Tonggak Tuo Demokrasi di Minangkabau

oleh: Drs. Nurmatias

Masyarakat Minangkabau yang dulu sebagai penjunjung sistem yang egaliter dan demokrasi masihkah kelihatan sekarang ini?. Masihkah bulek aie dek pambuluh, bulek kato jo mufakek (Bulat air kerena saluran bambu) Bulat kata karena mufakat masih identik  dengan kondisi Minangkabau kekinian, Rumah gadang sebagai simbol kebesaran demokrasi Minangkabau masih kelihatan karismanya atau benar kata Von Benda Beckmann Tonggak demokrasi di Minangkabau sudah rapuh dan hampir hancur. Masih relevan idiom kamanakan baraja mamak, mamak baraja panghulu, panghulu baraja ka mufakaik, Mufakaik baraja ka nan bana, Nan bana baraja ka nan Ciek, Nan ciek badiri sandiri. Kata baraja dalam arti yang sebenarnya adalah belajar bukan beraja yang selama ini melekat dan benak kita, karena kata baraja ini masih kita pergunakan dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat Minangkabau.  Banyak lagi kearifan local yang mengungkapkan kata-kata mufakat. Menilik pendapat  tokoh Belanda yang Wrapen yang beristrikan Icih (wanita Sunda) hidup pada tahun 1885-1945 berpendapat Orang Indonesia itu otokrasi dan kehidupannya hanya politik semu serta mengabaikan hal subtansinya. Hegemoni budaya hanya dipertentangkan dalam wacana segelintir masyarakatnya tapi kemudian segelintir ini memblokup melalui media massa sehingga akar permasalahan tidak lagi menjadi subtansi wacana berpikir. Akibat kondisi ini panca indra yang paling dominan berkembang adalah telinga dan  panca indra yang lain tidak berkembang secara baik. Informasi yang datang tidak dicerna dengan baik tetapi ini dipolemikkan secara langsung tanpa ada suatu penyelesaian yang diurai secara logika berpikir  positif dan tuntas. Setiap permasalahan yang timbul diselesaikan dengan masalah baru sehingga benang kusut yang terjadi tidak terurai dengan baik.

Budaya ini tercermin terinterpestasikan kedalam wilayah Kebudayaan Minangkabau yang  terdiri dari daratan dan lautan lebih luas dari kondisi saat ini. Wilayah yang ada sudah terbagi berdasarkan wilayah administrasi yang ada seperti sebagian Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Bengkulu. Wilayah daratan terdiri dari bukit, gunung yang subur dan daerah rendah (pantai), Luas daerah Minangkabau sekarang ini 41.297.30 km 2 . Semasa Penjajahan Belanda berstatus sebagai residen Sumatra Westkust. Dalam Tradisi Lisan/ Tambo disebutkan batas-batas Minangkabau “ Sikilang Aie Bangih, Durian ditakuak Rajo, Di ombak yang badabuih dan Sipisak aie hitam. Setelah kita telusuri daerah tersebut tidak semuanya diketahui secara pasti baik dari kajian arkeologis, sejarah dan toponomi. Atau karena batas-batas ini hanya disampaikan dalam tambo tidak dijelaskan dengan rinci.

Minangkabau memang sangat unik untuk dikaji dan diteliti, banyak penelitian dan kajian yang dilakukan oleh para ahli. baik peneliti asing maupun meneliti lokal (Orang Minangkabau maupun luar Minangkabau). Setiap tema dan topik kajiannya melahirkan suatu karya yang maha agung,menarik untuk dibaca dan dianalisa.  Budaya dan sejarah Minangkabau memang mempunyai sisi yang menarik untuk dikaji dan teliti. Budaya matrilinealnya yang sangat mengasyikan untuk ditulis (Beckmann : 2000: XXVI) . Budaya matrilineal yang ada merupakan simbol inspirasi bagi penulis untuk mengkaji Minangkabau.  Paradoks antara matrilineal yang dipandang dari sisi budaya dan patrilineal disisi  agama mencerminkan suatu usaha survival masyarakat Minangkabau mengakomodir arus globalisasi masa itu. Kita mengenal Idiom yang sangat popular dan menjadi falsafah hidup masyarakat Minangkabau untuk mengakomodir kedua pendekatan matrilineal dan patrilineal yaitu Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandikan Kitabullah dalam tradisi lisan Minangkabau. Dengan terjadinya simbiosis mutualisme antara system matrilineal dan system patrilineal membuat banyak peneliti yang ini mengkaji dan menganalisa kebudayaan  Minangkabau.  Pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan belum tentu melihat akar budaya Minangkabau secara utuh karena adat salingka nagari yang menjadi patron dalam budaya Minangkabau di masing-masing nagari berbeda-beda. Waktu dan koresponden yang mereka lakukan mungkin belum utuh untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian mereka. Merujuk pendapat Van Leur bahwa penelitian yang dilakukan peneliti asing baru memakai penglihatan dari geladak kapal yang lebih popular disebut pengamatan  mata kucing  (cat  eye) bukan bird eye (mata burung). Kedua pengamatan tersebut mempunyai implikasi yang berbeda dalam melihat dan menafsirkan sesuatu.  Para peneliti yang pernah menulis tentang budaya dan sejarah Minangkabau antara lain Tanner, 1972; Khan 1975; Oki, 1977; Kahin, 1979; De Jong 1980; Graves, 1981; Ambler, 1988, Dobbin, 1992; Scrieke 1995; Drakard, 1999, Beckmann, 2002, Kato, 2005 dan lain-lainnya.

