SITUS SANGIRAN : POTENSI, PROBLEMATIKA, DAN STRATEGI PELESTARIANNYA

0
819

SUKRONEDI dan HARYONO

Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.4, BPCB Samarinda, 2015

Abstrak

Situs Sangiran  pada tahun 1996 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia mengharuskan pelaksanaan usaha-usaha pelestariannya secara komprehensif, integral, dan sistematis. Situs seluas 59,21 Km² yang memiliki nilai dan potensi signifikan  dalam pengkajian ilmu pengetahuan khususnya bidang evolusi manusia, budaya, dan lingkunganya ini memiliki beberapa permasalahan yang bisa mengancam kelestariannya. Permasalahan tersebut dikelompokkan menjadi tiga yakni permasalahan geografis-geologis, permasalahan sosial-ekonomi-budaya, dan permasalahan kebijakan (policy). Untuk melestarikan Situs Sangiran sekaligus mengatasi permasalahan-permasalahan aktual maka dilakukan beberapa strategi yaitu menjaga kelestarian situs, pengembangan nilai-nilai penting Situs Sangiran, pengembangan pemanfaatan, pengelolaan terpadu antara stakeholders, dan pemberdayaan masyarakat, penetapan Situs Sangiran sebagai Kawasan Strategis Nasional, dan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan Cagar Budaya dengan peraturan perundang-undangan yang relevan di daerah.

Kata Kunci : Situs Sangiran, Warisan Budaya Dunia, Pelestarian.

Abstract

Sangiran site which is designated by UNESCO as a World Cultural Heritage in 1996 requires the implementation of comprehensive, integral and systematic conservation efforts. 59.21 km ² site area ​​which has value and significant potential in the study of science, particularly on the field of human evolution, culture, and  environment, has several problems that threat its sustainability. It is divided into three: geographical-geological problems, problems of social-economic-cultural and policy issues. To preserve the Sangiran site and overcomethose actual problems, it needs several strategies such as secure siteconservation, develop ​​Sangiranvalues, develop utilization, make integrated management between stakeholders, empower society, determine Sangiran Site as a National Strategic Area, and harmonize and synchronizeheritage rules with relevant region rules.

Keywords: Sangiran Site, World Cultural Heritage, Conservation.

  1. Pendahuluan

Situs Sangiran terletak di kaki Gunung Lawu, tepatnya di depresi Solo sekitar 17 km ke arah utara dari kota Solo dan secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Sragen dan sebagian terletak di Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayahnya ± 56 Km² yang mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen yaitu Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh serta Kecamatan Gondangrejo di Karanganyar. Secara astronomi terletak pada 7°25’ – 7°30’ LS dan pada 4° – 7°05’ BT (Moelyadi dan Widiasmoro, 1978).

Situs arkeologi ini berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 070/0/1977, tanggal 15 Maret 1977, telah ditetapkan sebagai Daerah Cagar Budaya (Hidayat, 1993) dan pada tanggal 5 Desember 1996, pukul 10.06 pagi waktu Meksiko diterima dan ditetapkan secara aklamasi oleh World Heritage Comitte UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia dengan nama Sangiran The Early Man Site. Sejak saat itu, Situs Sangiran                  telah diakui secara penuh sebagai Warisan Budaya Dunia dengan nomor: 593 (Dokumen WHC-96/Conf.201/21), dan disebarluaskan secara resmi keseluruh dunia melalui dokumen UNESCO-PRESS Nomor: 96-215 tanggal 7 Desember 1996 (Widianto et all, 1996).

Penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia tersebut atas rekomendasi ICOMOS setelah meninjau dan mengetahui kebenaran potensi Situs Sangiran yang memiliki nilai-nilai yang memenuhi kriteria sebagai Warisan Budaya Dunia dengan menyatakan bahwa : ”Situs Sangiran merupakan salah satu situs kunci untuk pemahaman evolusi manusia. Melalui fosil-fosil (manusia, binatang) dan alat-alat paleolitik yang ditemukan di Sangiran, situs ini melukiskan evolusi Homo Sapiens sejak Kala Plestosen Bawah hingga saat ini”.

 

Menyandang gelar sebagai Warisan Budaya Dunia, Situs Sangiran diakui memiliki Oustanding Universal Value (OUV) atau nilai-nilai universal yang luar biasa sesuai kriteria (iii) dan (iv) UNESCO :

  • to bear a unique or at least exceptional testimony to a cultural tradition or to a civilization which is living or which has disappeared;
  • to be directly or tangibly associated with events or living traditions, with ideas, or with beliefs, with artistic and literary works of outstanding universal significance. (The Committee considers that this criterion should preferably be used in conjunction with other criteria).

