Oleh: Andi Muhammad Said
Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.4, BPCB Samarinda, 2015
Pendahuluan
Gua-gua prasejarah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang umumnya terdapat pada pegunungan/ kawasan karst, merupakan tinggalan arkeologis yang mewakili salah satu babakan masa prasejarah di Indonesia. Situs Gua Pasejarah merupakan bukti peradaban manusia yang menunjukkan suatu era baru dimana manusia sudah mulai memasuki tahapan kehidupan menetap, setelah sebelumnya menjalani kehidupan yang bersifat nomaden. Masa kehidupan menetap dalam gua-gua di Indonesia, oleh para ahli dan peneliti kepurbakalaan menyebutnya sebagai masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, atau juga dikenal dengan istilah Mesolitikum.
Situs gua prasejarah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tempat atau bagian yang terdapat pada perbukitan karst atau jenis batuan lainnya, baik yang berbentuk gua/rongga, ceruk/gua payung, maupun berupa tebing. Situs tersebut ditandai dengan ditemukannya berbagai jenis artefak dan ekofak pendukung kehidupan manusia prasejarah yang pernah menghuni atau memanfaatkan gua-gua tertentu sebagai tempat beraktifitas dalam menjalani kehidupan kesehariannya, baik berupa kegiatan yang bersifat ritual, maupun yang bersifat profan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia pada masa itu. Tinggalan purbakala/ arkeologis yang terdapat pada gua-gua prasejarah antara lain berupa berbagai jenis lukisan/ gambar berwarna merah dan hitam; jenis-jenis peralatan berburu/ mengumpul dan mengolah makanan yang terbuat dari bahan batu, tulang, cangkang kerang, dan kayu; serta benda-benda seni berupa manik-manik, hiasan dari kerang, kayu, tulang/taring binatang. Selain itu sebagai bukti kehadiran manusia di dalam gua, ditandai dengan terdapatnya sisa-sisa sampah dapur yang terdeposit/ tersementit pada permukaan dan pelataran gua. Sampah dapur tersebut terdiri atas remukan berbagai jenis moluska serta tulang-tulang binatang yang bercampur dengan berbagai jenis sisa-sisa serpih, bilah, dan bantu inti, yang merupakan bagian/sisa pembuatan peralatan dan kelengkapan untuk berburu/ mengumpul dan mengolah makanan pada masa itu.
Keberadaan berbagai jenis tinggalan arkeologis pada gua-gua prasejarah menunjukkan bahwa situs tersebut memiliki nilai penting sebagai salahsatu babakan dalam kerangka prasejarah Indonesia.
Bukti keberadaan aktifitas manusia prasejarah di dalam gua, ceruk, dan tebing, pada awalnya diungkap oleh seorang pedagang yang bernama Johannes Keyts yang melakukan perjalanan dari Banda ke pantai New Guinea pada tahun 1678 dan menemukan sebuah tebing karang di tepi Teluk Speelman yang dipenuhi dengan tengkorak serta sebuah patung manusia dan berbagai tanda berwarna merah yang terdapat pada dinding karang (Arifin, 1992). Informasi tentang penemuan tersebut mengundang semakin banyaknya peneliti dan peminat yang datang ke Indonesia untuk melihat dan mengamati gua-gua prasejarah serta temuan arkeologi lainnya yang tersebar luas di wilayah Indonesia, baik yang terdapat di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan di wilayah Indonesia bagian Timur.
Berkaitan dengan nilai penting yang terkandung dalam situs gua-gua prasejarah sebagai bukti sebagai salah satu fase kehidupan manusia pada masa prasejarah, maka entitas budaya tersebut perlu tetap dipertahankan kelestariannya. Pelestarian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang diamanatkan oleh UUCB No 11/2010, yaitu upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tahapan awal dari upaya pelestarian adalah dengan melakukan pelindungan terhadap Cagar Budaya agar dapat mempertahankan keberadaanya secara fisik, khususnya diutamakan pada pelindungan bagian terpenting dari Cagar Budaya beserta lingkungan pendukungnya. Pelindungan dalam hal ini mencakup jenis-jenis tindakan berupa Penyelamatan, Pengamanan, dan Zonasi.