Medan Nan Pananeh

Suku bangsa lain melihat dinamika berpikir berdemokrasi masyarakat Minangkabau sangat mengkedepan logika dan dibumbui oleh sistem keterbukaan serta menghargai perbedaan. Kondisi ini tidak tercermin dalam masyarakat saat ini. Zaman prasejarah media berdemokrasi di tataran adat Minangkabau menggunakan medan nan bapaneh sebagai simbol demokrasinya, kemudian zaman berikutnya dikenal dengan Balerong sari atau rumah gadang. Meskipun tempatnya tidak presentatif tetapi keputusan yang diambil tetap mencerminkan kepentingan masyarakat. Bentuk sarana demokrasi yang sangat sederhana tetapi menghasilkan suatu keputusan yang brilian dan elegan. Banyak medan nan bapaneh yang kita temui dan menjadi situs purbakala yang bisa mewakili kerangka berpikir dan bertindak masyarakat zaman dahulu. Seiring perubahan waktu dan perubahan fungsi medan nan bapaneh saat ini hanya tempat seremonial dan tempat berkumpulnya masyarakat tanpa ada wadah berdemokrasi. Medan nan bapaneh saat ini tempat orang memamparkan ide waktu kampanye atau tempat berkumpulnya masyarakat dalam kegiatan tertentu misalnya acara randai atau bentuk kesenian lainnya. Fungsi ideal medan nan bapaneh tidak  lagi sebagai tempat berdiskusi, bertukar pikiran dan kemudian menghasilkan sebuah keputusan bersama tapi hanya sebatas monument demokrasi yang pernah hidup ditengah masyarakat Minangkabau.

Dalam peninggalan sejarah demokrasi di  Minangkabau, kita banyak menjumpai situs Medan nan Bapaneh di seluruh antero Minangkabau. Saat ini medan nan bapaneh ini banyak kita temui di Kabupaten Tanah Datar, Agam dan 50 Koto. Bentuk medan nan bapaneh sangat sederhana yaitu suatu kombinasi antara areal  diskusi  yang cirikan  dari batu-batu kali yang disusun untuk seperti meja dan kursi. Masing-masing pemimpin dalam kaum akan duduk atau menempati susun batu sebagai perwakilan dari kaum atau sukunya. Perwakilan suara dari masyarakat sudah diberikan kepercayaan mutlak dan konstituennya mempercayainya. Sistem perwakilan yang terjadi bukan berdasarkan kedekatan, pertalian darah, pangkat dan kedudukan tetapi berdasarkan kriteria yang sudah diamati dari kecil. Bentuk kriteria-kriteria  itu bisa kita lihat dari tutur kata, etika, intelektual dan filantropi (kedermawanan sosial) dari masing-masing individu yang mewakili kelompok atau golongannya. Bukan kekayaan, jabatan dan gelar akademik yang menjadi rujukan dalam menentukan perwakilan di medan nan bapaneh. Para konstituennya percaya dengan sifat dari perwakilan mereka sehingga keterwakilan tidak mempunyai cacat dalam setiap mewakili aspirasi kaum atau sukunya.  Sekarang kita lihat perwakilan masyarakat sudah memiliki jabatan yang tinggi, kekayaan yang berlimpah ruah dan pendidikan akademis yang paripurna tetapi karisma dan wibawanya tidak kelihatan.

