UPAYA MITIGASI BENCANA PADA PERAHU KUNO SUNGAI JAKAS

BINTAN, PROVINSI RIAU

Oleh: Yola Pebi Dhaniska[1]

Pendahuluan

            Perahu Kuno atau “Perahu Karam Sungai Jakas merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang berada di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulaua Riau. Keberadaan objek kapal kuno ini tama kalinya menarik perhatian P.Y. Manguin (PYM) waktu dibacanya artikel dalam Straits Times, surat kabar Singapura, bulan Mei 1979. Artikel itu berisi wawancara dengan seorang penjual barang antik dari Singapura yang bernama Tuan Lee Swee Hoe.yang sudah pernah mengunjungi situs tersebut pada waktu mencari poci bersama seorang rekannya bangsa Indonesia. Mereka diantar ke situs itu oleh beberapa petani setempat yang suka mengambil pasak-pasak perahu, karena kayu merahnya dipakai untuk ramuan jamu. Dikatakan bahwa Tuan Lee telah membawa pulang beberapa keramik dan potongan kayu. Menurut anggapannya, yang ditemukan adalah salah satu “perahu Zhenghe (Cheng Ho) yang berhartakarun”, yang karam dalam salah satu ekspedisinya pada zaman Ming awal abad XV. PYM bertemu dengan Tuan Lee di Singapura pada bulan September 1979 dengan perantaraan Nyonya Grace Wong. Di tokonya, Tuan Lee memperlihatkan sisa-sisa peninggalan yang dibawa pulang dari Pulau Bintan, antara lain beberapa potongan kecil dari papan-papan yang sudah rusak, yang di dalamnya masih tertancap beberapa pasak kayu, dan beberapa barang keramik yang katanya ditemukan di dalam perahu karam itu. Tuan Lee tidak bersedia memberitahukan tempat situsnya yang tepat, tetapi dari foto-foto yang ditunjukkan dan dari banyaknya rinci topografi yang diperoleh selama wawancara, PYM dapat membuat sketsa tempat terdapatnya perahu karam itu di atas peta. Setelah tanggal 17 September 1979 PYM melaporkan penyelidikan ini kepada Kepala Puslit Arkenas. Peninjauan ke lokasi oleh pegawai Bidang PSK Kanwil Depdikbud Propinsi Riau membenarkan adanya perahu karam di tempat yang diperkirakan itu. Pada tanggal 22 sampai 27 Desember 1981 diadakan peninjauan pendahuluan oleh tim Puslit Arkenas.[2] Pada tahun 2013, kembali dilakukan survei oleh BP3 Batusangkar. Berdasarkan hasil Survei Maritim di Kabupaten Bintan tahun 2013 oleh BP3 Batusangkar  memberikan data kondisi Bangkai Kapal Kuno di tepi Sungai Jakas yang mengalami kerusakan, pencurian dan rawan akan hilang. Ditambah pula, kondisi kapal yang pada saat pasang naik ditutupi oleh air sungai menjadi salah satu faktor pemicu kerusakan yang bertambah parah terhadap objek Kapal Kuno yang berbahan kayu.  Pada tahun 2018, kembali dilakukan upaya untuk memonitoring keberadaan dan kondisi perahu kuno tersebut. Berdasarkan hasil observasi lapangan, kondisi perahu kuno tersebut semakin rusak, masih ada aktivitas masyarakat yang mencuri dari bagian kapal untuk bermacam keperluan. Dengan hal tersebut, dalam upaya pelestarian khususnya penyelamatan sangat perlu dilakukan dalam upaya menyelamatkan tinggalan perahu kuno di Sungai Jakas tersebut. Salah satu upaya yang sangat penting dilakukan adalah mitigasi bencana. Mitigasi bencana dalam PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Pasal 1 Ayat 6 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

 

Gambaran Situs Perahu Kuno Sungai Jakas

Situs Bukit Jakas terletak kira-kira 2 km dari muara Sungai Bintan, di ujung Teluk Bintan atau 1° 4′ Lintang Utara dan 104° 28′ 40″ Bujur Timur, yaitu di sisi kiri sebuah anak sungai yang bermuara di sisi kanan Sungai Bintan, di kaki Bukit Bintan Besar. Bukit Jakas itu nama untuk bukit kecil yang membentuk kaki Bukit Bintan Besar, tepat di sebelah barat situs. [3] Tinggalan Perahu Kuno Sungai Jakas terletak sekitar 30 m dari pinggir Sungai Jakas, dan sekitar 75 m dari tepian sungai. Secara administratif situs terletak Desa Bintan Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, Kab. Bintan.  Secara umum lingkungan sekitar areal situs merupakan hutan bakau dan rawa. Orientasi (arah hadap) perahu adalah utara-selatan.Pada sisi sebelah selatan merupakan Sungai Jakas.