 

 

 

 

  1. Sejarah Penelitian dan Potensi Situs Sangiran

Penelitian di Situs Sangiran dimulai sekitar tahun 1930 oleh G.H.R. von Koenigswald. Pada tahun 1934, ia menemukan alat-alat serpih di Desa Ngebung yang terbuat dari bahan kalsedon dan jasper. Alat-alat batu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan “Sangiran flakes-industry”. Koenigswald memperkirakan peralatan ini berasal dari  akhir Pleistosen Tengah karena ditemukan pada lapisan kerakal yang merupakan bagian atas lapisan kabuh (Koenigswald, et.al., 1973). Pada tahun 1936, untuk pertama kalinya von Koenigswald menemukan fosil manusia yaitu berupa fragmen rahang bawah (mandibula) kanan yang ditemukan pada lapisan Pucangan bagian atas dan diberi kode Sangiran 1b. Kemudian pada tahun berikutnya 1937, menemukan fragmen tengkorak (Sangiran 2) pada lapisan Kabuh di antara Desa Bukuran dan Desa kertosobo tepatnya di tepi kali Cemoro ( Koenigswald, 1940 via  Widianto, et.al., 1996). Fragmen tengkorak (Sangiran 3) yang ditemukan Koenigswald dan dipublikasikan oleh F. Weidenreich pada tahun 1943 di lapisan yang sama (Weidenreich, F., 1945).

Kemudian pada masa berikutnya penelitian dilanjutkan oleh para ahli anthropologis dari Indonesia yaitu antara lain T. Jacob dan Sartono yang menemukan fragmen rahang bawah (Sangiran 8) pada lapisan Grenzbank, rahang bawah (Sangiran 9) dan tengkorak (Sangiran 17). Penemuan ini merupakan penemuan yang istimewa karena berhasil menemukan tengkorak yang paling lengkap beserta gambaran wajahnya (Sangiran 17).  Berdasarkan penelitian palaeoanthropologis  didapatkan adanya beberapa ciri morfologis dari temuan jenis-jenis manusia purba yang ada di Sangiran. Pada lapisan Pucangan telah ditemukan pula fosil-fosil yang menunjukkan tingkatan morfologis lebih arkaik, yaitu fragmen tengkorak (Sangiran 4), rahang bawah (Sangiran 5 dan Sangiran 6a). Berdasarkan karakter masing-masing tersebut maka manusia dibedakan dalam beberapa taxon yaitu: Pithecanthropus robustus  (Sangiran 4) yaitu berupa fragmen tengkorak bagian belakang dan rahang atas (maxilla); Pithecanthropus dubius,  berupa rahang bawah (mandibula) kanan (Sangiran 5); Pithecanthropus erectus berupa atap tengkorak (Sangiran 2 dan 3), dan Meganthropus palaeojavanicus berupa rahang bawah (mandibula) kanan  (Sangiran 6a), beberapa taxon ini  sekarang dikenal dengan sebutan Homo erectus (Jacob, T., 1981).

Selain itu penelitian juga dilakukan oleh Balai Arkeologi Jogjakarta baik bekerjasama dengan Laboratorium Palaeoanthropologi UGM maupun Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi (Bandung) dan pihak Jepang yang telah meneliti tentang endapan yang mengandung manusia purba. Penelitian-penelitian serupa terus berlanjut dalam usaha mengungkap tentang misteri yang terkandung di Kubah Sangiran (Sangiran Dome). Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta bekerjasama dengan Museum National d’Histoire Naturelle (Perancis) juga telah melakukan sejumlah penelitian yang berhasil mengungkapkan tentang Palaeoekologi atau lingkungan alam masa purba. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran yang sejak berdirinya pada tahun 2007 dan operasional pada tahun 2009 telah secara aktif mengadakan beberapa kali penelitian arkeologi di Situs Sangiran.

Hal yang sangat menarik adalah berdasarkan penelitian bahwa manusia purba yang ditemukan di wilayah Sangiran sekitar 50 individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili 65 % dari jumlah seluruh fosil manusia purba yang pernah ditemukan di wilayah Indonesia dan merupakan 50 % dari jumlah fosil manusia purba yang ditemukan di dunia. (Widianto, et.al., 1996).

Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran mengenai evolusi fisik manusia semata, tetapi mampu memberikan gambaran jelas mengenai evolusi budaya, evolusi binatang, dan evolusi lingkungannya. Penemuan alat-alat batu manusia purba menunjukkan sebaran lateral yang sangat luas, terutama pada Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro. Jenis-jenis alat, adalah alat massif, berupa kapak genggam (hand-axe), maupun kompleks kapak perimbas (chopper) yang ditemukan di sepanjang Kali Kedungdowo, daerah bagian utara Kubah Sangiran (Widianto et al., 1996a; Widianto et al., 1997). Di samping itu juga ditemukan kapak pembelah (cleaver), perkutor, dan bola-bola batu andesit dengan atau tanpa faset di Ngebung. Dari unsur alat-alat non-masif, selain alat serpih (flake) dan bilah (blade) yang sudah terkenal sejak era Koenigswald tahun 1930-an, dalam penelitian terakhir juga ditemukan lancipan berbentuk daun (pointed-leaf), yang berasal dari endapan teras di atas Seri Notopuro di Karangnongko. Dalam kronologinya, alat-alat ini ditemukan di seluruh lapisan Kabuh dan sebagian di lapisan Notopuro, dan dalam ekskavasi yang dilakukan di Dayu, alat-alat non-masif ditemukan di grenzbank dan Formasi Pucangan (Widianto et al., 1998; 2006).