Dalam catatan sejarah yang didapatkan hasil sebuah keputusan tidak melalui voting atau pengumpulan jumlah suara dan gaya ini tidak dikenal dalam demokrasi Minangkabau. Sejak kapan voting ini menjadi sarana pengumpulan suara, baru kita kenal dalam demokrasi kita  dua dekade terakhir ini. Siapa yang mengadopsi tidak diketahui secara pasti, yang jelas ini sudah menjadi instrument penting dalam demokrasi Minangkabau. Hegemoni demokrasi asing sudah meruntuhkan sistem demokrasi masyarakat Minangkabau, Masyarakat tidak tahu bahwa bentuk demokrasi yang agung-agungkan oleh dunia luar hanya mengerdilkan atau menghancurkan budaya kita sendiri dan itu tujuan yang diharapkan oleh sistem demokrasi asing. Pada hakekatnya sistem demokrasi Minangkabau jelas sesuai dengan akar budaya kita, bukan titipan atau adopsi dari luar yang masih perlu ditempa oleh kondisi zaman.  Berdasarkan fakta sejarah demokrasi dengan sarana mufakat dan argumentasi masing individu kemudian dibalut dengan silahturahmi akhirnya keputusan itu diambil juga. Bukan lobi-lobi politik yang berujung pada permainan uang, politik dan berbagi jabatan. Bentuk ini tidak dikenal dalam tatan ideal demokrasi Minangkabau. Hanya akan membuat gap diantara kita makin kelihatan, karena ada agenda tersembunyi dari masing-masing orang dalam menggarap konstituennya.

Lapau dan Kedai

Representasi budaya politik dan demokrasi masyarakat Minangkabau bisa juga kita lihat dalam sebuah lapau (kedai). Semua isu yang terjadi dalam masyarakat biasanya dibicarakan dalam lapau, mulai masalah yang simple sampai hal yang rumit sekalian. Dinamika yang terjadi sangat harmonis dan elegan sekali. Pembicaraan yang ada melompat dari satu masalah ke masalah lain tanpa ada moderator atau narasumber yang mengatur. Pergerakan topik pembicaraan sangat dinamis dan mengalir begitu indah dan mulus dengan suasana hati yang serius, santai dan canda gurau serta silahturahim. Suasana yang terjadi kadangkala nadanya keras, datar dan mendayu-dayu mengikuti suara hati masing-masing komunitas lapau tersebut. Dalam penyelesaiaan masalah orang yang tidak terakomodir pendapatnya  akan keluar lapau mengakhir dari perbedaan pendapat dan argumentasi. Begitu indah suasana yang terjadi dalam lingkungan lapau. Tidak ada caci maki dan yang ada etika, norma kebudayaan, agama serta saling menghargai perbedaan. Bahasa dan isyarat yang digunakan memakai suara hati dan pikiran jernih tidak memakai bahasa yang tidak berbudaya meskipun kita adalah suku bangsa yang mengagung-agungkan kato nan ampek (malereang, mandaki, manurun jo mandata). Etika berbicara dan berbahasa yang menggunakan suara hati dan logika berpikir yang jernih sudah mulai luntur. Begitulah bentuk pembelajaran masyarakat Minangkabau tentang berdemokrasi dan berdiskusi.

Budaya lapau di Minangkabau juga memiliki suatu pakem yang indah sekali karena tidak ada pembauran diantara kelompok masyarakat yang ada sehingga tidak terjadi pelecehan social dalam bergaul. Kaum muda memiliki satu lapau tersendiri dan miliki karakteristik sendiri sebagai tempat mangkalnya anak muda yang miliki sifat kreatif dan semangat muda yang bergelora. Orang Tua mempunyai satu komunitas lapau tersendiri yang lebih arif dan santun dalam mengemukakan pandangannya sesuai dengan umurnya. Orang sumando mempunyai satu lapau juga dalam mengekspesikan budaya demokrasinya bagaimana menyemarakkan nagari dimana mereka tinggal. Dinamika ini terjaga dengan baik sehingga benturan-benturan social tidak terjadi. Orang tua tidak matikan kreatifitas anak muda, orang sumando yang beri warna dalam kaum tidak merasa dilecehkan dalam kancah social kemasyarakatan. Komunitas masyarakat diberikan porsi dan tempat sesuai dengan talenta yang mereka miliki.