Pelindungan dalam bentuk zonasi pada dasarnya memiliki dua aspek didalamnya, yaitu melindungi Cagar Budaya secara fisik, serta melindungi secara regulasi. Zonasi merupakan sebuah upaya pelindungan dengan cara penentuan ruang yang dibutuhkan untuk melindungi bagian terpenting dari Cagar Budaya, serta penataan ruang untuk kepentingan pengembangan pemanfaatannya. Ruang-ruang zonasi yang telah ditentukan selanjutnya dilengkapi dengan ketentuan peruntukan lahan pada masing-masing zona, yang berisi tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh berlaku pada masing-masing lahan disetiap zona yang telah ditentukan. Selanjutnya ruang-ruang zonasi yang telah ditentukan luasan dan peruntukan lahannya ditindak-lanjuti dengan penetapan melalui Surat Keputusan yang ditandatangani oleh pejabat berdasarkan peringkat Cagar Budaya yang di zonasi.
Mengingat bahwa zonasi merupakan suatu upaya pelindungan terhadap cagar budaya yang dilengkapi dengan regulasi yang mengatur ruang-ruang zonasi yang akan ditetapkan, maka dalam penentuan ruang zonasi, harus didahului dengan sebuah kajian untuk mengidentifikasi setiap tinggalan dan gejala arkeologis yang ada serta identifikasi jenis dan kondisi lingkungan, baik berupa lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Selain itu perlu juga dilakukan identifikasi terhadap tataguna dan kepemilikan lahan serta jenis-jenis dan bentuk ancaman yang terdapat di sekitar cagar budaya, dan tidak kalah pentingnya adalah identifikasi terhadap setiap regulasi dan aturan adat yang berlaku pada area kawasan dimana cagar budaya berada. Berdasarkan berbagai jenis data yang telah dikumpulkan dalam kajian, selanjutnya dirumuskan untuk menentukan sistem zonasi yang akan diterapkan pada cagar budaya yang akan dizonasi.
Lebih jelasnya Undang-Undang Cagar Budaya mengamanatkan bahwa zonasi merupakan sistem tata ruang dalam situs atau kawasan cagar budaya yang meliputi penentuan batas-batas keruangan dan fungsi masing-masing ruang. Hal ini tercantum dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 26 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mencantumkan bahwa zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Lebih lanjut dalam Pasal 72 mengatur mengenai penetapan batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang dalam situs dan kawasan berdasarkan kajian, sedangkan Pasal 73 Ayat (3) Sistem zonasi dapat terdiri dari a). zona inti, b). zona penyangga, c). zona pengembangan, dan/atau d). zona penunjang. Selain itu dalam pasal yang sama pada Ayat (4) dijelaskan bahwa penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Lebih lanjut tentang sistem zonasi dapat dilihat dalam penjelasan UU No. 11 Tahun 2010 diuraikan, zona inti adalah area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya, sedangkan zona penyangga merupakan area yang melindungi zona inti. Di samping itu, zona pengembangan merupakan area yang diperuntukkan bagi pengembangan potensi Cagar Budaya untuk kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa zona penunjang adalah area yang diperuntukkan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.
Penentuan Zonasi Situs Gua Prasejarah
Keberadaan situs gua prasejarah pada umumnya berada pada alur pegunungan karst, baik yang terletak di daerah pedalaman maupun pesisir, dengan jenis lingkungan yang dapat berupa kawasan Taman Nasional atau Hutan Lindung, serta wilayah adat, dan bahkan ada yang berada di sekitar kawasan pemukiman. Pada sisi lain, diketahui bahwa gua-gua prasejarah berada pada pegunungan karst, sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan bahan eksploitasi berbagai jenis tambang batu kapur antara lain semen dan marmer. Berbagai jenis kondisi yang ada disekitar gua-gua prasejarah tersebut, harus menjadi pertimbangan utama dalam rangka penentuan sistem zonasi yang akan diterapkan.
Beberapa hal penting yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan sistem zonasi pada situs gua prasejarah, antara lain;
- Sebaran/ distribusi temuan arkeologi
- Daerah tangkapan/ daerah jelajah manusia penghuni gua
- Kebutuhan pelindungan terhadap bagian terpenting dari cagar budaya
- Jenis ancaman yang ada atau ancaman yang diprediksi memungkinkan terjadi pada situs atau lingkungan situs.
