Penjara Lama di Bukittinggi
Oleh Deddy Arsya
Belasan kamar dengan ukuran besar dan kecil berderet-deret memanjang dari arah Timur Laut ke Barat Daya. Di setiap kamar terdapat pintu dari baja dengan engsel-engsel besar dan kunci-kunci besi dengan gembok yang terlihat telah berkarat. Dinding-dindingnya telah berwarna coklat dan di sana-sini dijalari lumut; betonnya mengelupas pada beberapa bagian terutama pada yang bersentuhan dengan lantai yang ubinnya juga telah banyak lepas. Sementara atap-atapnya sel-sel itu nyaris seluruhnya telah rusak, bahkan nyaris atap kompleks bangunan itu lebih setengahnya telah habis copot. Hanya beberapa atap ruang kantor yang masing kokoh berdiri. Halaman bagian dalam juga telah ditumbuhi ilalang-ilalang tinggi.
Namun, sekalipun telah ‘lumutan’ dimakan waktu, sisa kekuasaan kolonial itu terlihat masih meninggalkan kesannya yang tiranik di situ. Sekalipun penjara ini sudah tidak digunakan lagi sebagai tempat penahanan, namun kekokohan arsitekturalnya masih tampak. Tiang-tiang penyangga bangunan masih berdiri kokoh. Jeruji-jeruji besar di tiap bangsal masih kuat sekalipun telah dilumuri karat.
Bangunan penjara ini sendiri terdiri dari ruang-ruang untuk kantor di bagian depan dan kamar-kamar untuk para tahanan yang di bagian belakang. Ruangan kantor dan ruang tahanan dipisahkan oleh pintu dari besi besar dan sebuah bagian lain untuk ruang penjaga. Kamar tahanan berjumlah belasan buah, yang pada masing-masing kamar terdapat jendela kecil yang ditempatkan di bawah langit-langit (jendela kecil itu telah penuh dengan jaring laba-laba yang menebal). Kantor kepala penjara terletak di sebelah depan dekat pintu gerbang, yang berjejer dengan ruang perawatan dan dapur, yang masing-masing dipisahkan oleh gang-gang.
“Penjara ini sudah lama tidak dipakai,” kata seseorang yang saya temui tidak jauh dari penjara itu. “Film Si Midun (Sengsara Membawa Nikmat) dulu shooting di sana,” kata seorang lain.
Gambar: Kondisi Penjara Bukittinggi hari ini, tahun 2014 (Sumber: dok.Deddy Arsya)
Gambar: Kondisi Penjara Bukittinggi hari ini, tahun 2014 (Sumber: dok.Deddy Arsya)
Memasuki Penjara Bukittinggi, Gevangenis van Fort de Kock, demikian namanya disebut pada masa kolonial Belanda, sunyi seketika menyergap saya. Ketika bersuara, suara Anda akan lama bersipongang seakan sedang berada dalam goa batu. Ketika, dari dalam kompleks penjara itu, Anda melihat keluar, betapa terasa penjara itu terpisah dari keriuhan dunia sekitarnya. Padahal, penjara ini letaknya berseberangan jalan dengan Bioskop RE yang ramai; juga dekat sekali dengan gedung Bank BNI 46 yang berdiri megah. Di depan penjara ini, juga melintang jalan raya yang sesak, jalan utama kota itu, Jalan Perintis Kemerdekaan. Barangkali betul saja apa yang dikatakan Maisir Thaib, ketika pada tahun 1940 dia dipenjarakan di sini dan memandang keluar seperti saya tengah memandang. ‘Sekalipun terletak di tengah kota besar, tetapi penjara ini bagaikan pulau terpencil di tengah lautan yang terputus hubungannya dengan daerah sekelilingnya,’ tulis Maisir dalam memoirnya, Menempuh Tujuh Penjara.