Temuan ini merupakan temuan sangat penting, karena situasi kontekstual tersebut menyiratkan usia lebih tua dari 800.000 tahun sesuai dengan usia grenzbank itu sendiri, dan penemuan di endapan sungai purba Formasi Pucangan, menunjukkan kepurbaan 1.2 juta tahun, yang merupakan artefak paling tua di Indonesia. Binatang vertebrata, yang menjadi bagian hidup manusia purba Sangiran, juga sudah ada di daerah ini sejak 1.5 juta tahun lalu. Fosil-fosilnya ditemukan pada lapisan tanah, mulai dari Seri Pucangan sampai dengan Seri Notopuro (Koenigswald, 1940). Di lain pihak, studi geologi telah mengkonfirmasi lingkungan purba Sangiran mulai dari laut dalam, laut dangkal, rawa, dan kontinental (Sémah, F., 1994).

 

  • Permasalahan dalam Pelestarian Situs Sangiran

Sejak ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, pemerintah berkewajiban melaksanakan pelestarian secara sistematis terhadap Situs Sangiran. Pelestarian dilakukan untuk menjaga dan mengembangkan OUV maupun nilai-nilai lain yang dimiliki oleh Situs Sangiran tanpa melupakan azas kemanfaatannya. Singkatnya adalah selain nilai-nilai penting dan luarbiasa yang ada pada Situs Sangiran harus tetap lestari dan meningkat, keberadaan Situs Sangiran juga harus berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Sangat disadari bahwa pelestarian Situs Sangiran merupakan tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Karena selain memiliki nilai-nilai yang potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan, Situs Sangiran juga memiliki permasalahan yang potensial menimbulkan konflik dalam pelestariannya. Permasalahan utama yang terdapat di Situs Sangiran adalah sebagai berikut :

  1. Kepemilikan tanah di Situs Sangiran yang hampir keseluruhannya dimiliki oleh masyarakat. Dari luas Situs Sangiran yang mencapai 59,21 Km², kurang dari 1 %-nya yang dikuasai oleh pemerintah.
  2. Kondisi tanah di Situs Sangiran yang sebagian besar gersang dan tandus sehingga tidak subur untuk pertanian. Kondisi ini seringkali memicu keinginan masyarakat untuk melakukan perataan lahan, dan dalam tingkat tertentu sampai pada kegiatan penambangan Galian C yakni tanahnya dijual sebagai tanah urug.
  3. Situs yang tidak steril dari aktivitas masyarakat sehari-hari. Berdasarkan data BPS tahun 2010-2012 terdapat kurang lebih 210.963 jiwa penduduk yang menghuni Situs Sangiran dan sekitarnya.
  4. Kondisi Geografis-Geologis Situs Sangiran yang berbukit-bukit dengan lapisan batuan yang mudah longsor dan tererosi terutama pada saat musim penghujan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan lapisan tanah/bentang lahan maupun perpindahan fosil dan artefak yang terkandung didalamnya.
  5. Tingkat Pendidikan dan kesejahteraan sebagian besar penduduk Situs Sangiran dan sekitarnya masih rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2010-2012, jumlah penduduk Situs Sangiran dan Sekitarnya yang berpendidikan SD, tidak tamat SD, dan bahkan tidak sekolah mencapai 55 %, sedangkan dari tingkat kesejahteraan sebanyak 40 % penduduk Situs Sangiran dan sekitarnya termasuk keluarga Prasejahtera.
  6. Masih banyak masyarakat Situs Sangiran yang berpandangan bahwa fosil yang mereka temukan lebih bernilai secara ekonomis dan praktis. Hal ini memicu terjadinya pencarian fosil baik untuk mendapatkan kompensasi dari pemerintah maupun untuk diperdagangkan secara ilegal.
  7. Masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan khususnya tentang Cagar Budaya.
  8. Partisipasi dan kontribusi masyarakat dalam Pelestarian Situs Sangiran masih rendah
  9. Belum terwujudnya pengelolaan terpadu diantara stake holder terhadap Situs Sangiran

Tampak dari pembahasan diatas bahwa permasalahan utama yang ada di Situs Sangiran merupakan permasalahan yang khas, unik dan sama sekali lain apabila dibandingkan dengan permasalahan pada cagar budaya sejenis. Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut dapat dikategorisasikan sebagai permasalahan geografis-geologis, permasalahan sosial-ekonomi-budaya, dan permasalahan kebijakan (policy).

