Pelestarian Cagar Budaya bertumpu pada dua aspek utama. Pertama, pelestarian terhadap nilai budaya dari masa lampau, nilai penting yang ada saat ini, maupun nilai penting potensial untuk masa mendatang. Kedua, pelestarian terhadap bukti bendawi yang mampu menjamin agar nilai-nilai penting masa lampau, masa kini, maupun masa mendatang dapat diapresiasi oleh masyarakat. Hakekatnya, pelestarian Cagar Budaya harus berorientasi pada kepentingan Cagar Budaya yang berdampak positif pada masyarakat. Dalam kaitannya dengan zonasi, maka pelaksanaan zonasi harus berlandaskan pada perspektif pelestarian.

Sebagai tinggalan budaya manusia yang tak dapat diperbaharui dan lambat atau cepat pasti akan mengalami kerusakan. Sementara itu, objek ini menempati ruang tertentu (space) dalam kawasan dengan bentuk dan bentang lahan tertentu. Kondisi ini merupakan titik krusial yang dapat menjadi ancaman yang serius bagi kepentingan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan situs yang bersangkutan. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 Pasal 72 mengatur mengenai penetapan batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang dalam situs dan kawasan berdasarkan kajian, sedangkan Pasal 73 Ayat (3). Sistem zonasi dapat terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan/atau zona penunjang.

Situs Benteng Pulau Cingkuk merupakan salah satu objek yang potensial untuk dikembangkan khususnya dalam pariwisata maritim dan sejarah di Kabupaten Pesisir Selatan. Tahun 2020 ini akan dilakukan Penataan Pulau Cingkuk sebagai destinasi pariwisata oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat Republik Indonesia. Penataan Lingkungan yang dilakukan adalah upaya pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya yang ada Pulau Cingkuk. Untuk hal tersebut, diperlukan pelindungan Cagar Budaya khususnya Zonasi. Berdasarkan pada diuraikan diatas, maka dilakukan kegiatan Studi Zonasi dan Delinasi Cagar Budaya di Situs Cagar Budaya Pulau Cingkuk dalam rangka pelindungan Cagar Budaya dimasa yang akan datang dan juga dukungan teknis kegiatan Penataan Pulau Cingkuk oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat.

Pemaran Zonasi oleh Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Sumatera Barat Agoes Tri Mulyono

Hal ini disampaikan oleh Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Sumatera Barat Agoes Tri Mulyono

“Zonasi dan deliniasi yang dilaksanakan oleh BPCB Sumatera Barat terhadap Situs Benteng Pulau Cingkuak, merupakan salah satu bentuk pelestarian yang dilakukan BPCB terhadap Situs Pulau Cingkuak, dan juga mendukung rencana pengembangan kawasan Benteng Pulau Cingkuak sebagai salah satu tujuan atau destinasi pariwisata Lebih lanjut kasi PPP BPCB Sumatera Barat menyampaikan Situs Pulau Cingkuk memiliki peran penting dalam sejarah perjalanan perkembangan Kabupaten Pesisir Selatan serta keterkaitan dengan jalur rempah. Kegiatan zonasi ini merupakan wujud nyata BPCB Sumatera Barat dalam mengembangkan Cagar Budaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat melalui pariwisata.

peta overlay pulau Cingkuak dengan Peta lama peninggalan Belanda.

Pelaksana kegiatan Zonasi dan Delinasi Situs Cagar Budaya Pulau Cingkuk di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat dilaksanakan oleh 3 (tiga) orang yang berasal dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat yaitu  Yusfa Hendra Bahar, (Pamong Budaya Madya); Gilang Aditya (Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum) dan Dodi Chandra selaku arkeolog. Kegiatan dilaksanakan selama 6 (enam) hari dari tanggal 24 s.d. 29 Februari 2020.

Kegiatan Zonasi dan Delinasi Situs Cagar Budaya Pulau Cingkuk telah berhasil mengumpulkan data teknis dan arkeologis dari potensi Cagar Budaya yang ada di Pulau Cingkuk. Selain itu, telah dilakukan pula pengambilan foto udara melalui pesawat drone untuk pemetaan kondisi eksisting Pulau Cingkuk yang nantinya akan diselaraskan dengan perencanaan Penataan Pulau Cingkuk.

Benteng Pulau Cingkuak

Secara teknis membuat rencana zonasi pelindungan yang ideal bagi Cagar budaya diperlukan beberapa syarat ketersediaandata dan informasi berupa: (1) Peta topografi kawasan; (2) Peta kontur tanah; (3) Peta Tata Guna Tanah; (4) Peta lahan kepemilikan tanah (BPN); (5) Peta administrasi wilayah kabupaten dan kecamatan; (6) Hasil survei terakhir kondisi Cagar Budaya; dan (7) Data lain yang mendukung usaha penetapan zona.

Bekas Dermaga Pulau Cingkuak

Hasil yang dicapai dari kegiatan Zonasi dan Delinasi Situs Cagar Budaya Pulau Cingkuk ini adalah peta rekomendasi zonasi Pulau Cingkuk baik zona inti, zona penyangga, dan zona pengembangan, zona penunjang. Zona inti adalah ruang perlindungan mutlak (full protection area) yang seharusnya merupakan ruang terbukadan kosong dengan ketentuan regulasi zonasi yang berlaku dalam Undang-Undang Cagar Budaya. Penerapan zona penyangga atau buffer zone secara teknis adalah membentuk zona yang melindungi zona inti benda, struktur, bangunan dan situs cagar budaya. Zona ini seharusnya mempertahankan kondisi eksisting yang ada sekarang. Regulasi yang memungkinkan adalah fasilitas sangat terbatas yang hanya diperlukan bagi kebutuhanpelestarian konservasi Cagar Budaya. Penerapan zona pengembangan secara teknis adalah zona penggunaan lahan yang dikendalikan agar tidak mengganggu kelestarian cagar budaya. Zona ini dapat berupa area preservasi lingkungan, ruang terbuka hijau, daerah preservasi alam, lahan pertanian, dan perumahan penduduk. Penerapan zona penunjang secara teknis adalah area yang diperuntukan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

Salah satu Gerbang Benteng Di Pulau Cingkuak

Zonasi yang dilakukan dengan tetap menjalankan prinsip diantaranya: melindungi Cagar Budaya baik berupa ancaman dari luar maupun dari dalam dengan menentukan batas zona disesuaikan dengan kebutuhan;  mengutamakan keseimbangan dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan ruang serta rencana pengembangan; melestarikan lingkungan, memberdayakan masyarakat, menghormati budaya local termasuk hak ulayat, dan mewariskannya kepada generasi mendatang secara berkelanjutan; dan melakukan koordinasi lintas sektoral, antara lain dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan akademisi. ( Yusfa Hendra Bahar, Gilang Aditya dan Dodi Candra, Ed. A.R)