Perahu ini memiliki panjang ± 13 meter dengan lebar pada bagian tengah ± 6 meter. Dinding perahu berbahan kayu yang rata-rata berukuran 8 cm x 30 cm. Sedangkan gading perahu berukuran 10 cm x 30 cm. Kondisi bangkai kapal sudah lapuk dan tidak utuh dikarenakan kapal berada di dekat rawa sehingga pelapukan kayu cepat terjadi. Bagian atau struktur kapal yang tersisa hanya beberapa buah gading dan dinding kapal. Pada bagian arah buritan (sisi selatan), batang bakau bahkan sudah tumbuh. Kondisi ini tentunya akan membuat struktur bangkai kapal menjadi rusak. Pada sisi utara (tepian muara sungai Jakas) ditemukan sisa-sisa keramik dan gerabah yang tersebar merata dipermukaan tanah.

Tinggalan berasal dari keramik Cina dan gerabah lokal.Kehadiran keramik masa lalu di situs arkeologi, merupakan data yang dapat mencerminkan aktivitas kehidupan di antaranya kehidupan sosial, perekonomian, perdagangan dan hubungan antar negara. Keberadaan keramik di suatu situs arkeologi dapat pula dikarenakan aktivitas perdagangan. Keramik dibawa ke Indonesia sebagai barang bawaan, souvenir atau cendera mata yang dilakukan oleh para penguasa masa lampau, dan sebagai sarana rumah tangga dan alat-alat upacara.

Dari penelitian di Situs Bukit Jakas, ada tiga kelompok keterangan mengenai zaman asal perahu itu, yang kurang cocok satu sama lainnya, yaitu: 1) hasil analisis C 14. dari contoh kayu perahu (no. laboratorium GIF—5774) diperkirakan 490 ± 80 M yaitu 1460 ± 80 Masehi; artinya jangka waktu dari akhir abad XIV sampai awal abad XVI;  (2) pertengahan abad XVII, berdasarkan pertanggalan dari salah satu keramik yang ditemukan di dalam badan perahu hasil ekskavasi;  (3) awal abad XVI, berdasarkan pecahan-pecahan keramik yang diperlihatkan kepada penulis di Singapura, tapi yang artinya tak sepenting arti kedua kemungkinan di atas (tidak boleh dilupakan bahwa ada pembantahan dari seorang narasumber setempat). Apabila akan diadakan penelitian lanjutan, perlu diperhatikan data sejarah mengenai permukiman di daerah dekat Situs Bukit Jakas awal abad XVI. Dalam pelariannya Sultan Malaka telah mendirikan ibukota sementara di daerah hilir Sungai Bintan antara tahun 1513 dan 1518, dan sekali lagi dari 1520 sampai 1526 ketika ibukota dihancurkan oleh bangsa Portugis. Selama penelitian di daerah itu, data baru telah dikumpulkan baik data arkeologi maupun sejarah lisan.[4]

Foto situs kapal kuno sungai jakas (Dok.BPCB Sumbar 2018)

 