“Setahu saya, LP di Biaro,” kata seorang pejalan kaki yang lewat, semakin menegaskan bagaimana penjara ini sesungguhnya juga terputus dari ingatan kebanyakan warga kota. Sebagai kota utama tujuan wisata, Bukittinggi, yang dulu bernama Fort de Kock itu, memang tumbuh dengan percepatan yang menakjubkan. Titik-titik macet tersebar di banyak perempatan jalan. Hotel-hotel baru, pusat-pusat pertokoan/ruko-ruko, perumahan orang kaya, dan pemukiman penduduk kelas menengah ke bawah merebak bagai kurap di pantat. Sementara satu ‘penjara kecil’ itu bagai si bisu yang diam. Ia tentu akan dengan gampang terlupakan di tengah riuh-rendah pembangunan kota itu hari ini.
Padahal, nilai-nilai kesejarahan penjara lama itu tidak dapat dikatakan tak berarti. Ada banyak tokoh bangsa yang pernah dipenjarakan di situ. Dari Sutan Chaniago (anak kandung Tuanku Imam Bonjol), hingga ulama besar kharismatik kaum muda, Haji Rasul, pernah merasakan dinginnya tembok penjara ini. Kaum pergerakan seperti ‘singa betina’ Rasuna Said, Rasimah Ismail, hingga aktivis perempuan kaum komunis Upik Hitam pernah lama pula dipenjarakan di sini. Juga Maisir Thaib, sastrawan dan aktivis pergerakan, yang dipenjarakan karena mengarang roman yang membuat gusar pemerintah kolonial. Tidak lupa, salah satu pemimpin Permi, tokoh muda Islam yang kuat pada masanya, Muchtar Luthfi, sebelum dibuang ke Digul, juga pernah menghuni salah satu kamar di penjara ini beberapa bulan. Mereka semua dipenjarakan karena perlawanan mereka terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Jika sumber sejarah terus ditelisik ulang, tentu akan lebih banyak lagi tokoh bangsa ini yang akan diketahui pernah dipenjarakan di penjara ini oleh kekuasaan penjajah.
Gambar: Penjara di Bukittinggi pada sekitaran tahun 1880 (Sumber: KITLV Leiden)
Tidak diketahui kapan penjara di Bukittinggi ada untuk pertama kalinya. Dari laporan tebal yang ditulis Mr. C. J. van Asska, yang diberi tajuk Verslag over het Gevangeniswezen, didapatkan keterangan bahwa pada tahun 1840 telah terdapat penjara di kota sejuk ini. Tetapi, penjara tersebut masih dalam kondisi yang sangat jelek dan memprihatinkan. “Atap dan dindingnya hanya ditutupi dengan alang-alang, dan banyak sisi bangunannya yang somplak”, demikian catat van Asska.
Pada tahun 1850, Fort de Kock sesungguhnya telah mengirimkan proposal anggaran ke Gubernur Jenderal di Batavia untuk pembangunan penjara baru, namun tidak ada jawaban dari pemerintah, catat sebuah laporan yang dikeluarkan pemerintah kolonial, Algemen verslag ven het Gouvernement Sumatra’s Westkust over het1Jaar 1860 – Eerste Afdeling Algemen Bestuur. Tahun 1857, proposal baru diajukan lagi, akan tetapi baru tiga tahun kemudian proposal yang kedua itu mendapat respon dari pemerintah pusat di Batavia: pada tahun 1860, penjara baru dibangun di Fort de Kock. Penjara ini sendiri dikerjakan oleh tenaga dari para pekerja paksa, yang didatangkan dari tahanan hukuman berat (dwangarbeid) yang berasal dari Penjara Padang. Setelah rampung, penjara ini terdiri dari belasan kamar, kira-kira mampu menampung 50 tahanan, catat laporan yang sama.
***
Gambar: Denah Penjara Bukittinggi (Sumber: dok.Deddy Arsya)
Landung Simatupang, seorang dramawan terkenal, mementaskan satu episode dari Babad Diponegoro dalam bentuk pertunjukan drama pada 5 Juni 2014 di Makassar. Penjara dalam kompleks Fort Rotterdam menjadi tempat pertunjukan itu berlangsung. Bersama Peter Carey, sejarawan Inggris yang menulis buku Takdir, The Biography of Prince Diponegoro, Landung menyiapkan adegan bagaimana Diponegoro ditangkap dan kemudian dipenjarakan di penjara itu. Beberapa warga Makassar, ketika saya wawancarai, kebanyakan baru tahu saat itu bahwa Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa yang akbar, pahlawan nasional yang popular, ternyata pernah dipenjarakan di penjara kota mereka itu selama bertahun-tahun. Penjara dengan begitu telah menjadi ‘ingatan’ baru bagi kota itu; penanda bagi memori sejarah sebuah bangsa. Dan di sisi lain, penjara juga telah menjadi tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi karena menyimpan narasinya sendiri.