  1. Strategi Pelestarian Situs Sangiran

Pelestarian Situs Sangiran yang meliputi pelindungan, pengembangan, dan Pemanfaatannyasetidaknya harus mengacu kepada 6(enam) hal pokok yakni: (1). Peraturan Perundang-Undangan khususnya tentang Cagar Budaya; (2). Kedudukan dan segala konskuensi Situs Sangiran sebagai warisan budaya dunia; (3). Masterplan dan DED Pelestarian Situs Sangiran; (4). Permasalahan-permasalahan aktual yang ada; (5). Tugas dan fungsi Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran sebagai unit pelaksana teknis yang diberi tugas dan tanggungjawab dalam pelestarian situs-situs manusia purba khusunya Situs Sangiran; dan (6). Kedudukan dan kewenangan Pemerintah Daerah yakni Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Sragen, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat yang tidak saja dapat berujung pada pelestarian Situs Sangiran, tetapi juga untuk edukasi dan peningkatan perekonomian maupun taraf hidup masyarakat setempat.

  1. Menjaga Kelestarian Situs Sangiran

Sumberdaya utama Situs Sangiran adalah keberadaan situs tersebut yang berupa lahan dengan singkapan lapisan-lapisan tanah yang mengandung bukti-bukti kehidupan masa purba berupa fosil manusia purba, fauna dan artefak budaya manusia purba. Kondisi batuan Situs Sangiran yang mudah lepas menyebabkan seringkali terjadi longsor dan erosi terutama pada musim penghujan. Akibat longsor dan erosi ini dapat menyebabkan  rusaknya konteks lapisan tanah,  terjadinya perubahan lapisan tanah, dan menyebabkan kandungan lapisan tanah seperti fosil dan artefak muncul dipermukaan tanah. Kondisi demikian ini sering mengakibatkan terjadinya perpindahan dan hilangnya data/bukti kehidupan masa purba oleh penduduk setempat.

Perpindahan fosil yang muncul dipermukaan sangat dimungkinkan karena dilahan situs digunakan untuk aktifitas sehari-hari oleh masyarakat yang berjumlah ratusan ribu jiwa, terutama untuk kegiatan pertanian padi maupun palawija. Belum semua masyarakat yang menjumpai fosil mapun artefak yang muncul dipermukaan tanah ini memahami bahwa benda tersebut termasuk benda yang dilindungi karena mengandung nilai ilmu pengetahuan. Bahkan sebagian dari masyarakat tersebut memandang bahwa fosil maupun artefak hanya bernilai ekonomis semata. Sikap masyarakat ini dimungkinkan karena masih rendahnya pendidikan, belum tahu terhadap nilai-nilai penting padaSitus Sangiran, belum pahamnya terhadap peraturan perundang-undangan Cagar Budaya, dan masih rendahnya taraf hidup pada sebagian besar masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, maka telah dan akan terus dilakukan kegiatan-kegiatan untuk menjaga kelestarian Situs Sangiran seperti berikut :

  1. Melakukan penanggulangan kejadian longsor dan erosi dengan melakukan reboisasi pada areal yang rawan dan berpotensi longsor dan erosi.
  2. Melakukan sosialisasi dan penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan tentang Cagar Budaya dan nilai-nilai penting Situs Sangiran untuk menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan masyarakat atas keberadaan Situs Sangiran
  3. Melakukan sosialisasi prosedur dan langkah-langkah penanganan terhadap temuan fosil dan artefak kepada masyarakat
  4. Melakukan monitoring terjadinya perubahan pemanfaatan lahan
  5. Melakukan pemberian penghargaan dan imbalan jasa terhadap masyarakat yang melaporkan dan menyerahkan temuan fosil maupun artefak.
  6. Melakukan pembebasan pada lahan penting terpilih yang dapat merepresentasikan singkapan stratigrafi-litologi Situs Sangiran
  7. Melakukan pemasangan papan larangan dan anjuran di titik-titik strategis dan potensial temuan di Situs Sangiran