Harmonisasi yang terjadi dalam lapau tidak lagi kita lihat dalam sistem demokrasi saat ini. Dinamika yang berkembang saat ini saat artificial sekali dan kamuflase. Suasana dalam sistem demokrasi yang terjadi dikondisikan oleh masing-masing yang punya hajat dan agenda tersembunyi. Hasil yang mereka inginkan sudah diskenariokan sesuai keinginan penggagas dengan cara memainkan jurus dan strategi yang sangat tidak elegan dan dibumbui dengan kekuatan fisik sekalian. Kita mengenal ada bumbu politik uang, pembagian kekuasaan dan pembagian wewenang  pada masing-masing individu dan kelompok. Dalam setiap keputusan rapat biasanya menghasilkan budaya kekuatan fisik ini menjadi hal yang dominan dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi. Kondisi ini sangat terasa sekali dalam pembagian jabatan dan posisi di Minangkabau yang menganut  dahulunya mengedepan fitrah sebagai manusia yang menjunjung tinggi prinsip homo sapien dan mengedepankan hati nurani, agama, sosial dan logika. Gaya berbicara sangat tidak pantas meskipun kita menganggap orang terhormat tersebut sudah banyak makan garam dan ditempa pengalaman. Ilmu padi yang menjadi identik dengan orang hebat dan pintar tidak kelihatan dalam kehidupan sehari-hari. Menganggap diri mereka malaikat dan Rasul yang tidak berdosa. Orang lain diremehkan dan menganggap mereka tidak berhasil. Itu fenomena yang terjadi tokoh-tokoh yang hebat dan sudah punya karya serta popular,  sombong dalam keangkuhan diri. Padahal dalam kehidupan ini semua orang punya talenta masing-masing seperti pepatah yang sering kita dengar si lumpuh pambuih lasung, si buta pangajuik ayam, si cadiak tampek minta saran atau pandapek, si pandia ka di suruh-suruah atau setiap manusia yang lahir dimuka bumi punya kelebihan dan kekurangan, itu sudah fitrah manusia. Tetapi kenyataan sekarang ini orang hebat dan punya karya seakan-akan paling benar dan paling tahu sehingga kesombongannya melebih kesombongan iblis atau setan. Allah saja yang maha pandai dan tidak ada banding dengan ciptaannya tidak pernah sombong dengan kehebatannya. Itu realita yang terjadi dalam masyarakat, terutama publik pigure yang sudah hebat tidak lagi menjadi contoh yang baik dan suri tauladan bagi komunitasnya. Keangkuhan dan kesombongan sudah menjadi pakaian dan gaya hidupnya. Atau seperti itu stye orang dalam mengekspresikan kehebatannya, kita tidak tahu atau perlu kita tanya pada rumput yang bergoyang kata bait lagu Ebiet G Ade. Pengambilan suara dengan pengumpulan jejak pendapat (voting) tidaklah benar dalam kacamata sekarang ini karena biasanya pendapat suara terbanyak belum tetentu mewakili aspirasi masyarakat. Dalam wadah demokrasi saat ini kepentingan golongan dan kelompok yang menjadi hal yang harus dikawal dan dibela habis-habisan, meskipun subtansi dari permasalahan yang ada hanya memberikan keuntungan kepada kelompok atau golongan. Orang yang sedikit jumlah suaranya  pendapatnya dalam wadah demokrasi dianggap salah dan tidak perlu diberikan apresiasi. Penghargaan kepada yang benar dalam negeri ini sudah tidak kelihatan lagi, yang penting suara terbanyak yang harus ditegakkan bukan sunatullah kebenaran yang dijunjung tinggi.

Rumah Gadang atau Bagonjong

Hati nurani saat ini tidak tersalurkan dengan baik sehingga menodai perasaan dan fitrah sebagai manusia yang diciptakan punya panca indra yang sempurna dibandingkan mahkluk lainnya. Dalam mengambil keputusan dalam demokrasi di masyarakat Minangkabau tidak lagi mengedepankan harkat hidup orang banyak. Kondisi ini dapat kita lihat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Para pengambil keputusan biasanya menimbang suatu keputusan dalam tataran untung rugi secara ekonomi bukan hati nurani atau kepentingan masyarakat.  Keiklasan dan ketulusan hati sudah mati kita rasakan pada saat ini. Setiap kebijakan dan keputusan pasti ada agenda tersembunyi untuk popularitas, ingin dikenal dan ria. Setiap kebijakan harus diekspose media dan dipublikasikan. Coba kita lihat realita yang ada,untuk  mengambil simpatisan masyarakat dengan politik uang, menyumbang kepada kepenting masyarakat mesti ada publikasi yang hebat, setiap kampanye ingin membantu masyarakat. Tetapi setelah mendapatkan posisi atau kedudukan komitmen dan integritas jauh panggang dari api. Politik pencitraan sudah menjadi hal yang biasa tetapi kenyataan yang ada politik pencitraan ini merusak kridebilitas tokohnya dibelakang hari.Pencitraan yang terjadi memang dibalut kebohongan belaka dan dibenarkan dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat seakan-akan tokoh yang kita punya kredibilitas, kompetensi dan intergritas yang hebat. Tetapi akhirnya topeng dan kedok yang mereka pakai akan kelihatan sedikit demi sedikit sesuai dengan bergulirnya waktu.

