Pesona Agam dalam menyokong keindahan Sumatera Barat bukan sekedar cuitan. Di bumi penghasil pahlawan nasional ini terdapat sekitar 37 destinasi wisata yang bervariatif sehingga patut untuk dijelajahi. Wilayah ini memiliki banyak pusaka sejarah yang terwujud dalam objek bendawi. Salah satu kenangan masa lalu yang dimaksud adalah Makam Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
Makam bernomor inventaris 19/BCB-TB/A/11/2007 ini merupakan mediator yang berperan dalam membidik jejak Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan sebutan Haji Rasul atau HAKA. Sebagai salah satu ulama besar di Minangkabau, Haji Rasul sangat acuh pada kehidupan pendidikan dan politik bangsa. Ayah dari pejuang dan sastrawan Indonesia (Buya Hamka) ini mendapat julukan Inyiak De-er berkat gelar doktor honoris causa yang diperolehnya di Mesir.
Haji Rasul lahir pada 10 Februari tahun 1879 M di Maninjau. Ia adalah anak dari Syech Muhammad Amrullah seorang ulama besar di zamannya. Sebagai putra guru agama, Haji Rasul mengenal solat, puasa dan Alquran sejak usia dini. Untuk mempelajari Alquran, Haji Rasul berguru kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Fakih Sammun di Tarusan, Pesisir Selatan. Berbagai ihwal terkait Islam ditekuni oleh sang ulama, termasuk belajar menulis Arab, Nahwu dan Sharaf hingga memperdalam ilmu ke negeri Mekkah selama tujuh tahun.
Jejak Haji Rasul dalam menebarkan hawa Islam di Minangkabau terlihat dari kegiatannya membuka pengajian di Sungai Batang. Pada tahun 1911, Haji Rasul merangkul Muhammad Djamil Djambek, Muhammad Thaib Umar dan Abdullah Ahmad dalam menerbitkan Majalah Al-Munir di Padang. Majalah itu menyebar di seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka dan Pulau Jawa hingga menjadikan KH Ahmad Dahlan sebagai salah satu pelanggannya. Lewat media pembaruan gerakan Islam tersebut, sosok Haji Rasul atau Dr. H. Abdul Karim Amrullah ini menuangkan sentuhan pemikirannya. Sebagai ulama kondang di masanya, Sang Inyiak Rasul kerap diundang ke Bukittinggi dan Padang Panjang untuk memberi pengajian yang cukup diminati masyarakat. Saat menetap di Padang Panjang Haji Rasul rutin mengajar di Surau Jembatan Besi. Ia mendedikasikan segenap perjalanan hidupnya demi memperjuangkan Islam. Haji Rasul wafat pada 2 Juni 1945 di Jakarta. Menurut keterangan Buya Hamka, awalnya makam sang ayah berada di Jakarta, namun akhirnya dipindahkan ke Maninjau. Sang ulama menuntup usia dengan mewariskan 27 buku dan banyak murid untuk melanjutkan dakwahnya, satu diantaranya adalah putranya sendiri (Buya Hamka).
Kini, sang mualim telah tiada, namun segala eksistensinya dapat terbaca lewat sebuah makam yang berbentuk empat persegi. Tempat peristirahatan terakhir ini adalah fakta dalam membidik jejak sang aktor. Sebagai objek bernilai sejarah, makam ini difungsikan sebagai kawasan ziarah. Peran Haji Rasul sebagai penyebar Islam di Nagari Sei Batang menyebabkan makamnya dimiliki Nagari dan dikelola oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.
Makam Haji Rasul dikelilingi oleh perkebunan penduduk setempat. Kondisi makam tersebut berdiri pada lahan bergelombang . Komponen makam dan nisan terbuat dari batu kali yang direkatkan dengan semen. Demi mempertahankan usia bangunan, maka Kompleks makam dipagar dengan tembok dan diberi cungkup. Pintu masuk ke arah kompleks berada di sisi utara berhadapan dengan jalan di depannya. Sesuai denahnya, maka orientasi makam utara – selatan memiliki ukuran panjang 1,10 – 80m dan berdiameter 45 – 30 m. Hal yang menjadikan makam ini unik karena nisan nisannya berbentuk menhir yang sangat sederhana, pipih lebar, dan berukuran besar. Demi menghargai seorang ulama yang memiliki andil dalam memperjuangkan agama dan negara, hendaknya cagar budaya ini selalu dijaga kelestariannya demi memajukan pengetahuan, wawasan dan menambah kecintaan generasi penerus terhadap agama dan warisan budaya lokalnya (Merlina Agustina Orllanda).