  1. Mengembangkan Nilai-Nilai Penting Situs Sangiran
  2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Situs Sangiran dengan luas 59,21 km² mempunyai lapisan tanah yang sangat tebal. Selama ini bukti-bukti kehidupan masa purba di Situs Sangiran telah banyak ditemukan, baik lewat penelitian maupun temuan masyarakat. Kajian-kajian akademik juga telah banyak dilakukan, sejak masa kolonialisme belanda hingga sekarang sehingga pengetahuan mengenai Situs Sangiran telah cukup luas. Namun seiring dengan bertambahnya pengetahuan, muncul pula permasalahan akademik lain yang harus dipecahkan demi melengkapi pengetahuan mengenai Situs Sangiran. Dapat diperkirakan bahwa bukti-bukti masa lalu yang selama ini telah muncul kepermukaan kurang dari 20 %, sehingga Situs Sangiran masih sangat potensial untuk diteliti. Pengetahuan baru mengenai Situs Sangiran masih dibutuhkan dan ditunggu oleh publik, khususnya dikalangan pelajar dan akademisi. Oleh karena itu pengembangan pengetahuan perlu dilakukan secara terus menerus. Untuk pengembangan pengetahuan Situs Sangirantelah dan akan terus dilakukan kebijakan seperti berikut :

  1. Membuat program/kegiatan penelitian di Situs Sangiran dan situs-situs manusia purba lainnya sebagai pembanding secara rutin
  2. Membuka Situs Sangiran secara luas sebagai ajang penelitian terhadap lembaga penelitian maupun kalangan akademisi
  3. Melakukan kerjasama penelitian dengan lembaga penelitian dalam maupun luar negeri
  4. Mengembangkan sumberdaya penunjang seperti SDM, peralatan pengambil dan perekam data, laboratorium, serta peralatan pengolah data dan informasi.

  1. Mengembangkan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat

Kegiatan sebagian masyarakat sekitar Situs Sangiran dengan pola hidup yang sederhana, memiliki sikap yang ramah, suka tolong menolong dan gotong royong, masih mencerminkan kehidupan masyarakat pedesaan Jawa. Bangunan rumah tinggal berdinding kayu maupun anyaman bambu, dan atap limasan dengan hiasan figur wayang pada bubungan merupakan bangunan yang khas dan ciri rumah pedesaan di Situs Sangiran. Sementara itu kerajinan yang dikerjakan oleh sebagian masyarakat Situs Sangiran, masih bersifat tradisional dan mengandung ciri lokal.

Gaya hidup pedesaan masyarakat sekitar Situs Sangiran dan arsitek rumah tinggal yang khas, ternyata memiliki keunikan dan nilai tersendiri yang dapat menambah nilai Situs Sangiran. Hal ini dinyatakan dalam catatan hasil monitoring UNESCO tahun 2008 seperti berikut :”Nilai tinggalan budaya yang melekat di Sangiran semakin bertambah apabila dilibatkan dan diperhitungkan juga karakter tradisional yang mendasari perkampungan masyarakat saat ini di situs ini, yang terdiri atas arsitektur tradisional rumah bambu dan kayu, gaya hidup masyarakat pedesaaan, dan kerajinan-kerajinan rakyat yang dipraktekkan dalam komunitas lokal saat ini. Keunggulan ini dapat menaikkan nilai tinggalan budayanya, yang akan memberikan nilai strategis tersendiri dalam rangka konservasi dan pengembangan situs dimasa depan”.

Pernyataan tersebut jelas menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya yang masih terdapat dimasyarakat Situs Sangiran merupakan nilai tersendiri. Nilai-nilai budaya tersebut sudah jarang ditemukan sehingga merupakan daya tarik tersendiri. Namun disisi lain budaya tersebut lambat laun akan pudar dan hilang seiring dengan perubahan gaya hidup akibat modernisasi yang menuntut kebutuhan tertentu. Arsitek rumah tradisional akan dapat berubah karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.

Oleh karena itu nilai-nilai budaya yang masih hidup pada masyarakatSitus Sangiran tersebut perlu dilestarikan dan dikembangkan terkait dengan pengembangan Situs Sangiran. Untuk pelestarian dan pengembangannya perlu dilakukan kebijakan dan progam seperti berikut :

  1. Pemahaman mengenai nilai penting pada nilai-nilai sosial budaya yang masih terdapat di masyarakat Situs Sangiran
  2. Penggalian dan menumbuhkembangkan kesenian dan tradisi yang pernah hidup pada masyarakat di Situs Sangiran
  3. Pengembangan kerajinan tradisional dengan perluasan desain/model, pengemasan dan pemasarannya.
  4. Pengembangan terhadap pemanfaatan rumah tinggal berarsitektur tradisional kearah nilai ekonomis, yaitu mengarahkan ke fungsi baru sebagai home stay.

  1. Pengembangan Informasi Melalui Museum

Nilai yang terkandung pada Situs Sangiran adalah nilai ilmu pengetahuan, khususnya mengenai kehidupan manusia purba, budaya, dan lingkungannya. Agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas maka ilmu pengetahuan tersebut harus dikemas dalam informasi yang jelas, mudah dipahami, dan menarik. Salah satu bentuk penyajian ilmu pengetahuan adalah lewat pemajangan di museum.

