Uskup Sului Florentinus tutup usia pada senin (15/7) lalu pada usia 65 tahun. Saat menjalani operasi katarak, penyakit jantungnya kambuh dan akhirnya meninggal. Pekan lalu Uskup Sului sempat bertemu dengan Kaltim Post. Ia menceritakan tentang jalan hidupnya. Oleh orangtua, ia diberi nama Hibau. Hingga berumur dua tahun Hibau kerap sakit-sakitan sehingga ia dibawa berobat tradisional dan nama Hibau diubah menjadi Sului yang berarti tusukan. Kedua orangtua Uskup Sului masih memeluk kepercayaan tradisional. Pada 3 April 1958, Sului dibaptis dan mendapat nama Florentinus. Dia menyelesaikan pendidikan dasar di SD Katolik Tering. Tahun 1962 melanjutkan sekolah di Samarinda di SMP Katolik WR Soepratman dan SMA di Seminari Menengah St Yosep. Tahun 1968 dia pergi ke Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, Yogyakarta. Panggilan rohaninya tiba ketika memutuskan masuk Biara Misionaris Keluarga Kudus (MSF). Setelah ditasbihkan menjadi imam, ia ditugaskan ke tempat terpencil di Long Pahangai yang kini sebuah kecamatan paling utara Kutai Barat. Menurut sejarahnya, Keuskupan Samarinda sejak awal berdiri dipimpin pastor dari Belanda. Urutannya yakni Monseignur (Mgr) Y Groen, Mgr De Marteau, Mgr Romeijn dan Mgr Michael Choomans. Ketika Coomans menjadi uskup pada awal 1990-an, Sului adalah wakilnya. Saat Uskup Coomans meninggal, Sului diangkat menggantikan uskup sebelumnya. Dia diangkat pada 5 April 1993 dan menjadi uskup asal Indonesia pertama yang juga berdarah Dayak di Keuskupan Samarinda. Seiring berubahnya Keuskupan Samarinda menjadi Keuskupan Agung Samarinda tahun 2003, Sului menjadi uskup agung. Tugas keuskupan agung adalah mengoordinasi keuskupan sekitar. Di Kalimantan hanya ada dua keuskupan agung yakni di Samarinda dan Pontianak.