Dunia arkeologi Sumatera Barat dihebohkan dengan adanya temuan dari masa Hindu-Buddha di Sungai Batang Sibinail Jorong III Padang Nunang, Nagari Lubuk Layang, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman pada hari Jumat 27 September 2019 sekitar pukul 16.00 WIB. Temuan ini sontak memberikan sinyal masih banyak tinggalan arkeologi di wilayah Pasaman, khususnya tinggalan dari masa Hindu-Buddha. Berdasarkan informasi awal yang telah didapatkan menyebutkan bahwa temuan ini ditemukan oleh pemuda setempat bernama Ipal dan Aad di Sungai Sibinail. Temuan ini bermula saat Ipal dan Aad pergi ke Sungai Sibinail untuk menangkap ikan (menjamah). Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan mencari ikan di sela-sela batu besar. Ketika itu,  mereka tertarik dengan bentuk batu yang tidak biasa, ketika di dekati benar saja permukaan batu seperti memiliki ukiran.  Akhirnya mereka berinisiatif untuk mengangkat arca, yang dari posisi berguling menjadi posisi berdiri. Setelah benar-benar yakin dengan temuan tersebut, mereka melapor ke warga lainnya, selang tidak berapa lama warga sudah mulai memadati area temuan. Hingga maghrib pun akhirnya pemuda berinisiatif untuk melakukan pengangkatan ke pinggiran sungai (kebun jagung), agar arca aman sembari menanti pihak berwenang. Kemudian, sekitar pukul 19.30 beberapa aparat dari Polsek dan Koramil melakukan peninjauan dan audiensi dengan masyarakat. Kemudian, Sabtu pagi, akhirnya warga memutuskan untuk membawa arca tersebut ke perkampungan.

Temuan tinggalan dari masa Hindu-Buddha di Kabupaten Pasaman sangat wajar. Hal ini didasarkan pada temuan-temuan baik berupa candi (Candi Tanjung Medan, Candi Koto Rao, Candi Pancahan, Candi Patani, Candi Tanjung Bariang), temuan arca, prasasti (Prasasti Ganggo Hilia, Prasasti Lubuk Layang (Kubu Sutan), dan temuan lainnya yang berasal dari masa Hindu-Buddha dari abad ke-13-14 Masehi. Selain itu, dalam Laporan Penelitian Arkeologi di Sumatera oleh Bennet Bronsen (et.al) tahun 1973 oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional serta The University of Pennsyvania Museum dijelaskan bahwa wilayah Pasaman memiliki tinggalan dari masa Hindu-Buddha yang cukup banyak. Temuan Arca Dwarapala dan Makara yang ditemukan sebelumnya di Sungai Batang Sibanail masih belum lengkap dan masih ada makara yang hilang dan mungkin berada di sungai yang sama. Temuan tersebut menurut informasi masyarakat berasal dari “Padang Laweh” (Padang Lawas ?).

Temuan sudah berada di Rumah Penduduk

Temuan yang ditemukan di Sungai Sibinail tersebut membuat masyarakat sekitar bertanya-tanya berkaitan dengan jenis temuan dan umur. Ada yang mengatakan dengan “patung” Hindu, kemudian adapula yang mengatakan dari masa Prasejarah. Namun, dalam ilmu arkeologi temuan ini dapat dikatakan sebagai makara. Dalam buku R. Cecep Eka Permana (2016) Kamus Isitilah Arkelogi-Cagar Budaya makara diartikan sebagai  hiasan berbentuk ikan berkepala gajah yang dimaksudkan sebagai penolak bala, dan sering dijumpai pada bangunan-bangunan candi khususnya pada pipi tangga, gapura, pintu, relung, dan pancuran air dan sebagai hiasan. Selain itu, dalam KKBI makara adalah binatang dalam cerita yang bersifat mitologis dengan rupa mengerikan yang dipakai sebagai motif hiasan, umumnya pada candi atau arca pada zaman dahulu, baik dikombinasi dengan kepala kala maupun tidak.

Namun secara umum, makara dapat diartikan sebagai salah satu unsur bangunan candi yang biasanya berpasangan dengan kala yang berwujud makhluk mitologi dengan variasi tertentu yang digambarkan dengan mulut terbuka lebar. Makara biasanya dipahatkan bersama-sama dengan kepala kala. Menurut Ery Sudewo (peneliti bidang kajian Arkeologi Hindu-Buddha Balai Arkeologi Sumatera Utara) memberikan penjelasan bahwa makara  merupakan makhluk air mitologis yang melambangkan dunia bawah.  Makara biasanya ditempatkan pada ujung pipi tangga candi. Namun, selain itu dibeberapa situs candi makara juga diletakkan pada bagian pintu masuk baik di  kanan kiri maupun ambang pintu masuk candi, pada relung candi, dan di ujung pipi tangga candi. Di bagian atas makara biasanya berasosiasi dengan kala yang diletakkan pada bagian atas pintu masuk bangunan candi. Kala-makara merupakan simbolisasi dari persatuan dari penguasa gunung (kala) dan laut (makara).