Penyajian pengetahuan mengenai Situs Sangiran lewat museum telah dilakukan sejak tahun 1974 dengan pembangunan sebuah museum sederhana bertempat di Balai Desa Krikilan sekarang ini, dan pada tahun 1984 di bangun sebuah museum pengganti yang lebih besar. Sejak itu pula museum tersebut telah menjadi obyek wisata di Kabupaten Sragen. Namun keberadaan museum ini belum dapat berperan sebagai obyek wisata yang informatif dan atraktif.

Untuk mewujudkan penyampaian informasi mengenai Situs Sangiran secara sistematis maka dilakukan pengembangan klaster-klaster di Situs Sangiran. Sesuai Masterplan tahun 2004 yang kemudian di revisi pada tahun 2012 dan DED Pelestarian Situs Sangiran Tahun 2007,di Situs Sangiran akan dikembangkan menjadi empat klaster utama, yang mana di setiap klaster terdapat museum lengkap dengan segala fasilitasnya untuk menyajikan dan mengkomunikasikan pengetahuan dan informasi mengenai Situs Sangiran kepada publik. Empat Klaster tersebut adalah  Klaster Krikilan, Klaster Ngebung, Klaster Bukuran yang didukung Museum Lapangan Manyarejo, dan Klaster Dayu.

Klaster Krikilan terletak di Dusun Ngampon, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe memiliki museum yang mengambil tema: “Apresiasi Sejarah Peradaban Manusia“, Klaster Ngebung terletak di Dusun Ngebung, Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe memiliki museum dengan tema“Apresiasi Sejarah Penemuan Fosil Situs Sangiran”, Klaster Bukuran  berada di Dusun Grogolan Kulon, Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe dengan tema : “Apresiasi Akumulasi Evolusi Manusia, sedangkan Klaster Dayu berada di Dusun Dayu, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo yang mempunyai tema : “Apresiasi Ekskavasi Fosil Situs Sangiran dan Penelitian mutakhir”. Saat ini keempat klaster beserta museumnya tersebut telah diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 19 Oktober 2014 sudah operasional dan dapat dikunjungi oleh publik.

Pengembangan Situs Sangiran dalam bentuk klaster-klaster tersebut ditujukan untuk menjadikan Situs Sangiran sebagai destinasi wisata yang menarik, edukatif dan informatif.  Untuk mewujudkan tujuan itu telah dan akan dilakukan beberapa kebijakan dan program sebagai berikut :

  1. Melakukan penyediaan materi display yang menarik dan memiliki kandungan ilmu pengetahuan yang padat.
  2. Melakukan penyajian/penataan materi display yang informatif, interaktif, dan atraktif.
  3. Melakukan penggantian materi display tertentu secara berkala
  4. Memperluas atraksi wisata dengan atraksi yang variatif, memancing kreatifitas, dan menghibur sesuai dengan tema presentasi pada setiap klaster.
  5. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana penunjang seperti toilet, tempat souvenir, tempat sampah, warung makanan, tempat parkir, dan aksesibiltas bagi difabel.
  6. Mempermudah akses kunjungan menuju klaster-klaster melalui penyediaan aksesibilitas jalan dan moda transportasinya.
  7. Mencipatkan suasana yang aman, kondusif, tertib, dan nyaman di lingkungan klaster.

  1. Pengelolaan Terpadu Antar Stake Holder

Situs Sangiran terletak di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah, dengan demikian selain Pemerintah Pusat melalui Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Sragen, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar juga berkepentingan terhadap keberadaan Situs Sangiran. Kepentingan dari berbagai pihak tersebut bisa saja sejalan, tetapi juga bisa bertolak belakang.

Untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban sekaligus menyamakan persepsi akan pelestarian Situs Sangiran secara sistematis, integral, dan komprehensif diantara stake holder, tidak hanya bertumpu pada aspek pemanfaatannya saja, maka pada  tahun 2009 telah ditanda tangani Memorandum Of Understanding (MOU) antara Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Sragen, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar. MOU ini tertuang dalam Kesepakatan Bersama antara Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah  Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Sragen, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar Nomor : KB.09/KS001/MPK/2009, Nomor : 18/2009, Nomor : 556/897-34/2009, Nomor : 556/2706.17 tanggal 6 April 2009 Tentang Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Situs Sangiran Sebagai Warisan Budaya Dunia. MOU ini berlaku selama 5 tahun dan ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama yang diperbaharui setiap setahun sekali antara Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Tengah, Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sragen, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karanganyar.

Kesepakatan Bersama tersebut berakhir pada tahun 2014 yang lalu sebelum akhirnya diperbaharui dengan Kesepakatan Bersama yang baru pada tahun yang sama yakni Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Sragen, Bupati Karanganyar Nomor : 105620/MPK.F/CB/2014, Nomor : 32/2014, Nomor : 019.6/213.A /001/2014, Nomor : 100/59 l Tahun 2014 Tentang Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Kawasan Sangiran Sebagai Warisan Budaya Dunia. Sama dengan kesepakatan sebelumnya, kesepakatan baru tersebut juga ditindak lanjuti dengan perjanjian kerja sama antar Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga, Kabupaten Sragen, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar pada tahun 2015 ini dan berlaku selama 5 tahun.