- Kondisi lingkungan mikro dan bentuk permukaan lahan.
- Hak kepemilikan atau penguasaan lahan.
- Jenis dan bentuk pemanfaatan yang terjadi pada lahan situs dan lingkungan sekitarnya.
- Regulasi dan aturan adat yang berlaku pada arel/ kawasan yang akan dizinasi.
- Kebutuhan Pengembangan dan Pemanfaatan cagar budaya
Mengingat bahwa bagian terpenting dari suatu situs gua prasejarah adalah berupa tinggalan arkeologi yang terdapat di dalam dan di sekitar gua, baik yang berbentuk artefak maupun ekofak. Salahsatu jenis tinggalan arkeologi yang terdapat dalam gua prasejarah berupa lukisan/ gambar prasejarah, dengan demikian maka yang menjadi prioritas utama untuk dilindungi dengan zonasi adalah tinggalan arkeologi tersebut. Untuk melindungi tinggalan arkeologi yang berupa lukisan gua, dengan ancaman utamanya berupa fluktuasi suhu yang ekstrim serta terpaan secara langsung dari sinar matahari dan angin, maka yang perlu diperhatiakan dalam penentuan zona pelindungannya adalah, mempertahankan lingkungan mikro serta vegetasi dan tumbuhan tutupan lahan di sekitar situs. Dengan kata lain bahwa zona inti yang akan ditetapkan terhadap gua prasejarah yang memiliki tinggalan arkeologis berupa lukisan gua, harus dapat menjamin tidak berubahnya lingkungan mikro dari cagar budaya tersebut.
Hal lain yang sangat mengancam kelestarian situs gua prasejarah, adalah berbagai jenis aktifitas pertambangan yang mengeksploitasi batu gamping sebagai bahan baku. Sementara gua-gua prasejarah pada umumnya terdapat pada pegunungan gamping atau karst, sehingga kelestariannya akan sangat terancam apabila pada areal tersebut terjadi kegiatan eksplorasi pertambangan. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut maka gua-gua prasejarah harus diberi ruang dalam bentuk system zonasi yang dapat menjamin kelestariannya. Sistem zonasi yang dimaksudkan dalam hal ini meliputi zona yang bersifat horizontal dan vertikal. Zona horizontal dimaksudkan untuk mengantisipasi rambahan aktifitas serta dampak kegiatan fisik yang berlaku di sekitar situs. Sementara zonasi vertikal, dimaksudkan untuk melindungi situs baik dari atas maupun dari bawah. Perlindungan situs dari atas bertujuan untuk menjaga bagian atas situs gua yang merupakan bagian penting dari sebuah ekosistem karst. selain itu dimaksudkan juga untuk menjaga estetika dan keserasian lingkungan gua prasejarah. Sementara zonasi ke bawah dimaksudkan untuk menjaga struktur bagian bawa gua prasejarah yang tidak menutup kemungkinan dapat dieksploitasi untuk berbagai jenis kegiatan pertambangan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kegiatan pertambangan sebagian besar menggunakan bahan peledak serta penggunaan peralatan berat dalam menjalankan aktifitas eksplorasinya, sehingga dapat menimbulakan getaran yang kuat sehingga dapat menggaggu stabilitas batuan pendukung gua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka bagian terpenting dari gua prasejarah harus diupayakan agar terhindar dari dampak aktifitas fisik, untuk itu ruang zona pelindungan atau zona inti harus dibebaskan dari ancaman tersebut dengan cara mengatur besaran bahan peledak yang digunakan serta menentukan jarak titik ledak yang dimungkinkan di sekitar cagar budaya. sehingga posisi cagar budaya terbebas dari dampak negatif dari sebuah ledakan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penentuan zona peindungan perlu mempertimbangkan standar keamanan teknis peledakan yang ditetapkan oleh AECI Limited tentang penggunaan bahan peledak High Explosive serta pengaruhnya terhadap struktur dalam radius tertentu. Untuk pengaturan muatan peledak per delay tersebut dapat diperjelas pada tabel dan diagram berikut:
Tabel Maksimum Muatan Bahan Peledak Untuk Berbagai Jarak dari Struktur Terdekat.
