Narasi sejarah, utamanya yang berkembang di dunia kepenulisan historis Indonesia sering kali berpihak kepada orang-orang besar. Penyajiannya sendiri cenderung monoton dan umumnya tidak mampu menarik minat masyarakat luas untuk mengenali dan mencintai sejarah bangsa.
Kenyataan ini mengilhami Jenifer Papas dan Sandy Maulana Yusuf dari Fakultas Ilmu Budaya, serta Aan Saputra dari Fakultas Teknik, bersama dosen pembimbing, Dra. Djaliati Sri Nugrahani, M.A., menggali salah satu sejarah pinggiran Indonesia untuk diangkat ke masyarakat luas melalui program PKM-PSH Dikti.
Jenifer bersama tim memilih kisah “orang rantai,” sebutan bagi buruh paksa yang bekerja dengan kaki dan tubuh terikat rantai di tambang batu bara Sawahlunto selama periode akhir abad XIX hingga pertengahan abad XX.
“Masyarakat umumnya hanya mengenal Sawahlunto sebagai kota penghasil batu bara tanpa mengetahui bahwa di balik batu bara tersebut sebenarnya tersimpan kisah kelam orang-orang rantai. Kisah mereka tidak banyak dikupas, padahal mereka berperan penting dalam Tambang Batu Bara Sawahlunto,” jelas Jenifer.
Jenifer menguraikan, kebanyakan orang rantai merupakan tahanan politik yang didatangkan Belanda dari berbagai penjara di Nusantara, seperti Jawa, Madura, Makassar, Nias, dan lain-lain. Perbedaan budaya di antara mereka menghadirkan kesulitan di dalam berkomunikasi, dan pada akhirnya berujung pada konflik sosial dan etnis.
“Oleh Belanda, mereka dianggap sebagai pemberontak yang kerjaannya hanya mengganggu stabilitas. Padahal, kebanyakan orang rantai adalah pahlawan bagi pribumi, orang-orang berilmu yang berani menentang kesewenang-wenangan Belanda,” tuturnya.
Problematika sosial, kerumitan interaksi, dan cerita-cerita lain soal kehidupan orang rantai ditelusuri dan direkam ketiga mahasiswa selama delapan hari penelitian dari kurun tanggal 4-12 Mei 2018. Mereka menjelajahi berbagai sarana prasarana pertambangan yang tersebar di Kota Sawahlunto, Sumatra Barat, serta wawancara keturunan orang rantai, keturunan mandor, serta peneliti-peneliti terdahulu.
Sadar bahwa kisah ini tak banyak dikupas, terlebih dalam bentuk karya populer, Jenifer bersama Tim PKM-PSH UGM Sawahlunto 2017 kemudian membuat film dokumenter berjudul “Orang Rantai: Buruh di bawah Bara” yang cuplikannya sudah bisa diakses melalui tautan ugm.id/orangrantai oleh segala kalangan masyarakat.
“Kami berusaha membuat rekonstruksi kisah kehidupan orang rantau melalui film dokumenter. Sebelumnya sudah ada penelitian mengenai mereka, tapi hanya dalam bentuk tulisan,” imbuhnya.
Selain untuk memperkaya khazanah kajian arkeologi industri yang masih jarang diteliti, penelitian ini juga mereka lakukan sebagai penghargaan untuk keturunan orang rantai yang semakin dilupakan keberadaannya, sekaligus menambah wawasan masyarakat umum bahwa ada sejarah yang hampir terlupakan di Sawahlunto.
“Kami berharap melalui film ini, masyarakat Indonesia dapat mengenal orang rantai, juga memahami bahwa terkadang sejarah besar ditulis berdasarkan deras keringat kaum-kaum bawah. Mereka yang seharusnya mendapat atensi lebih dalam narasi historis Indonesia,” pungkas Jenifer. (Humas UGM/Gloria)