Adanya Kesepakatan Bersama yang ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerja Sama merupakan langkah yang bagus dalam melakukan kebijakan dan program untuk pelestarian Situs Sangiran karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang proporsional. Selain itu dengan adanya kesepakatan bersama maupun perjanjian kerjasama ini diharapkan akan menciptakan komunikasi dan koordinasi yang baik dan intensif diantara stake holder.

Lebih jauh diharapkan bahwa kesepakatan bersama maupun perjanjian kerjasama segera dapat menjadi embrio bagi lahirnya sebuah badan pengelola terpadu bagi Kawasan Sangiran yang mana didalamnya seluruh unsur seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan masyarakat terakomodir dengan hak dan kewajiban yang sama dalam Pelestarian Situs Sangiran.

  1. Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu tujuan Pelestarian Cagar Budaya yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya adalah sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Tentunya Pelestarian Situs Sangiran salah satunya juga ditujukan untuk bisa berkontribusi sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat ini. Jangan sampai masyarakat yang hidup di Situs Sangiran yang kaya akan sumberdaya budaya dan arkeologi menjadi lebih sengsara dan semakin miskin karena tidak tersentuh program yang memberdayakan. Pepatah tikus mati di lumbung padi tidak boleh terjadi di Situs Sangiran.

Mengingat sebagian besar lahan di Situs Sangiran adalah milik masyarakat  dan dihuni lebih dari 200.000 jiwa penduduk dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang minim, maka hal ini merupakan sumberdaya sekaligus merupakan ancaman dalam pelestarian Situs Sangiran. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan dalam pelestarian Situs Sangiran yang dapat berimbas kepada kesejahteraan masyarakat sekaligus dapat melindungi eksistensi situs itu sendiri.

Salah satu kebijakan yangtelah diambil adalah pelibatan masyarakat secara proprosional dalam Pelestarian Situs Sangiran. Seperti diketahui bahwa Saat ini Situs Sangiran telah dikembangkan sebagai destinasi wisata dengan didirikannya empat klaster utama  beserta museumnya. Dengan adanya destinasi wisata berupa empat klaster lengkap dengan museum dan fasilitasnya ini masyarakat  awalnya diberi peran untuk melakukan pelayanan terhadap wisatawan. Bentuk pelayanan wisatawan tersebut diantaranya adalah dengan menjual makanan, jasa angkutan, dan souvenir. Diharapkan dengan kegiatan tersebut dapat ikut meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Namun diakui bahwa kegiatan menjual makanan, jasa angkutan, dan souvenir belum bisa menyentuh lapisan masyarakat secara luas dan belum bisa memberikan kesejahteraan yang cukup. Oleh karena itu telah dan terus dilakukan usaha peningkatan peran masyarakat baik secara kuantitas dan kualitas dalam pengelolaan pariwisata maupun pelestarian Situs Sangiran secara umum, antara lain sebagai berikut :

  1. Memberikan bimbingan dan pelatihan pembuatan aneka souvenir maupun makanan tradisional khas Situs Sangiran.
  2. Memberikan bimbingan dan pelatihan Guide dan pengelolaan rumah tinggal sebagai homestay kepada masyarakat.
  3. Memberikan pengelolaan area parkir kendaraan kepada masyarakat.
  4. Mengadakan rekruitmen pegawai, khususnya pegawai tidak tetap dari masyarakat lokal Situs Sangiran
  5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pelestarian Situs Sangiran seperti penelitian, penyelamatan temuan fosil, konservasi lahan, monitoring situs, dsb.

  1. Penetapan Kawasan Sangiran Sebagai Kawasan Strategis Nasional

Sebagai warisan budaya dunia, hingga saat ini Situs Sangiran belum ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Penetapan Situs Sangiran sebagai KSN akan memberikan payung hukum tambahan  dan memperkuat upaya pelestariannya. Karena sebagai KSN, Situs Sangiran akan mempunyai seperangkat aturan yang secara tegas, jelas, dan kokoh yang digunakan untuk mengatur dan mengendalikan aktivitas manusia, pemanfaatan lahan dan lingkungan situs maupun pembangunan-pembangunan di areal situs.

Adapun usaha untuk mewujudkan Situs Sangiran sebagai KSN telah dilakukan dengan menyusun dan menyampaikan dokumen pengusulan penetapan Situs Sangiran sebagai KSN kepada pemerintah pusat, namun sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan.