Jarak Struktur Terdekat
(meter) |
Maksimum Muatan Per Delay*
(kg) |
50
60 70 80 90 100 150 200 250 300 350 400 450 500 |
18
22 27 32 38 45 80 120 170 225 285 355 450 550 |
Sumber: AECI Limited
* : Standar Bahan Peledak High Explosive
Berdasarkan tabel percepatan gelombang getar pada ledakan Seismic Effect of Querry Blasting, Bureau of Mines tahun 1942, peledakan dengan berat bahan peledak 225 kg dengan jarak 300 m, diperoleh percepatan 0,011 inci/detik atau 0,2794 mm/detik. Dengan demikian maka Maksimum muatan bahan peledak per delay untuk jarak 300 m (984 feet) adalah 225 kg (496 lb), untuk jarak yang lebih pendek harus menggunakan bahan peledak dengan berat dibawah 225 kg, atau sebaliknya jika berat melebihi 225 kg, maka jarak aman struktur bertambah (harus di atas 300 m).
Selain faktor ancaman, penentuan zonasi gua-gua prasejarah dapat didasarkan pada prinsip tata ruang kawasan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, khususnya mengenai rencana pola ruang, yang pada pasal 17 ayat (3) disebutkan bahwa meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya serta pemanfaatan ruang sebagaimana tercantum dalam pasal 32. Mengacu pada kedua undang-undang tersebut, maka dalam konsep yang diterapkan dalam zonasi situs adalah konsep penataan dan pengendalian ruang dengan menggunakan regulasi pada masing-masing ruang dalam zonasi. Penerapan konsep tersebut pada zonasi di gua-gua prasejarah adalah langkah antisipasi terhadap besarnya kepentingan atas pengelolaan sumberdaya alam seperti eksploitasi batuan gamping yang merupakan penyusun utama pegunungan karst. Pergesekan yang terjadi akibat perbedaan kepentingan ini diharapkan dapat diminimalisir dengan adanya sistem zonasi situs-situs gua prasejarah, sehingga berbagai kepentingan yang ada dan berlaku di sekitar situs dapat berjalan beriringan (win-win solution).
Penutup
Zonasi sebagai sebua sistem penataan ruang untuk pelestarian situs cagar budaya, harus lebih mengutamakan pelindungan terhadap bagian terpenting dari cagar budaya, serta mempertimbangkan kepentingan pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kesejahteraan masyarakat secara umum. Untuk itu terlebih dahulu harus dilakukan identifikasi bentuk ruang situs serta mengidentifikasi jenis tinggalan yang menjadi bagian terpenting, baik posisi, keletakan, dan persebarannya, maupun kondisi kelestarian dan jenis ancaman yang ada. Selanjutnya berdasarkan hal tersebut dapat ditentukan batas zona inti, baik yang penentuannya didasarkan pada sebaran tinggalan arkeologis atau bentuk lahan situs, maupun yang didasarkan pada kepentingan pelindungan terhadap bagian terpenting dari cagar budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam UUCB No. 11/2010. Dengan demikian maka bentuk zona inti disesuaikan dengan bentuk dan luasan situs
Selanjutnya untuk melindungi Zona inti, ditentukan zona penyangga sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan faktor kelestarian situs, termasuk juga aspek keserasian lingkungan. Bentuk zona penyangga ini sedapat mungkin dapat mengelilingi zona inti sehingga dapat menjamin kelestarian zona inti serta ekosistem karst yg ada dalam zona inti. Beberapa konsep yang dapat diterapkan adalah keseimbangan/ keselarasan lingkungan dan kelayakan pandang (Said, 2000); konsep antisipasi efek peledakan yang diajukan oleh Ghadafi (2001) serta tabel percepatan gelombang getar dari aktivitas pertambangan (Seismic Effect of Quarry Blasting, Bureau of Mines Bulletin; dalam Hemphill, 1981: 146-148). Dengan demikian maka bentuk luasan zona penyangga disesuaikan dengan kondisi keterancaman situs yang ada pada saat ini, atau jenis ancaman yang memungkinkan terjadi di sekitar situs. Terhadap situs-situs gua prasejarah yang saling berdekatan antara satu dengan lainnya, tidak tertutup kemungkinan akan memiliki zona penyangga yang saling berhimpitan antara satu situs gua dengan lainnya, sehingga dapat membentuk suatu kawasan pada gugusan karst tertentu. Dengan demikian maka pelestariannya dapat dilakukan secara kawasan serta dapat melindungi ekosistem karst secara luas.
