——Kisah Yengkie Bravo Juliet-6 (YBJ-6) sebuah perangkat radio telah menggugah peradaban dan kemanusiaan.
Sebuah pemancar radio yang menggemparkan dunia, melalui kata-katanya yang tersusun menjadi berita, membangkitkan semangat untuk bebas dari belenggu penjajahan, menjadikan harapan tentang sebuah kebebasan untuk kemerdekaan.
Di sebuah nagari di Lintau Buo Utara,
satu peristiwa sejarah telah tertoreh pada peradaban.
Banyak anak bangsa gugur demi merebut kemerdekaan.
Demi tumpah darah yang satu Indonesia
Sebuah karya teatrikal yang dipersembahkan pada hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 70 di Lapangan Cindua Mato, Batusangkar, 17 agustus 2015. Dipersembahkan oleh 210 pelaku teatrikal yang akan menapak tilas tentang lintasan sejarah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Lintau Buo Utara dengan judul :
“JALAN TERJAL KEMERDEKAAN : YENKIE BRAVO JULIET-6
PENYAMBUNG NADI BANGSA”
Walau sudah tiga tahun Indonesia merdeka (1948) namun kemerdekaan itu tak kunjung jua dirasakan, Belanda ingin mendapatkan kembali tanah air ini. Ibukota Republik Indonesia yang pada kala itu berada di Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda. Pemerintahan darurat yang yang dibentuk di Bukittinggi-pun tak luput dari kepungan tentara Belanda. Pemerintahan darurat yang kala itu dipimpin oleh Sjarifuddin Prawiranegara tak berdaya dan Sjarifuddin menyingkir ke Payakumbuh untuk membentuk PDRI pada tanggal 22 desember 1948 beserta susunan kabinetnya. Sejak saat itu PDRI dianggap lawan yang mengancam bagi Belanda.
Radio Yengkie Bravo Juliet-6 dengan frekuensi 3035 KC/8 menjadi corong PDRI dalam mendengar dan memberi kabar. Alat ini mampu menerima dan mengirim radiogram dan juga memonitor berita dalam maupun luar negeri. YBJ-6 menjadi senjata menghadapi musuh.
Belanda semakin merasuk ke pelosok wilayah. Belanda kian menusuk ke daerah pedalaman, terutama tempat-tempat yang diperkirakan menjadi lokasi persembunyian YBJ-6. Benar saja, karena seringnya mengudara, Belanda menangkap gelagat mencurigakan dari radio YBJ-6 melalui pengukur frekuensi radio yang dimilikinya.
Belanda menyerang melalui darat dan udara. Rombongan PDRI kembali bergerak. Perangkat yang cukup berat itu kembali digotong bergerilya ke arah yang tidak menentu. Meskipun dengan berjalan kaki siang malam. Meskipun keluar masuk hutan demi keamanan. Demi menjauhi jejak dari kecurigaan Belanda. Demi menyambung napas perjuangan bangsa.
Hingga, tibalah rombongan di Lareh Aia, Lubuak Jantan, Lintau Buo Utara.Tak peduli sekalipun perjalanan mesti menuruni tebing curam, menaklukan ngarai, menyeberangi jembatan gantung yang membelah aliran Batang Sinamar, yang deras, keruh dan riuh dalam amuk riam.
Akhirnya, di sebuah Rumah Gadang milik Inyiak Soma, di sanalah diinapkannya radio YBJ-6 selama tiga bulan. Januari hingga Maret 1949. Dari tempat itu pula, radio kembali dapat berhubungan dengan Sudarsono dan AA. Maramis yang tengah menghadiri konferensi PAN Asia di New Delhi. Disampaikanlah kondisi Indonesia yang masih ada sebagai negara berdaulat. Melalui tokoh-tokoh tersebut, disuarakan kembali keberadaan Republik Indonesia kepada PBB dan dunia Internasional.
Belanda memang terlalu cerdik. Keberadaan Radio YBJ-6 dapat mereka ketahui. Lagi. Lagi dan lagi. Rombongan bergerak ligat menuju tempat-tempat yang dirasa aman. Melalui Talang, melewati Sangki Tingga, menyisi di Koto Panjang, menerobos belukar Tanjung Bonai Aur, menjejaki hutan Tampurao, Sumpur Kudus, Silantai, Padang Lunggo, Bidar Alam dan banyak tempat lainnya.
Hingga, pada tanggal 1 Januari 1950. Radio YBJ-6 kembali dibawa ke Bukittinggi. Dan pada akhirnya, dimuseumkan di Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma, Ateh Ngarai, Bukittinggi.
Radio YBJ-6 amat berjasa dalam memberikan informasi Bahwa, Indonesia masih ada. Nadi negeri ini masih berdenyut!
Di dalam hingga luar negeri kabar terus disiarkan. Kabar yang mematahkan propaganda Belanda dan negara-negara lain, bahwa Indonesia telah menjadi abu setelah dibakar gelora Agresi Militer II. Akan tetapi… ternyata… Indonesia masih ada. Indonesia masih ada dengan debur sungai-sungai yang mengalir syahdu. Indonesia masih ada dengan cericit burung di reranting pohon yang tumbuh subur di tanahnya. Indonesia masih ada dengan julangnya gunung, bukit yang berbaris, laut yang menghampar seolah tanpa batas. Indonesia masih ada dengan jiwa-jiwa yang semakin matang memaknai arti kemerdekaan. Indonesia masih ada, dan akan selamanya ada!
Berabad-abad silam tanah persada berada dalam cengkraman penjajah
Mereka merebut warisan kekayaan alam nusantara
Mereka ingin memiliki tanah persada
Mereka telah menyisakan goresan luka di dada setiap anak negeri
Hingga muncul para pejuang dengan gigih dan berani memanggul senjata dan bambu runcing mempertahankan Pertiwi sampai mati
Mereka gagah berani di tengah-tengah medan laga yang ganas tak berperikemanusiaan
Sampai tinggal nama pun mereka tidak pernah berhenti untuk berseru
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
70 tahun sudah kini kami meneriakan “MERDEKAA..” dan Tanah Airku Indonesia kami berjanji akan selalu menjagamu dan demi para pahlawanku..
Galeri
Penggagas
Letnan Kolonel Armet Bagus Tri Kuntjoro, SH
Pelindung
Dandim Kodim 0307 Tanah Datar
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau
Penanggung Jawab
Mayor Inf Defi Deflijun, S. Sos.
Kapten Inf Yuliasman
Sutradara/Skenario/Naskah/Ide Cerita
Agoes Tri Mulyono
Asisten Sutradara
Yusuf
Bambang Rudianto
Azwar Sutihat
Ahmad Kusasih
Teknisi
Zulfian
Purwanto
Penata Musik
Dafriansyah Putra
Pembaca Puisi
Arinda Miranti
Pelaku
Pasukan Kodim Tanah Datar Korem 032/Wirabraja Kodam I/Bukit Barisan
Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (fkppi) Tanah Datar
Pemuda Panca Marga (PPM) Tanah Datar
SMA 1 Lintau
MAN 1 Sungayang
SMA 1 Batipuh
SMA 1 Sungai Tarab
SMA 2 Lima Kaum
SMA Nurul Ikhlas
SMK 1 Batusangkar
SMA 1 Batusangkar
SMA 1 Salimpaung
SMK 2 Batusangkar
———————————————