Potensi Ancaman

Semua kayu yang terpendam pada kondisi yang basah dalam waktu yang lama akan mudah rusak oleh kegiatan bakteri. Substansi yang sangat tidak mudah larut oleh air seperti selulosa, lignin juga akan mengalami degradasi. Akibat adanya degradasi ini rongga antar sell akan bertambah dan mengakibatkan kayu menjadi poros dan air masuk kedalamnya. Apabila kayu diangkat ke permukaan, maka air yang berlebihan akan menguap. Hal ini sangat berbahaya karena kayu akan rusak misal retak, mengkerut, melengkung dan akhirnya akan hancur. Setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan degradasi terhadap peninggalan bawah air (Swastikawati, 2008) yaitu : a. Faktor Internal Faktor internal terkait dengan sifat-sifat alami tinggalan arkeologi bawah air yang dapat terbuat dari bahan organik atau anorganik. Hal ini akan menentukan ketahanan benda tersebut dalam interaksinya dengan faktor lingkungan. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah kondisi lingkungan dimana tinggalan arkeologi bawah air berada, baik selama masih berada di dalam air laut maupun sesudah diangkat Berdasarkan prosesnya, degradasi yang terjadi pada tinggalan bawah air dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu, proses kerusakan mekanis, pelapukan secara fisis, pelapukan secara khemis dan pelapukan secara biotis. a. Kerusakan mekanis, kerusakan mekanis yang terjadi pada tinggalan arkeologi bawah air pada umumnya terjadi sebagai akibat dari musibah tenggelamnya kapal. Sifat kerusakan yang terjadi lebih banyak karena gaya yang bersifat dinamis, sehingga ciri-ciri kerusakan yang terjadi kebanyakan berupa retakan, pecahan, atau kehancuran. Hal ini tentu saja akan sangat tergantung dari kondisi dan posisi dimana benda tersebut, ketika musibah tersebut terjadi. b. Pelapukan secara fisis, dalam keadaan dimana tinggalan air tersebut masih berada di bawah air, maka pelapukan secara fisis dapat terjadi secara intensif. Oleh karena itu apabila tinggalan arkeologi bawah air tersebut akan diangkat, maka peranan faktor lingkungan mikro harus dipertimbangkan secara cermat. Faktor utama yang berperan adalah fluktuasi suhu dan kelembaban. Ciri-ciri atau tanda-tanda kerusakan yang terjadi adalah adanya retakan mikro maupun makro. c. Pelapukan secara khemis, agensia utama proses terjadinya pelapukan secara kimiawi adalah air, dalam hal ini adalah air laut khususnya sewaktu tinggalan arkeologi bawah air tersebut masih berada di dalam air laut. Air laut yang mengandung garam-garam terlarut tidak hanya terakumulasi pada permukaan benda tetapi juga meresap ke dalam pori-pori. Selama kondisinya masih di dalam laut dapat dikatakan relatif stabil, tetapi setelah diangkat dimana kondisi lingkungan mikro berubah drastis.

Menurut Gregonis (1981), bahwa penyebab kerusakan dari artefak kayu adalah akibat dari faktor fisis, kimia dan biologi. Faktor fisis terjadi baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Di atas permukaan tanah artefak dipengaruhi oleh angin, erosi air dan abrasi. Sedangkan di bawah permukaan tanah dipengaruhi oleh faktor organik dan anorganik yang dapat menyebabkan keretakan, kehancuran dan distorsi. Proses pembekuan-pencairan pada khususnya begitu kuat pada objek yang porus. Fluktuasi kelembaban dan temperatur dapat menyebabkan kerusakan baik kimiawi maupun biologi. Fluktuasi dari kelembaban dapat menyebabkan pelarutan garam-garam, dan temperatur yang tinggi dapat menyebabkan cepatnya reaksi kimia. Kelembaban merupakan faktor utama, sejak lama iklim yang kering saat kondisi lembab menyebabkan reaksi kimia yang mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Degradasi secara kimiawi dari artefak adalah dipengaruhi oleh oksigen, kelembaban, temperatur, dan lingkungan sekitarnya. Dalam daerah dimana pengendapan melebihi evaporasi, pada kondisi basah banyak terbentuk keasaman tanah. Di beberapa kondisi tanah, tulang, kerang, kapur, batu kapur, dan juga selulosa mungkin merupakan subjek kerusakan yang serius.

Foto: kondisi perahu kuno saat pasang surut  tahun 2013 (kiri) dan pasang naik tahun 2018 (kanan) (Dok.BPCB Sumbar)

Faktor lingkungan dari perahu kuno sungai jakas berada didekat sungai berpotensi mengancam keberadaan perahu. Hutan mangrove yang melingkupi bangkai kapal tersebut, juga mengancam kerusakan perahu yang berbahan kayu tersebut.