Setelah menentukan zona inti dan zona penyangga, selanjutnya dapat dilakukan penentuan zona pengembangan terhadap situs gua prasejarah atau kawasan gua prasejarah yang terbentuk akibat penentuang zona penyangga, zona pengembangan sedapatmungkin berada di luar zona penyangga. Dalam Bab Ketentuan Umum dalam UU No. 11 Tahun 2010, disebutkan bahwa Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian. Berdasarkan pengertian ini, maka dalam penentuan zona penyangga, seluruh komponen sebagaimana yang disebutkan di atas harus dapat diakomodir dalam area atau zona yang ditetapkan tersebut. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 73 ayat (3) Huruf c, zona pengembangan adalah area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan. Dengan demikian, keseluruhan area yang ditentukan harus didasarkan pada rencana pengembangan atau didasarkan pada potensi yang dimiliki oleh suatu situs/ kawasan, serta kondisi sosial-budaya di sekitar situs. Pengembangan dalam hal ini dapat dilakukan terhadap situs persitus atau secara kawasan, disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan pemanfaatan yang diproyeksikan untuk kepentingan masyarakat luas.
Zona keempat dari sistem zonasi yang diatur dalam UUCB No.11/2010 adalah zona penunjang, yaitu area yang diperuntukan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya dalam zonasi, kepentingan komersial tetap diakomodir dengan menyiapkan areal khusus untuk kepentingan tersebut, dengan demikian maka areal zona penunjang harus berada diluar zona pengembangan.
Cakupan pengertian kegiatan komersial dapat sangat luas dengan segala konsekuensi, baik langsung maupun tidak langsung, memang dapat memberikan pengaruh yang buruk bagi ketiga zona yang ditetapkan sebelumnya. Namun demikian, prinsip-prinsip zonasi yang telah dilengkapi dengan regulasi yang yang mengatur tentang hal yang boleh dan tidak boleh berlaku pada setiap zona, harus tetap mencerminkan aturan yang merupakan kompromi antara kepentingan pelestarian dan ekonomi atau komersial.
Kepustakaan
Aksa, Laode Muhammad. 1991. “Lukisan Dinding Metanduno dan Gua Kobori Di Pulau Muna Sulawesi Tenggara”. Skripsi. Ujung Pandang: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Anonim, 1999. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1518 K/20/MPE/1999 tentang Pengelolaan Kawasan Karst, Jakarta.
_________, 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung. Jakarta.
_________, 2005. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia tentang Benda Cagar Budaya, Jakarta, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.
_________, 2006. Kabupaten Maros dalam Angka, Pangkep, Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros.
_________, 2007. Laporan Pemintakatan (Zoning) Gua-Gua Prasejarah Kawasan Karst Bantimurung Kabupaten Maros, Makassar, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
_________, 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makassar, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah III Ujungpandang.
_________. 2006. Profil Pariwisata Maros. Maros : Kantor Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Maros.
Arifin, Karina. 1997. “Penelitian Rock Art Di Indonesia Dari Deskripsi Sampai Pencarian Makna”. Dalam Makalah Seminar Hasil Penelitian. Jakarta: Lembaga Penelitian UI.
_________, 1992. “Lukisan Batu Karang di Indonesia”. Jakarta: Lembaga Penelitian UI.
_________, Dan Philippe Delanghe. 2004. “Rock Art In West Papua”. Paris: United Nations Educational, Scientific And Cultural Organisation 7, Place De Fontenoy, 75352 Paris 07 SP.
Bellwood, Peter. 2000. “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia Edisi Revisi”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Billings Marland P., 1979. Struktural Geology, New Delhi, Prentice Hall of India Private Limited.
Darvill, Timothy. 1995. “Value System in Archaeology”. Dalam Malcolm A. Copper dkk. Managing Archaeology. London and New York: Routledge.
