Jejak Kolonialisme di Kecamatan Sungai Puar, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
Oleh: Harry Iskandar Wijaya, S.Hum
Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki sejarah yang penting bagi perjuangan rakyat di masa kolonial. Sepeninggal Belanda dari tanah Agam juga banyak meninggalkan tinggalan berupa fisik seperti bangunan bergaya Belanda ataupun barang-barang khas mereka. Pengaruh Belanda juga membawa dampak terhadap kebudayaan lokal yakninya Minangkabau, yang tatkala menimbulkan perpaduan budaya yang dapat kita lihat pada bangunan Rumah Gadang yang berpadu dengan bentuk arsitektur kolonial.
Di kota Bukittinggi, hampir seluruh masyarakat Indonesia mengetahui landmark kota yang berbentuk menara dengan jam di bagian atasnya, yang dinamakan dengan Jam Gadang. Ini merupakan salah satu bukti nyata adanya eksistensi oleh bangsa Belanda yang semakin dikenal hingga saat sekarang. Selain di Pusat Kota Kabupaten juga terdapat tinggalan-tinggalan cagar budaya dari masa kolonialisme yang salah satunya di Kecamatan Sungai Puar. Kecamatan Sungai Puar memiliki lokasi yang cukup strategis dengan udara yang sejuk di daerah ketinggian, yang sangat cocok untuk mendirikan tempat pemukiman dengan hamparan pemandangan pegunungan yang indah. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap tempat-tempat pemukiman di kecamatan Sungai Puar memang banyak ditemukan bangunan yang memiliki gaya arsitektur Belanda. Bangunan berupa hunian tersebut memiliki keunikan yaitu terdapatnya angka tahun pada depan rumah yang menunjukkan tahun pendirian dan ada juga yang mencantumkan tahun rehab rumah. Keberadaan pemukiman Belanda di daerah tersebut memiliki keletakkan yang cukup padat dan pembangunannya secara langsung didirikan oleh masyarakat Sungai Puar.
Andil besar Belanda di Sungai Puar termasuk dalam pembentukan struktur pemerintahannya. Pembentukkan jabatan yang disebut Tuanku Lareh oleh Belanda menjadi hal yang begitu di puja oleh Belanda yang terkadang berkunjung ke Sungai Puar. Seorang Tuanku Lareh harus bekerja sama dengan Belanda dan bersikap loyal. Inilah yang manjadikan Sungai Puar dapat dianggap memiliki ikatan erat dengan Belanda. Seorang Tuanku Lareh juga dipilih dari kalangan penghulu di nagari. Penguasaan Tuanku Lareh di perkirakan mulai berjalan pada tahun 1870-an. Banyaknya bangunan arsitektur belanda yang dibangun oleh penduduk lokal juga membuktikan adanya masyarakat yang belajar terhadap ilmu pembangunan dari Belanda.
Sungai Puar memiliki daerah yang dapat dikatakan pemukimannya bercirikan kolonial. Peran serta Belanda di daerah ini sangat kuat, dengan sistem pemerintahan yang dipengaruhi oleh Belanda seperti pembentukan Lareh yang difungsikan sebagai pengubung dengan Belanda pada masa itu terhadap wilayah Sungai Puar.
Keletakkan Sungai Puar yang berada di daerah ketinggian juga dimungkinkan sebagai daerah yang strategis bagi Belanda untuk membentuk hubungan dengan daerah Sungai Puar. Dengan lokasi yang berada di ketinggian dan strategis dapat dijadikan tempat persembunyian sekaligus memantau keadaan sekitar. Diketahui para petinggi Belanda sering berkunjung ke daerah tersebut untuk menikmati pemandangan dan di sambut oleh para Tuanku Lareh di daerah tersebut.
Selain itu juga ditemukan adanya pemukiman yang memiliki gaya perpaduan kolonial dengan tradisional menambah khasanah keunikan arsitektural dan nilai sejarah dari bangunan. Keseluruhan pemukiman di arsiteki oleh penduduk lokal yang belajar kepada Belanda. Periodesasi pembangunan dan umur diketahui berdasarkan ditemukkannya beberapa bangunan cagar budaya yang memiliki pertanggalan di dinding rumahnya. Dari hasil pendataan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya pada tahun 2015, diketahui periodesasinya antara sekitar tahun 1920-1940.
Dari cakupan wilayah Kecamatan Sungai Puar dan mencakup 4 kenagarian saja telah mencakup sebanyak 50 objek. Dari keletakkannya objek-objek tersebut terletak cukup berdekatan. Oleh sebab itu, diperlukan juga pendataan lebih lanjut untuk nagari-nagari lain yang ada di Kecamatan Sungai Puar.