Foto: Lingkungan situs perahu kuno sungai jakas yang berada ditepi sungai dan hutan mangrove (Dok.BPCB Sumbar 2018)

Selain itu, Winarsih (2008) menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan kerusakan pada artefak bawah air antara lain : 1. Suhu dan tekanan 5 Hubungan antara suhu dengan kedalaman sangat erat sekali, semakin dalam perairan laut maka semakin rendah suhunya. Perubahan suhu yang sangat mencolok terjadi pada kedalaman 200 – 1000 meter. Di permukaan laut mempunyai tekanan sebesar 1 atm, namun di kedalaman 10 meter di bawah permukaan laut maka tekanan bertambah menjadi 2 atm. Tekanan yang begitu besar sebenarnya berasal dari tambahan berat massa air laut setiap kedalaman 10 meter.  Pengaruh perubahan suhu dan kelembaban udara terhadap koleksi hasil pengangkatan Koleksi selama berada di permukaan laut dalam kurun waktu yang cukup lama telah menyatu dengan lingkungannya yang konstan/stabil. Kemudian terjadi pengangkatan, benda/koleksi kembali beradaptasi dengan lingkungannya yang baru maka kesinambungan benda/koleksi akan menjadi goyah. Pada waktu pengangkatan ekses udara dingin berkembang menjadi lembab, dan kemudian kehadiran udara panas menyebabkan kelembaban menjadi kurang atau turun. Perubahan udara tersebut dapat merubah dimensi benda/koleksi menjadi rapuh, untuk mencegah terjadinya kerusakan ini benda/koleksi hendaknya dikeringkan secara perlahan.

Upaya Mitigasi Perahu Kuno Sungai Jakas

Potensi tinggalan arkeologi di di Provinsi Riau khususnya Kabupaten Bintan tersebar pada kondisi geografis dan ekologis yang beragam. Mulai dari dalam air, pesisir pantai, lembah, hingga daerah pegunungan. Berbagai tinggalan tersebut ada yang sudah tidak dimanfaatkan, tetapi sebagian besar masih banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Khususnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, keagamaan, sosial, ekonomi, pariwisata, dan lain-lain. Di samping keberadaannya yang tersebar dengan ragam kondisi geografis dan ekologis tersebut, tinggalan arkeologi pada dasarnya juga menghadapi ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman dari dalam berupa kerusakan karena faktor usia, sementara ancaman dari luar datang dari kondisi alam, binatang maupun manusia. Ancaman karena usia dapat diupayakan melalui berbagai kegiatan seperti perawatan dan konservasi. Perlindungan dari ancaman manusia sendiri dilakukan melalui penyuluhan, pengamanan, penjagaan penyimpanan, dan dengan berbagai peraturan perundang-undangan. Ancaman yang paling berbahaya justru datang dari faktor alam dalam artian bencana alam. Demikian pula dengan tinggalan arkeologi bawah air Perahu Kuno di Sungai Jakas, Bintan Buyu yang berpotensi terdampak bencana banjir, mengingat lokasi kapal kuno tersebut berada di tepi sungai. Ditambahkan pula, saat sekarang kapal kuno tersebut telah dilingkupi hutan mangrove yang tumbuh dengan begitu cepat.

Berpijak dari paparan sebelumnya, keberadaan kapal kuno yang sangat rentan akan dampak bencana baik alam, bencana non-alam dan bencana sosial. Sehingga perlu dilakukan beberapa upaya mitigasi bencana. mitigasi merupakan upaya atau langkah-langkah yang dilakukan baik sebelum sebuah bencana terjadi maupun setelah bencana terjadi. Jika kita kaitkan antara pengertian dan cakupan pelestarian dalam UU CB No. 11 tahun 2010 dengan pengertian mitigasi dalam UU PB No. 24 tahun 2007, maka mitigasi merupakan upaya pelestarian berupa perlindungan, pengamanan, dan penyelamatan yang dilakukan baik sebelum Cagar Budaya mengalami kerusakan akibat bencana maupun tindakan yang dilakukan ketika cagar budaya mengalami dampak akibat dari bencana.