Temuan makara di Sungai Sibanail Padang Nunang merupakan makara yang berbentuk “gaja-mina” (kombinasi ikan dengan gajah). Gaja-mina adalah makhluk hibrida yang merupakan perpaduan antara gajah dan ikan.  Makara ini berukuran tinggi sekitar 110 cm terbuat dari bahan sandstone (batu pasir) yang banyak ditemukan di aliran Sungai Batang Sibinail. Dari morfologi, makara ini berbentuk kepala binatang dengan mulut terbuka lebar. Pada bagian samping digambarkan lengkungan belalai (gajah) yang hiasai motif flora, bagian atas  bulat membentuk ukel ke bawah. Penggambaran mata terkesan mata sipit dan telinga melengkung menyerupai kipas. Di atas makhluk yang berada di dalam mulut dipahatkan bentuk bunga dan benangsari. Pada sisi kiri dan kanan, terdapat beberapa motif hias sulur-suluran berbentuk lingkaran menyerupai kipas.  Pada bagian dalam mulutnya, terlihat pengambaran figur manusia yang sedang memegang senjata di tangan kanan dan perisai di tangan kiri dan posisi berdiri (prajurit). Menurut Ery Sudewo, dari temuan yang ada, secara morfologi temuan makara yang ditemukan di aliran Sungai Sibanail memiliki kesamaan dengan temuan makra-makara di percandian Padang Lawas Sumatera Utara, sehingga diperkirakan temua makara di Padang Nunang tersebut berusia antara abad ke-11 s.d 14 Masehi. Data tertulis pembuatan makara ini memang tidak ditemukan, namun kaitan temuan makara tersebut dapat kita lihat pada Prasasti Kubu  Sutan (Lubuk Layang) yang ditemukan tahun 1970-an. Prasasti Kubu Sutan berisi tentang penyebutan Bijayawarmma, seorang yauwa­suta Jayendrawarmma, moksam, yauwaraja Bijayen­dra­sekhara, pita­­ma­ha­­dara dan Śrī Indrakila­parwa­ta­puri. Pra­sasti ini dibuat un­tuk memperingati pembinaan kuil pemujaan nenek moyang dari raja yang memerintah, yaitu Bijaya­warmma. Terdapat seorang yuwaraja (raja muda) yang bernama Jayendrawarnan, beliau di gambarkan memiliki sifat selayaknya dewa/buddha.  Menelisik pada temuan sebelumnya, temuan arca dwarapala dan makara menunjukkan adanya keterkaitan. Karena pada umumnya, arca dwarapala dan makara ditempatkan pada bagian depan candi, tepatnya di sisi kanan dan kiri bangunan candi. Bangunan candi yang terdapat khususnya di Rao diperkirakan berlatar agama Buddha aliran aliran Tantrayana. Tantrayana adalah salah satu sekte dalam agama buddha yang berkembang di sumatera khususnya pada masa Adityawarman. Arca dwarapala ditempatkan di depan bangunan candi sebagai area penjaga, ditunjukkan dengan ciri-ciri peralatan yang dipegang oleh tangan kanannya yaitu sebuah gada, adapun laksana di tangan kirinya tidak diketahui karena sudah aus. Di bahu area tersebut juga terdapat upawita (tali kasta) berupa seekor ular. Laksana yang dipakai adalah sesuatu yang menyeramkan mengingat fungsi area tersebut sebagai area penjaga agar bangunan suci terhindar dari unsur-unsur yang tidak dikehendaki.

Menelisik lebih jauh bahwa penggambaran figur manusia untuk mulut makara banyak ditemukan pada  makara-makara candi Masa Sriwijaya , tetapi jenisnya berbeda-beda ada yang berbentuk figur prajurit (Padang Lawas, Padang Nunang), figur penjaga (candi Solok Sipin), da figur resi (makara candi di Bumiayu). Temuan figur prajurit dengan membawa senjata dan perisai ini juga ditemukan di makara-makara di Percandian Padang Lawas, figur penjaga yang memegang gada ditemukan di Candi Solok Sipin.

Dari data awal di atas, dirasa masih perlu dilakukan pelindungan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah koordinasi Direktorat Jenderal Kebudayaan mempunyai  tugas  melaksanakan  pelindungan,  pengembangan,  dan pemanfaatan serta fasilitasi pelestarian Cagar Budaya di wilayah kerjanya yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Kemudian, merujuk pula pada Undang-Undang  Nomor  11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalam Pasal 23 ayat 3 bahwa instasi yang berwenang di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap temuan didasarkan pada laporan baik laporan dari instansi kebudayaan di Pasaman dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini Kapolres Pasaman, dan instansi terkat lainnya. Pengkajian yang dimaksud diawali dengan bentuk kegiatan penjajakan atau survei penyelamatan. Survei penyelamatan sesuai dengan Pasal 58 ayat 1  bahwa Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk (a) mengecegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya; dan (b) mencegah pemindahan dan beralihanya kepemilikan dan/atau penguasa Cagar Budaya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Berpijak dari hal tersebut, maka BPCB Sumatera Barat akan melakukan penjajakan dan survei yang nantinya akan mengumpulkan seluruh data baik mengenai riwayat penemuan, identitas penemu, data arkeologis, dan data teknis lainnya. Dari data yang dikumpulkan dari penjajakan dan survei penyelamatan nantinya akan sebagai acuan dan landasan dalam melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan temuan makara di Padang Nunang tersebut di masa yang akan datang dengan selalu berlandaskan Undang-Undang  Nomor  11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.