  1. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Cagar Budaya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang relevan di Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2011 Tentang Cagar Budaya merupakan payung hukum utama bagi pelaksanaan pelestarian Situs Sangiran.  Berdasarkan undang-undang inilah pada tahun 2014 Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan keputusan penetapan satuan ruang geografis Sangiran sebagai Cagar Budaya Jawa Tengah. Demikian pula atas dasar undang-undang inilah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015 mengeluarkan keputusan penetapan  satuan ruang geografis Sangiran sebagai Cagar Budaya Peringkat Nasional.

Namun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011, Keputusan Gubernur dan Keputusan Menteri tersebut tidak bisa menjadi payung hukum tunggal dalam pelestarian Situs Sangiran. Peraturan Perundang-undangan tersebut harus bersinergi dengan peraturan perundang-undangan lain. Apalagi diera otonomi daerah sekarang ini, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang sama kuat dengan pemerintah pusat dalam beberapa  bidang pemerintahan. Oleh karena itu harus ada harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan Cagar Budaya dengan peraturan perundang-undangan di daerah. Semisal terkait zonasi Cagar Budaya, harus ada kesinkronan dan harmoni antara pengaturan zonasi yang di keluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan pengaturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota/Propinsi beserta turunannya. Dengan adanya kesinkronan dan harmoni akan memudahkan dalam implementasi dan penindakan bila ada pelanggaran.

  1. Penutup

Pelestarian Situs Sangiran yang merupakan Warisan Budaya Dunia memang merupakan tantangan yang tidak ringan. Terdapat banyak permasalahan yang harus diselesaikan secara sistematis, gradual tetapi kontinyu tanpa mengorbankan sisi manapun. Dengan harapan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan situs untuk sebesar-besarnnya kesejahteraan masyarakat dapat seiring sejalan, seia sekata, selapik seketiduran. Tentunya hal itu hanya bisa dicapai secara maksimal dan ideal dengan dukungan SDM dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, dana yang tidak sedikit, waktu yang panjang, serta dengan adanya dukungan, kerjasama, dan partisipasi aktif dari segala pihak yang terkait.

Referensi

Hidayat, Muhammad, “Strategi Pengelolaan Situs Sangiran Sebagai Warisan Dunia”. Jurnal Sangiran No. 1 Tahun 2012

Jacob, T., “Meganthropus, Pithecanthropus and Homo sapiens in Indonesia: evidence and Problems,” Colloques Internationaux du CRNS, No. 599, th. 1981, hlm. 81-84.

Koenigswald, G.H.R. von, “Neue Pithecanthropus Funde 1936-1938, Ein Beitrag zur Kenntnis der Praehominiden,” Wetenschappelijke Mededeelingen Dienst mijnbouw Nederlandsch – Indie, vol. 28, 1-205, th. 1940.

Koenigswald, G.H.R. von, and A.K. Ghosh, “Stone Implements From Trinil Beds of Sangiran, Central Java,” Proceedings Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenchapppen, series B, Vol. 76, th. 1973.

Moelyadi dan Widiasmoro, “Laporan Penyelidikan Geologi Daerah sangiran Jawa Tengah,” (Jogjakarta: Bagian Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM) 1978, lampiran

Rusmulia Tjiptadi Hidayat, “Alat Serpih Sangiran Koleksi Museum Nasional Jakarta Tipologi, Teknologi, dan Posisi Stratigrafinya,” Skripsi Sarjana, Jogjakarta: Fakultas Sastra, UGM, Th. 1993.

Semah, A.M., 1984. Palynology and Javanese Pithecanthropus Paleoenvironment, Cour. Four. Inst. Senckenberg, Vol. 69, pp. 237-243.

Weidenrich, F., “Morphology of Solo Man,” Anthropological Papers of The American Museum of Natural History, Vol. 43, th. 1951, hlm. 205-290.

Widianto, et.al., “Laporan penelitian Sangiran, Penelitian Tentang Manusia Purba, Budaya, dan Lingkungan,” Berita Penelitian  No. 46, Jakarta: Proyek Penelitian arkeologi Jakarta, Pusat Arkeologi Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Th. 1996.

Widianto, Harry, et.al., “Laporan Konggres World Heritage di Merida, Meksiko,”  Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, th. 1996.

Widianto, et.al., “The Perspective on The Evolution of Javanese Homo erectus Based on Morphological and Stratigraphic Characteristics,” dalam Sangiran: Man, Culture, and Environment in Pleistocene Times, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2001, hlm. 41.

Widianto, Harry, 1998. The Discovery of Artifacts in the Grenzbank : New Insight to the Sangiran Flake Industry’s Chronology, Procceeding pada 15th Congress of Indo-Pacific Association Prehistory, Malaysia, Juni 1998.

Widianto, Harry, 2006. “The oldest Homo erectus stone tools in Java : from the Lower Pleistocene Pucangan Formation in Sangiran, Central Java”, Makalah dalam 18th Indo-Pacific Prehistory Association Congress, Manila.