Di dalam tahapan mitigasi bencana, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan aspek pengamanan dan penyelamatan cagar budaya terhadap ancaman bahaya, yaitu:

  1. Lokasi cagar budaya menjadi indikator penting dalam prediksi potensi bahaya dan kerusakan.
  2. Potensi bahaya yang beragam membawa pengaruh dampak yang berbeda pula.
  3. Skala besaran dan intensitas potensi bahaya menimbulkan dampak yang berbeda pula.
  4. Frekuensi dan periode ulang potensi bahaya membutuhkan pendekatan penyelamatan, pengamanan dan perlindungan yang khusus.
  5. Keragaman jenis benda cagar budaya mempengaruhi potensi dampak kerusakan.
  6. Usia cagar budaya menjadi faktor penting dalam prediksi kerusakan.
  7. Kegiatan tanggap darurat membutuhkan suatu sistem dan prosedur yang detil (Hizbaron, 2013; 16).

Sebagaimana yang telah dipaparkan seblumnya, bahwa mitigasi adalah upaya pencegahan dan meminimalisir kerusakan pada tinggalan arkeologi dari resiko bencana. Sebagai tindakan untuk mengurangi dampak dari resiko bencana terhadap cagar budaya, maka langkah-langkah teknis yang harus dilakukan adalah : Pertama melakukan dokumentasi situasi dan cagar budaya itu sendiri. Tindakan dokumentasi mencakup tindakan pemotretan, film, dan pencatatan.  Tindakan tersebut meliputi: lingkungan Cagar Budaya, Cagar Budaya, elemen yang kemungkinan mengalami kerusakan atau bagian cagar budaya yang paling rapuh. Kedua adalah melakukan identifikasi jenis bencana atau bahaya yang mengancam cagar budaya. Jenis bencana atau ancaman tersebut terdiri dari dua yakni, ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas alam dan ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas alam seperti, banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, erosi, abrasi, angin kencang, dan longsor. Ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti, kebakaran, pembangunan infrastruktur, pertambangan, dan kerusuhan. Selain jenis bencana, sangat penting juga memahami besar kecilnya bencana dan frekuensi terjadinya bencana tersebut. Pengetahuan dan pemahaman terhadap jenis, besaran, dan frekuensi bencana atau ancaman menjadi sangat penting untuk menentukan jenis tindakan mitigasi. Sebuah bencana yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda pula. Begitu pula dengan besaran dan frekuensi yang berbeda akan membawa dampak kerusakan terhadap cagar budaya berbeda pula. Ketigas melakukan identifikasi elemen resiko. Elemen resiko adalah bagian dari cagar budaya yang kemungkinan besar hilang, rusak atau terkena dampak jika bencana tersebut terjadi. Tentunya jenis bencana yang berbeda, akan membawa dampak pada bagian-bagian cagar budaya. Keempat merencanakan atau mempersiapkan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan ini tentunya berbeda, tergantung dari jenis bencana atau ancaman dan elemen yang kemungkinan mengalami kerusakan. Tata cara mitigasi dapat dilakukan dengan: penataan ruang situs, pengaturan pembangunan dalam lingkungan situs, melakukan pelatihan penanggulangan bencana. Rencana tindakan pencegahan sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan rutin baik perlindungan maupun pengamanan situs. Khusus untuk cagar budaya yang sudah mempunyai zonasi, sebaiknya jenis tindakan pencegahan disesuaikan dengan zona. Tentunya zona inti harus mendapat perlakuan yang lebih dibanding dengan zona penyangga. Begitu juga antara zona penyangga dengan zona penunjang dan zona pengembangan. Kelima adalah penentuan jenis tindakan/mitigasi sebaiknya berdasarkan kearifan lokal dan ramah lingkungan. Artinya penentuan tindakan juga sebaiknya menggunakan pengetahuan-pengetahuan lokal. Dan yang keenam adalah selalu melakukan monitoring atau evaluasi keadaan dan kondisi cagar budaya setiap saat baik saat rutin maupun yang sifatnya insidentil (Hizbaron, 2013; 19).

