Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang paling kaya dengan tinggalan prasasti dari masa Melayu Kuno, yakni sekitar abad XIII – XIV M. Prasasti-prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Adityawarman yang memerintah sejak awal sampai dengan seperempat akhir abad XIV M, yang jumlahnya sekitar 22 buah. Salah satu dari prasasti tersebut berada di jorong Kuburajo Nagari Limo Kaum, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Pada kompleks ini terdapat dua buah prasasti yang disebut sebagai Prasasti Kuburajo I dan Prasasti Kuburajo II. Sejak tahun 1877 Prasasti Kuburajo telah didaftarkan oleh N.J. Krom dalam “Inventaris der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden” (OV 1912:41). Selanjutnya sewaktu Kern pertama kali mempublikasikasikan penemuan prasasti ini pada tahun 1913, dimana dia menganggap prasasti ini merupakan prasasti dari kubur raja. Sementara Bosch membuat kesimpulan bahwa prasasti ini adalah prasasti di Kubu (Benteng) Raja. Di daerah Kuburajo tempat penemuan prasasti ini terletak pada daerah ketinggian dibandingkan dengan sekelilingnya sehingga lebih tepat daerah ini disebut sebagai Kubu Rajo dibandingkan Kubur Rajo.
Prasasti Kuburajo I
Prasasti Kuburajo I dipahatkan pada batu persegi, ditulis dengan huruf Jawa Kuno dengan bahasa Sanskerta. Penulisan dari manuskrip pada prasasti ini tidak terstruktur, dan banyak keanehan dalam tatabahasanya, teks manuskrip ini terdiri dari kata-kata tunggal dan majemuk tanpa struktur kalimat yang lengkap. Isi yang termuat dalam prasasti Kuburajo I berupa suatu keterangan genealogis atau garis keturunan Raja Adityawarman, antara lain menyebutkan: ‘Adwaya-warmma mputra kanakamedinindra’ yang berarti Adwayawarma yang berputra Raja Tanah Emas. Adwayabrahma dapat diidentifikasikan sebagai Adwaya-warman. Dari catatan sejarah dan naskah Jawa Kuna, diketahui bahwa Adityawarman merupakan keturunan kerajaan Melayu Dharmasraya dari seorang ibu Melayu bernama Dara Jingga dan seorang bangsawan Kerajaan Singasari bernama Adwayabrahma. Adwayabrahma adalah pejabat dari Kerajaan Singasari yang dikirim Krtanegara untuk mengiringi pengiriman arca Amoghapasa ke Suwarnabhumi. Sedangkan kalimat kanakamedini diidentikan dengan Swarnnabhumi atau swarnnadwipa yang mengacu pada arti tanah emas. Dengan demikian sebutan raja tanah emas ini diperuntukkan bagi Adityawarman.
Kalimat berikutnya arti dari kata-kata yang terpahat adalah berisi tentang syair pujian dari Adityawarman untuk menjelaskan kedudukan dan keutamaannya. Dalam keterangannya Adityawarman dianggap sebagai keturunan dari Wangsa Kulisadhara, yakni nama lain dari Dewa Indra atau Dewa Matahari. Adityawarman dianggap pula sebagai perwujudan dari Sri Lokeswara (Awalokiteswara).