Tidak di Makassar saja sesungguhnya ‘penjara lama’ mampu ‘diekplorasi’ untuk kepentingan kesejarahan dan wisata. Di luar negeri, beberapa ‘penjara lama/bersejarah’ telah disulap menjadi tempat yang tidak lagi angker/menakutkan, bahkan secara lebih jauh dapat menjadi destinasi wisata sejarah yang diminati. Penjara Alcatras di Amerika Serikat misalnya, menjadi magnit wisatawan setelah dijadikan tujuan wisata. Penjara ini menjadi tempat lokasi pengambilan gambar film-film Hollywood, tur sejarah, dan perjalanan audio tentang kehidupan dalam penjara itu di masa lalu. Di Australia, Penjara Port Arthur ramai dikunjungi wasatawan setiap tahunnya. Penjara Horgens yang bersejarah di Denmark, setelah tidak lagi difungsikan sebagai penjara, difungsikan sebagai museum dan tempat konferensi. Penjara ini secara rutin mengagendakan tur penjara mengenai kisah-kisah para tahanan yang menarik, juga secara rutin mengadakan konser musik dan pertunjukan seni untuk pengunjung. Penjara Robben Island, tempat di mana Nelson Mandela mendekam bertahun-tahun dalam kekuasaan Aperheid, juga telah menjadi destinasi wisata yang populer di negeri itu.
Penjara Bukittinggi, yang telah berusia ratusan tahun (dan untuk itu mengandung nilai kesejarahan yang cukup kaya), tentu juga berpeluang untuk dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata baru di tengah terbatasnya destinasi wisata sejarah di Kota Bukittinggi. Kota kolonial yang juga telah berusia ratusan tahun itu harusnya punya lebih banyak lagi destinasi wisata sejarah dari destinasi-destinasi wisata sejarah yang selama ini ada (semisal Lubang Jepang, Benteng [Fort] de Kock, dan Museum Bung Hatta).
Ada banyak nilai yang hendak dicapai dari upaya ini: Penjara yang bersejarah ini bisa menjadi catatan bagaimana sebuah bangsa menerapkan disiplin di masa lalu. Tetapi di sisi lain, bagi sebuah negeri bekas jajahan, penjara ini juga dapat menjadi ‘artefak’ bagaimana sebuah kekuasaan kolonial bekerja menghegemoni masyarakat jajahannya; menjinakkan setiap perlawan kaum bumiputra yang hendak mencapai kemerdekaannya. Penjara lama Bukittinggi dengan ini bisa menjadi penanda bagi perjuangan bangsa; pengingat bagi ‘pedihnya’ kebebasan bagi sebuah bangsa jajahan di masa lalu.
Apa yang dicobakan Landung Simatupang dan Peter Carey pada penjara di Fort Rotterdam dapat dicobakan pula di sini untuk memfamiliarkan nilai-nilai kesejarahan Penjara Bukittinggi kepada masyarakat banyak. Misalnya dengan mementaskan satu nomor dari Memoir Tuanku Imam, yaitu tentang penangkapan dan penahanan Sutan Chaniago di penjara ini; mementaskan satu bab dari biografi Haji Rasul, tentang penangkapan dan penahanan ulama kharismatik itu di penjara ini; atau yang lebih dramatik adalah tentang kehidupan beberapa aktivis perempuan dalam penjara ini.
Wisata penjara telah terbukti juga bisa sangat menarik bagi wisatawan jika dikemas dengan apik. Untuk itu, penjara lama ini, yang telah jadi cagar budaya sejak tahun 2002, harus ‘dihidupkan’ agar tidak hanya ‘tergeletak’ sebagai benda mati, yang bisu, yang tidak bisa bersaksi apa-apa. Tetapi, harusnya, ia bisa menjadi penanda yang hidup dan bergema, bagi memori generasi masa kini dan masa depan bangsa ini.