Akibat politik pencitraan yang tidak positif mengakibatkan beberapa banyak tokoh-tokoh yang berurusan dengan pihak penegak hukum karena misi yang mereka ingin bukan untuk membantu masyarakat. Tetapi bagaimana masyarakat dikelabui untuk mendapatkan posisi terhormat dan kedudukan ini digunakan sebagai alat untuk merusak tatan kehidupan yang ingin dicapai. Berapa banyak tokoh-tokoh politik yang harus rela masuk kedalam sekolah etika atau  rumah perenungan diri akibat dari agenda politik yang salah. Dalam catatan sejarah yang kita baca pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Kondisi ini tidak pada saat ini, pemimpin pujaan saat ini adalah bagaimana bisa mengelabui masyarakat dengan wajah melakonlisnya dan belaskasihan atau minta dukungan ke masyarakatnya. Bukan masyarakatnya yang minta belaskasih kepada pemimpinya itu premis yang benar menurut logika berpikir kita.

Demokrasi di rumah bagonjong atau gadang saat ini sudah hancur tidak berfungsi lagi, dahulu rumah gadang identik dengan domain demokrasi. Interaksi antara komunitas yang merupakan bagian dari isi rumah gadang sudah mulai menghilangkan fungsi institusi rumah gadang. Tiang tuo rumah gadang sudah tergadai atau terjual oleh pendukungnya. Ekosistem rumah gadang sudah tidak memfungsikan rumah gadang seperti fitrahnya. Rumah gadang hanya sebagai symbol keberhasilan seseorang dalam merantau pada saat ini . Coba kita lihat berapa banyak rumah gadang dibangun hanya sebagai simbol keberhasilan komunitas merantau. Keberhasilan merantua bisa kelihatan dengan tiga symbol yaitu mendirikan masjid, menjadi datuk atau penghulu atau membangun rumah gadang. Semua bentuk keberhasilan hanya artificial dan kamuflase tanpa menyentuh subtansial permasalahan yang terjadi di rumah gadang. Dahulu kita mengenal rumah gadang berfungsi sebagai tempat tinggal, belajar berdemokrasi dan hajatan tapi sekarang fungsinya hanya sebagai simbol  keberhasilan seseorang. Atau memang kondisi rumah gadang harus mereposisikan bentuk karena globalisasi yang menghalalkan segala cara untuk pemuasan diri individu rumah gadang. Rona rumah gadang sudah kusam dimakan waktu atau memang rona ini dikusamkan oleh masyarakatnya yang tidak lagi perhatian kepada keberadaanya. Berapa banyak kejadian yang kita lihat saat ini yang tidak lumrah terjadi, kemenakan membunuh, mamak memakan kemenakan perempuannya, ayah membunuh anak, anak menghabisi hidup ibu kandungnya atau hal yang sejenis. Kepala kita sudah diisi cairan yang mudah meledak sehingga akal pikiran dan suara hati kebenaran sudah hilang.

Rumah gadang yang dahulunya kita kenal sebagai multifungsi sekarang hanya sebagai tempat yang sudah dikosongkan oleh masyarakatnya. Dalam kondisi saat ini rumah gadang lambang kesombongan keberhasilan orang yang  merantau atau dibuka apabila penghuninya pulang dari rantau atau dalam kegiatan tertentu. Kemudian yang kita lihat saat ini hanya rumah gadang yang angker untuk ditinggalkan. Atau kenikmatan yang sudah didapat perwakilan dari masyarakat sehingga lupa dengan fungsinya sebagai perpanjangan lidah masyarakat. Mereka hanya memikirkan kesenangan yang abstrak sedangkan janji dan komitmennya tidak dihiraukan lagi.