Selain itu, melihat kondisi dari perahu kuno di Sungai Jakas saat ini yang semakin rusak, adalah 2 (dua) metode penyelamatan yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan dan melestarikannya. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan tidak memindahkan objek  (In-situ preservation) dan dengan metode dengan melakukan pengangkatan dan pemindahan (abandoned on site). Metode In-situ preservation dalam arkeologi bawah air adalah sebuah konsep konservasi yang menyimpan artefak pada tempat aslinya, dengan tujuan mengurangi permasalahan dalam melakukan konservasi logam ataupun kayu dalam skala besar. Pada kasus temuan bangkai kapal tenggelam, bangkai tersebut dibiarkan pada posisi aslinya di dasar laut/ danau/sungai dan diupayakan dalam kondisi stabil, kemudian diubah fungsinya menjadi monumen yang dapat dikunjungi oleh penyelam umum. Pendekatan ini merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan bagaimana melakukan konservasi atau ekskavasi pada bangkai kapal tenggelam secara keseluruhan. Tipe in-situ preservation lainnya adalah reburial artefak setelah ekskavasi dan penelitian. Konsep ini pernah dilakukan pada bangkai kapal San Juan di Red Bay, Labrador. Bangkai kapal tersebut diekskavasi dan komponennya dibongkar satu per satu untuk diteliti oleh arkeolog. Untuk menghindari timbulnya permasalahan dan biaya besar untuk konservasi, artefak-artefak tersebut di kubur kembali di dasar pelabuhan. Komponenkomponen kapal tersebut diletakkan dalam tiga lapisan yang ditutupi pasir dan gundukan tersebut ditutup dengan geotekstil untuk mengamankan bangkai kapal tersebut (Hamilton & Scourge tt).

Reburial adalah proses yang sangat penting dalam arkeologi bawah air, dimana kesempatan untuk melakukan analisis komprehensif atas temuan tidak selalu ada. Selain itu, reburial juga sering dilakukan pada kasus dimana upaya konservasi akan menguras dana penelitian sehingga akan mengurangi kualitas penelitian secara keseluruhan. Hal ini terutama terjadi dalam salvage archaeology, dimana sebagian besar situs diekskavasi dalam waktu yang singkat. Reburial juga sering diaplikasikan apabila pilihan-pilihan konservasi yang tersedia sangat terbatas karena faktor eksternal. Pengimplementasian in-situ preservation telah berkembang menjadi strategi ideal dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air secara internasional.

Dalam kesepakatan Konvenci UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Terhadap Warisan Budaya Bawah Air. Prinsip-prinsip Umum yang tertulis dalam Lampiran Konvensi UNESCO tahun 2001 berisi tentang peraturan yang berkaitan dengan perlindungan Cagar Budaya Bawah Air. Pasal 1 dalam Prinsip-prinsip Umum menyebutkan bahwa in-situ preservation harus menjadi pilihan pertama dalam pengelolaan artefak terendam. Menurut UNESCO, hal ini berarti benda-benda tersebut ‘seharusnya dibiarkan di dasar laut pada lokasi aslinya’ (UNESCO. org). Walaupun disebutkan bahwa in-situ preservation harus diutamakan, pada kondisikondisi tertentu pengangkatan artefak dari dasar laut dapat diterima, selama ekskavasi dapat memberikan ‘kontribusi yang signifikan bagi perlindungan atau pengetahuan atau pengembangan Cagar Budaya Bawah Air’ (Konvensi UNESCO tahun 2001: Prinsip prinsip Umum Pasal 1).

Demi penanganan situs yang lebih efektif, metode in-situ preservation proaktif yang tepat bagi kondisi lingkungan harus diterapkan. Dalam hal ini, definisi yang lebih jelas untuk pengelolaan yang baik termasuk menangani situs secara aktif pada lokasi aslinya, demi menambah panjang umur situs dengan tetap menjaga konteks dan posisi spasialnya yang asli. Apabila benda mengalami kerusakan tingkat tinggi karena terekspos oleh gerakan arus air yang ekstrem, gerakan pasir, erosi pesisir, pencurian, pengangkatan, pembangunan, atau organisme laut, preservasi proaktif yang dianggap tepat untuk lingkungan tersebut harus diterapkan. Serangkaian tindakan ini menjaga situs tetap in-situ – sehingga termasuk dalam praktek pengelolaan yang baik – dengan tetap memungkinkan dilakukannya penanganan dan preservasi Peninggalan Arkeologi Bawah Air secara aktif.