Berikut ini teks dan penafsiran isi Prasasti Kuburajo I
- Oṃ māṃla (kalimat sapaan dalam agama Budha)
- virāga[ra] (dengan ikhlas)
- Ādvayavarmma [m]putra Kaṇakamedinī[ndra] (putra Adwayawarman, penguasa bumi emas (kanakamedini)
- śukṛtā[ā] vilabdha kusala(m) prasa(vati) (Dia yang telah menerima hasil dari jasanya)
- dhru(vati) maitrī karuṇā[ā] mudīta upekṣā[ā] (Yang teguh dan penuh dengan belas kasih, yang sabar dan menenangkan)
- yāca[k]kajaṇa kalpataru[r] upa[m]madāna (Yang murah hati bagaikan kalpataru yang memenuhi semua keinginan)
- Ādityavarmma mbhūpa kulisa dharavaṅśa (Adityawarman raja dari keluarga Indra)
- pratīkṣa avatāra śrī lokeśvara (Reinkarnasi dari sri lokeswar)a
- deva mai(trī) (Dewa yang penuh cinta kasih)
Prasasti Kuburajo II
Prasasti Kuburajo II disebut juga sebagai Prasasti Surya karena ditulis di sekeliling pahatan matahari yang diletakkan bagian tengah batu. Tulisan pada prasasti ini sudah cukup aus atau sudah menipis bagian hurufnya, ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dengan bahasa campuran, yaitu Sanskrta dan Jawa Kuno, terdiri dari delapan baris tulisan. Beberapa kata yang berhasil dibaca antara lain menyebut “rama” yang dapat berarti ketua desa atau mungkin dapat berarti yang lain sesuai dengan konteks kalimatnya, “puri” dan “sthana” yang berarti tempat peristirahatan di istana, dan “srima” yang merupakan penggalan dari kata sri maharaja. Prasasti ini tidak memiliki angka tahun, tetapi prasasti ini didukung oleh dua buah batu yang bergambar surya (prasasti Surya II), berupa pahatan tujuh helai daun, dan tiga buah kuncup bunga. Batu berhias surya yang berada di sisi barat ini merupakan batu yang mengandung angka tahun, yaitu berupa piktogram atau gambar yang mengandung nilai angka tertentu. Gambar ini merupakan Candrasengkala. Candrasengkala terdiri dari dua kata yaitu Candra yang artinya pernyataan dan Sengkala yang artinya angka tahun. Dengan demikian Candrasengkala adalah pernyataan yang berarti angka tahun, pada pengertian Candrasengkala ini merupakan pengertian umum. Candrasengkala terdiri dari dua macam yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala. Suryasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran bumi terhadap Matahari (Surya), sebagaai contoh adalah tahun Masehi. Sedangkan Candrasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran bulan (Candra) terhadap bumi, sebagai contoh adalah tahun Saka/Jawa dan tahun Hijriyah, sedangkan pengertian Candrasengkala yang ini kita sebut istilah khusus.
Candrasengkala juga disamakan dengan istilah yang lain yaitu Sengkalan yang berarti kalimat atau susunan kata-kata yang mempunyai watak bilangan untuk menyatakan suatu angka tahun. Sengkalan menurut jenisnya dibagi menjadi dua jenis yaitu Sengkalan Memet dan Sengkalan Lamba. Adapun Sengkalan Memet adalah Sengkalan yang berbentuk gambar, ukiran, relief, patung dan bentuk-bentuk semacamnya yang bermakna angka tahun. Candrasengkala atau Sengkalan Memet pada Prasasti Surya, masing-masing melambangkan sebagai berikut: gambar surya atau matahari bernilai = 12, tujuh helai daun bernilai = 7, dan tiga buah kuncup bunga bernilai= 3. Angka ini bila digabungkan dapat disusun angka tahun 1273 Saka atau 1351 M.
Selanjutnya terdapat pula batu yang bergambar kura-kura. Binatang ini dipahatkan dengan kepala di bawah, badan segi enam, lingkaran di tengah badan, dan ekor di atas disertai 2 garis lengkung mengapit bagian ekor.. Dari gambar tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut: lingkaran di tengah dapat disamakan dengan surya yang bernilai 12, badannya bernilai 6 , kepalanya bernilai 1. Dengan demikian tersusun angka tahun 1261 Saka atau 1339 M. Angka tahun ini merupakan angka tahun tertua dari semua prasasti yang dikeluarkan Adityawarman.
Catatan : Dirangkum dari Buku Budi Istiawan, Selintas Prasasti dari Melayu Kuno, Batusangkar, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, 2011 dan dari berbagai sumber.