Epilog

Fenomena-fenomena ini yang kita rasakan saat ini, apakah kita masih tetap memakai mindset yang salah atau kita kembalikan ke karakter masyarakat kita yang menjunjung perbedaan dan berakal budi. Pendidikan karakter dan pekerti masyarakat perlu dibina lagi. Tanpa karakter hidup ini sia-sia karena kita diciptakan memang sudah berbeda oleh sang khalik dan tidak sama, tetapi dalam keberbedaan kita harus bisa memformulasi keindahan untuk damai. Kedamaian sudah barang yang susah dicari dan didapatkan. Dahulu kita merasakan betapa indahnya hidup ini dalam keterbatasan, sekarang segala fasilitas ada tetapi masyarakatnya tidak mengenal budaya yang mengutamakan logika berpikir, fitrah dan hati nurani. Apakah virus individualis dan materalistis yang merubah karakter masyarakat kita atau gaya hedonism yang menjadi tujuan hidup kita. Budaya itu memang sedang gencar menghadang kita tetapi kita punya filter yang dapat membendungnya. Sekarang tinggal kita yang dapat mengeliminir virus ini dengan kembali mempelajari kearifan local yang kita miliki karena kearifan local yang kita miliki masih yang terbaik dalam pergaulan hidup umat manusia di ranah Minangkabau ini. Fungsikan elemen yang ada sesuai dengan format dari masing-masing unsur yang ada dalam tatanan masyarakat Minangkabau. Dengan kembalinya ke warna asli dari bentuk akar budaya yang kita miliki benturan-benturan budaya tidak pernah bergesek keras. Itulah orkes simponi hidup yang memainkan peran dan tipikalnya sesuai dengan warna asli. Dengan kita memaknai intrumen demokrasi yang ada dalam kazanah budaya Minangkabau kita dapat menhargai hidup ini lebih baik. Medan nan bapanerh, Lapau dan rumah gadang merupakan fasilitas dan kawahcandra dimuka masyarakat Minangkabau dalam berdemokrasi. Mudah-mudahan local wisdom atau local genius yang kita miliki dapat menata bentuk demokrasi di Minangkabau lebih baik. Permasalahan timbul karena kita tidak lagi memberdayakan institusi yang kita miliki. Institusi medan nan bapaneh, lapau dan rumah bagonjong merupakan saksi yang dapat kita petik manfaat dalam meniti kehidupan di dunia ini.

 

Daftar Pustaka

Aboe Nain, Sjafnir , Tuanku Imam Bonjol : Sejarah intelektual Islam di Minangkabau     1784-1832.  Padang : Esa, 1988.

Amran, Rusli, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Selintas Prasasti dari Melayu Kuno, BPPP Batusangkar,  2006

Boechari, Daftar Prasasti Adityawarman, Naskah transkripsi, tampa penerbit, tampa tahunan

Casparis,J.G de, “ Kerajaan Melayu dan Adityawarman”’ Dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi:  Pemda Tk. I Jambi dan Kanwil Depdikbud Jambi, 1992 hlm. 51-80

Dobbin, Christine, Gerakan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah Sumatera Barat 1784-1847, INIS, 1992

Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Djakarta : Panji Masyarakat. [1974].

Harahap, Basyral Hamidi, Greget Tuanku Rao. Jakarta : Komunitas Bambu, 2007.

Kahin, Audrey, Dari Pemberontak ke Integrasi (Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998), Yayasan Obor Indonesia, 2005

Mach Suhadi, silsilah Adityawarman, “ dalam Kalpataru Majalah Arkeologi No. 9 (Saraswati:Esai-Esai Arkeologi) Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Depdikbud, 1990 hal. 218-239

  1. Nur. “Bandar Sibolga di Pantai Barat Sumatera: Pada Abad ke-19 Sampai Pertengahan Abad ke-20”. Disertasi. Pascasarjana FS-UI, 2000.

Navis, A.A, “Alam Terkembang Jadi Guru,” Temprint, 1984

PPIM, Ensklopedi Minangkabau. Jakarta : PPIM, 2005.

Schnitger F. M, Forgotten Kingdoms of Sumatera, C.J. Brill. 1939

William Marsden (ed), Sejarah Sumatra, (Terjemahan), (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999).

Zed, Mestika, Melayu kopi daun : Eksploitasi kolonial dalam Sistem Tanaman Paksa Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (1847-1908)”. Thesis. Jakarta : Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Sejarah Indonesia Pengkhususan Sejarah Indonesia Universitas Indonesia, 1981.