Konsep menjaga peninggalan arkeologi tetap in-situ sebaiknya menjadi pilihan pertama dalam pengelolaan situs arkeologi pada konteks perairan. Akan tetapi, pilihan ini hanya layak apabila kita dapat memahami dan mengkontrol jenis-jenis ancaman lingkungan yang berbeda (termasuk ancaman antropogenik dan ancaman alami terhadap sumber daya arkeologi pada konteks perairan). Hal ini dibutuhkan, baik pada level inter dan intra situs. Ancaman-ancaman ini dapat mengubah karakteristik in-situ dari lingkungan reburial, dan sebagai konsekuensinya, memiliki pengaruh yang merusak terhadap peninggalan organik yang terdapat di dalamnya (Lillie & Smith 2009). Sebenarnya, in-situ preservation bukan merupakan hal yang sepenuhnya baru dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia. Metode ini telah diterapkan si situs Punjulharjo. Setelah ditemukan pertama kali pada tahun 2008 bangkai kapal kayu di situs Punjulharjo telah diekskavasi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Ekskavasi tersebut selesai pada tahun 2009 dan strategi konservasi yang dipilih adalah membiarkan bangkai kapal tersebut pada konteks aslinya, dengan menjaganya supaya tetap terendam air laut. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan keaslian lingkungan yang akan memegang peran penting dalam konservasi bahan kayu yang sangat mudah lapuk apabila mengalami perubahan kondisi yang ekstrem.

Kemudian metode kedua adalah dengan metode dengan melakukan pengangkatan dan pemindahan (abandoned on site). Alternatif kedua adalah dengan mengangkatnya atau mengeluarkannya dari konteksnya, namun dengan tujuan untuk pemanfaatan yang lebih luas. Dalam hal ini, dapat menggunakan metode abandoned on site.  Hal yang membedakan ‘in-situ preservation’ dan ‘abandoned on site’ terletak pada kegiatan monitoring dan pemanfaatan. Konvensi UNESCO tahun 2001 menyebutkan dengan jelas bahwa selain menjamin kelestarian Peninggalan Arkeologi Bawah Air, in-situ preservation dijadikan prioritas agar masyarakat dapat mengakses Peninggalan Arkeologi Bawah Air tanpa merusak kondisi aslinya. Salah satu situs Peninggalan Arkeologi Bawah Air yang telah menerapkan in-situ preservation adalah situs bangkai kapal tenggelam USAT Liberty di Tulamben, Bali. Adanya law enforcement dari hukum adat awig-awig menjadikan situs tersebut terjamin kelestariannya dan tetap dapat diakses oleh masyarakat.

Metode ini menjadi alternatif karena tingginya minat masyarakat untuk mengakses tinggalan kapal tenggelam melalui wisata penyelaman minat khusus juga perlu menjadi pertimbangan dalam memilih insitu preservation sebagai strategi pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia. Kesadaran masyarakat tentang Cagar Budaya tentu akan meningkat dengan bertambahnya pemahaman tentang warisan budaya setelah mereka mengeksplorasi secara langsung Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Sebaliknya, pengerusakan dan pencurian artefak sangat potensial untuk terjadi di situssitus bawah air tersebut. Dengan demikian, in-situ preservation perlu diimplementasikan secara cermat sehingga mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk mengakses warisan budaya mereka tetapi juga keamanan dan keutuhan situs tetap terjaga. Tantangan terbesar untuk mengimplementasikan Konvensi UNESCO tahun 2001 adalah berkenaan dengan Peraturan 2 dalam Prinsip-prinsip utama yang menyebutkan bahwa: “”The commercial exploitation of underwater cultural heritage for trade or speculation or its irretrievable dispersal is fundamentally incompatible with the protection and proper management of underwater cultural heritage. Underwater cultural heritage shall not be traded, sold, bought or bartered as commercial goods. Peraturan tersebut bertentangan dengan keputusan pemerintah Indonesia yang membentuk Panitia Nasional BMKT untuk mengkoordinasikan kegiatan pengangkatan dan pelelangan Peninggalan Arkeologi Bawah Air sehingga menjadi kegiatan yang legal. Seperti diketahui, tujuan kegiatan tersebut semata-mata untuk kepentingan komersial, maka yang diupayakan adalah mengangkat benda temuan sebanyak-banyaknya dan dalam kondisi baik (Widiati 2011).

Alternatif kedua ini telah menjadi wacana di Pemerintah Kabupaten Bintan untuk melakukan pengangkatan dan pemindahan Kapal Kuno Sungai Jakas tersebut ke lokasi yang dapat memudahkan masyarakat mengaksesnya. Lokasi yang direncanakan adalah di Museum Bahari di Bintan. Namun, berpijak pada Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 perlu Studi Kelayakan Penyelamatan dan Pengamanan khususnya Pengangkatan dan Pemindahan Kapal Kuno tersebut ke tempat yang lebih aman (Museum Bahari).