Eriawati, Yusmaini; Vita; M.Fadlan S. Intan, dkk. 1997. Penelitian Suberdaya Alam (Lingkungan Vegetasi) di Situs Kompleks Gua Wilayah Maros Sulawesi Selatan. Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Ghadafi, Muhammad., 2000. Antisipasi Efek Peledakan dengan Diagram Zoning Terhadap Kelestarian Situs Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan, Makassar, Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Tidak Terbit.
Heekeren, H. R van. 1972. The Stone Age of Indonesia, 2nd Edition. The Hague-Martinus Nijhoff.
Hemphill, P.E., Gary B., 1981. Blasting Opertions, New York, McGraw-Hill Inc.
Kasnowihardjo, H. Gunadi, 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, Makassar, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS).
Kasri Nurlina dkk., 1998, Kawasan Karst di Indonesia Potensi dan Pengelolaan Lingkungannya, Jakarta.
Kosasih. 2000. “Potensi Gua dalam Arkeologi dan Prospek Wisata Minat Khusus”, dalam WalennaE no.5. Makassar: Balai Arkeologi Makassar.
Mason, Randall. 2002. “Assesing Values in Conservation Planning: Methodological Issue and Choice. Dalam Marta de la Torre (ed). 2002. “Assessing the Values of Cultural Heritage”. Research Report. Los Angeles: The Getty Conservation Institute.
Nasruddin. 2004. “Temuan Tanda Tangan Dan Potensi Situs Gua-Gua Hunian Di Kawasan Pegunungan Marang Kalimantan Timur”. Dalam Majalah Arkeologi Kalpataru No. 17. Jakarta: Kementerian Kebudayaan Dan Pariwisata Deputi Bidang Sejarah Dan Purbakala Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional.
Nur, Muhammad. 2009. Pelestarian Kompleks Gua Leang-Leang, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Thesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places: The Basic of Heritage Planning for Managers, Landowners and Adiministrators. Melbourne: Melbourne University Press.
Said, Andi Muhammad., 2000. Pemintakatan Arkeologi: Suatu Upaya Pelestarian Gua Prasejarah Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Tesis, Jakarta Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak Terbit.
Samodra, Hanang. 2003. ”Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia dan Usaha Pengelolannya Secara Berkelanjutan”. Suplemen tulisan pada Pelatihan Dasar Geologi untuk Pecinta Alam dan Pendaki Gunung. Kerjasama Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dengan Klub Pecinta Alam, Bogor, 16-19 April 2003.
Semma, Rustan Muhammad. 1992. “Lukisan Dinding Pada Tebing di Kawasan Teluk Tomori Kabupaten Poso (Suatu Analisis Arkeologi)”. Skripsi. Ujung Pandang: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Setiawan B. dan Dwita Hadi Rahmi, 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Cetakan Kedua, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Setiawan, Pindi. 2004. “Pesan dari Jaman yang Hilang: Gambar Cadas Kalimantan”. Makalah disampaikan pada Seminar Penelitian Perancis di Indonesia. Jakarta: Museum Nasional.
Siagian, Linda . 2007. “Model Pemanfaatan Gua-Gua Prasejarah Di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Skripsi. Universitas Hasanudin. Makassar
Soejono, R.P. 1993. “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1”. Jakarta: Balai Pustaka.
Soemarwoto, Otto., 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Edisi Revisi, Jakarta, Djambatan.
Sumantri, Iwan. 2004. “Penerapan Kajian Pola Pemukiman Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan: Studi Kasus Biraeng”. Dalam Iwan Sumantri (ed). Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. Makassar: Penerbit Ininnawa.
Tanudirjo, Daud Aris. 1996. “Problema dan Prospek Lukisan Cadas di Indonesia”. Dalam Seminar Prasejarah Indonesia 1, 1-3 Agustus 1996. Yogyakarta: API.
_________, 2004a. “Penetapan Nilai Penting dalam Pengelolaan Benda Cagar Budaya.” Makalah disampaikan pada Rapat Penyusunan Standardisasi Kritetia (Pembobotan) Bangunan Benda Cagar Budaya. Jakarta: Ciputat, tanggal 26-28 Mei 2004.
The Burra Carter. “ The Australian ICOMOS Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance. Dalam Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. Looking After Heritage Places: The Basic of Heritage Planning for Managers, Landowners and Adiministrators. Melbourne: Melbourne University Press.