Jauh sebelum penjelajah samudra menancapkan jangkar kapalnya di Kepulauan Nusantara, demokrasi telah tumbuh subur di Ranah Minang. Kehadiran medan nan bapaneh dan medan nan balinduang adalah anasir dari wujud demokrasi itu. 

Satu-dua peninggalan bersejarah ini masih bertahan di tengah kepungan zaman. Salah satunya adalah Balairung Sari Tabek di Nagari Tabek, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Bangunan tanpa dinding berukuran 18×4,4 meter ini diyakini sebagai balai adat tertua di Minangkabau yang dibangun pada abad ke-15 Masehi. 

Bagi orang Minang, balai ini dikenal sebagai medan nan balinduang. Kata medan mengandung arti sebagai tempat orang berkumpul, sementara balinduang mengandung makna tempat yang tertutup.  

Bangunan berbahan dasar kayu dan atap dari ijuk ini dimanfaatkan sebagai tempat bermusyawarah para pemuka adat untuk mengambil keputusan terkait ragam persoalan di tengah-tengah masyarakat. Sementara desain lantai panggung yang datar dan memanjang mengandung arti bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dalam bermusyawarah. Bangunan cagar budaya ini sekaligus merepresentasikan pepatah minang; “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”.  

Representasi nilai demokrasi lainnya adalah bentuk bangunan yang tidak memiliki sekat dan dinding penutup. Artinya, tidak ada hal yang dirahasiakan dalam proses diskusi dan pengambilan keputusan.  

Tapak-tapak peninggalan bersejarah ini membawa kita memahami zeitgeist atau jiwa zaman dalam alam demokrasi Indonesia di masa lampau, khususnya Sumatera Barat. Tentu tugas kita bersama untuk mewariskan alam pikir, nilai, narasi, dan objek peninggalan bersejarah bagi generasi berikutnya.