Selain itu, pada bagian akhir segala program  yang nantinya akan direncanakan dan dilaksanakan terhadap Bangkai Kapal Kuno di Sungai Jakas, Bintan Buyu pada dasarnya harus segera mengajukan penetapan Kapal Kuno Sungai Jakas  menjadi Cagar Budaya sehingga dapat memiliki kekuatan hukum. Selain itu, pemerintah perlu melakukan koordinasi intra unit-unit pelaksanaannya agar disepakati tentang kewenangan dan regulasi pedoman yang sama. Hal ini diperlukan untuk meminimalisasi potensi-potensi konflik di lapangan.

Setelah upaya mitigasi dilakukan, dalam memaksimalkan perlindungan terhadap perahu kuno di sungai jakas maka perlu dilakukan: (1) Pemantauan, pemantauan penyelenggaraan siaga bencana cagar budaya diperlakukan sebagai upaya untuk memantau terus menerus terhadap proses pelaksanaan penyelenggaraan siaga bencana benda cagar budaya dilakukan oleh Direktorat Peninggalan Purbakala dan jajarannya; (2) Evaluasi penyelenggaran siaga bencana cagar budaya dilakukan dalam rangka pencaaian standar minimum dan peningkatan kinerja siaga bencana cagar budaya.evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Peninggalan Purbakala dan jajarannya, dan (3) Pembinaan, pembinaan dapat dilakukan dengan cara pendidikan dan pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,kepedulian,kemampuan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

 

Kesimpulan

Kehadiran cagar budaya bersama kita saat ini setidaknya bisa dimanfaatkan oleh tiga hal yakni kepentingan ideologik, akademik, dan ekonomik. Cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang merupakan warisan nenek moyang kita untuk dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan diwariskan lagi untuk generasi selanjutnya. Oleh karena itu, menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya tersebut. Sekali cagar budaya tersebut hilang, tidak mungkin bisa tergantikan dengan benda sejenis. Mungkin secara bentuk kita bisa menduplikasi cagar budaya, tetapi nilai yang terkandung didalamnya tidak bisa tergantikan.

Ancaman kerusakan terhadap Perahu Kuno di Sungai Jakas bukan hanya karena faktor kerapuhan benda akibat umur, tetapi juga ancaman dari luar. Misalnya ancaman akibat aktivitas manusia maupun ancaman akibat aktivitas lingkungan, seperti bencana. Untuk mencegah dampak akibat bencana tersebut, maka diperlukan tindakan-tindakan pencegahan yang disebut dengan mitigasi.

 

 

Daftar Pustaka

Hizbaron, Dyah Rahmawati. 2013. “Pengurangan Resiko Bencana Pada Cagar Budaya” Makalah. Disampaikan pada Bimbingan Teknis Manajemen Penanggulangan Bencana pada Cagar Budaya. Yogyakarta, 4 Pebruari 2013.

Piere-Yves Manguin, Nurhadi (1987).  Perahu Karam di Situs Bukit Jakas, Provinsi Riau: Sebuah Laporan Sementara, dalam Laporan 10 tahun kerja sama Puslit Arkenas dengan EFFEO. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta, hlm 44-64.

Gregonis. Linda, (1981), Conservation Archeological Material.

Swastika. Ari, (2008) Makalah Bimbingan Teknis Konservasi Peninggalan Bawah Air: Identifikasi Kerusakan dan Sistem Pengumpulan Data Konservasi Benda Cagar Budaya Bawah Air.

Winarsih, (2008), Makalah Bimbingan Teknis Konservasi Peninggalan Bawah Air: Pemindahan dan Penyimpanan Artefak Bawah Air.

Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

 

 

 

 

[1] Mahasiswa Magang (KKL) Program Studi Arkeologi Universitas Jambi

[2] Piere-Yves Manguin, Nurhadi (1987).  Perahu Karam di Situs Bukit Jakas, Provinsi Riau: Sebuah Laporan Sementara, dalam Laporan 10 tahun kerja sama Puslit Arkenas dengan EFFEO

[3] Ibid, hlm 44

[4] Ibid, hlm 47