem zonasi dapat terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan/atau zona penunjang.

Salah satu upaya strategis yang dapat diupayakan dalam hubungannya dengan permasalahan di atas adalah pemintakatan (zonasi) situs. Hal ini karena kegiatan ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk menetapkan batas-batas mintakat situs dan pembuatan regulasi zonasi berkenaan dengan pemanfaatan ruang pada setiap mintakat. Dengan adanya pemintakatan situs, pada setiap mintakat dapat dirancang pemanfaatannya sesuai dengan fungsi masing-masing zona, dalam hal ini fungsi yang berhubungan dengan kepentingan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan situs.