You are currently viewing Keletakan Makam-Makam Kuno di Luhak Tanah Data

Keletakan Makam-Makam Kuno di Luhak Tanah Data

Keletakan Makam-Makam Kuno di Luhak Tanah Data

Oleh: Harry Iskandar Wijaya
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat
Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau

 

Kabupaten Tanah Datar memiliki situs-situs Islam berupa makam-makam kuno yang telah ada sejak sekitar abad 16 sampai 19. Situs-situs makam ini secara penempatannya sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan adat yang dipakai oleh Masyarakat Minangkabau pada waktu saat itu.

Masyarakat  Minangkabau, termasuk masyarakat Luhak Tanah Data, menyebut sungai dengan “Batang”. Di wilayah  tersebut mengalir beberapa sungai besar maupun kecil. Diantaranya Batang Selo, Batang Bongkahan, Batang Sitangkiang, Batang Bangkaweh, Batang Sandia, Batang Timbalun. Diantaranya yang terbesar adalah Batang Selo.

Secara geografi  dapat diinformasikan bahwa berdasarkan ketinggian tempat, situs, pada umumnya terletak merata di empat wilayah pengelompokan. Dari hasil tersebut dapat digambarkan bahwa pemukiman pada masa lalu di Luhak Tanah Data, terletak merata diberbagai ketinggian tempat. Kondisi demikian sesuai dengan topografi wilayah Tanah Datar yang memang berada di lereng pegunungan Merapi, Tandikat, Sago, dan Bukit Barisan.

Keletakkan makam-makam ini secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh keberadaan aliran sungai. Sungai di kabupaten Tanah Datar telah menjadi suatu tempat penting dalam aksesibiltas ke makam. Kedekatan situs dengan makam tidak terkait dengan pemahaman umum yang menyebutkan bahwa sungai merupakan tempat yang strategis untuk tempat persemayaman orang yang dikuburkan, karena dekat dengan sungai yang dialiri air sebagai sumber kehidupan sebelum mati dan sebagai sumber euatu yang suci.

Kebanyakan situs-situs makam terletak mengikuti aliran sungai yang memiliki arus stabil dan terhindar dari longsor, sehingga tidak mengganggu keberadaan makam yang kemungkinan akan mengalami kerusakan karena banjir dan longsor pada saat pergantian iklim.  Hal inilah yang sebetulnya menjadi daar adanya makam-makam terebut di pinggir sungai. Dengan kata lain, keletakkan makam-makam ini berada di sekitar lereng tepian sungai yang lebih tinggi dari lahan sekitarnya. Di samping itu, kenyataan demikian juga menggambarkan bahwa pemukiman nagari pada waktu itu, juga berada tidak jauh dari sungai. Hal itu juga sesuai dengan salah satu syarat berdirinya nagari yaitu balabuah batapian (ada jalan dan ada tepian untuk mandi)

Kondisi demikan juga sesuai dengan aturan adat yang mensyaratkan bahwa sebuah komplek  makam, atau yang disebut dengan pandam pakuburan diupayakan terletak pada lahan yang disebut munggu. Munggu yaitu tanah yang tinggi atau lebih tinggi dari lokasi sekitarnya.

Adanya pertimbangan terhadap keletakkan makam-makam ini tentunya tidak terlepas dari adanya sebuah aturan adat yang mengupayakan pemilihan lahan yang baik untuk pekuburan.  Kalaupun ada beberapa tempat yang tidak sesuai, barangkali sangat bergantung kepada tanah pusaka yang dimiliki suku, yang memang sumber dayanya tidak memiliki lahan seperti yang telah diatur adat.

Nisan-nisan yang ditemukan di kompleks pemakaman atau situs, pada umumnya bertipe lokal seperti hulu keris, pedang, dan tipe semacam phallus yang sesunguhnya bukan merupakan phallus. Lebih menarik lagi adalah bahwa bentuk-bentuk  nisan yang ditemukan di situs masa Islam di Luhak Tanah Data, melanjutkan bentuk menhir yang terdapat di situs megalitik di wilayah Luhak Lima Puluh Koto,. Kondisi demikian menggambarkan bahwa adanya tradisi berlanjut dalam penggunan menhir ke nisan sebagai tanda kubur.

Nisan-nisan yang telah dikerjakan dengan halus pada umumnya tersebar di pusat kerajaaan Pagaruyung, dan terdapat di kompleks makam  pembesar kerajaan dan tokoh adat. Sementara nisan bertipe sederhana pada umumnya tersebar di luar wilayah kerajaan Pagaruyung, dan terdapat di kompleks

Terdapat keterkaitan antara strata sosial dengan bentuk dan gaya nisan. Hal ini juga dapat dilihat dengan jelas pada makam-makam dari Basa Ampek Balai yang merupakan petinggi kerajaan setingkat mentri pada saat ini yang masing-masingnya memiliki ciri khas yang memperlihatkan peran orang yang dimakamkan sebelum meninggal. Makam Basa Ampek Balai tersebut terdiri dari Makam Tuan Titah di Sungai Tarab, Makam Makhudum di Sumanik, Makam Indomo di Saruaso, dan Makam Tuan Kadhi di Padang Ganting.

Dari 17 situs yang diteliti , ditemukan tinggalan lain berupa susunan tahta batu (batu kursi) yang oleh masyarakat adat dinamakan medan nan bapaneh, di lima situs. Medan nan bapaneh adalah sebuah arena tempat bermusyawarah para penghulu dalam menyelesaikan masalah adat di masa lalu. Dari temuan tersebut tidak dapat diketahui dengan pasti mana yang lebih dulu keberadaannya. Namun dari dua situs yang merupakan makam tunggal, makamnya terletak tepat di tengah-tengah areal medan nan bapaneh. Kedua makam tersebut merupakan tokoh adat di nagerinya masing-masing. Ada kemungkinan lokasi tersebut dipilih karena jasanya dibidang adat sangat besar, sehingga mereka dimakamkan di lokasi medan nan bapaneh.

Dengan demikian jelas pulalah bahwa selain adanya pemakaman kuno di tepian sungai juga terdapat beberapa tinggalan kebudayaan lalu yang juga terkait dengan penempatan makam, yang secara kontektual juga mempertimbangkan keletakan yang strategis.