Senjata, Kemaluan, dan Nisan: Semiotika Budaya Pesan Penjaga Makam Daeng Mangkona untuk Perantau.
Oleh : Syamsul Rijal
Artikel yang disalin dari Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur Buletin Kundungga Volume 6 Tahun 2017 ISSN 2301 – 5853
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman
Jalan Pulau Flores No.1 Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
Telepon (0541) 734582, Faksimile (0541) 734582
Pos-el: rijalpaddaitu@yahoo.com
Abstrak
Pesan penjaga makam Lamohang Daeng Mangkona untuk para perantau harus dipahami secara denotasi dan konotasi. Makna denotasi dan konotasi ini sesuai dengan teori semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes, yakni makna yang berlapis-lapis yang terdapat dalam petanda. Secara deskriptif kualitatif, pesan tersebut dapat dijelaskan secara semiotika budaya. Pertama, senjata, yang tidak hanya dipahami sebagai sebuah benda atau alat pertahanan diri, tetapi juga dimaknai sebagai ilmu yang harus dimiliki seseorang sebelum merantau. Kedua, kemaluan bukan berarti alat kelamin manusia, tetapi bentuk perilaku atau etika yang harus dijaga ketika berada di tempat perantauan. Ketiga, nisan yang disimbolkan sebagai jejak kebaikan sebaikanya selalu ditanamkan di tempat perantauan.
Abstract
The message of Lamohang Daeng Mangkona tomb guard to the nomads should be understood in denotation and connotation. The meaning of denotation and connotation is in accordance with the theory of semiotics proposed by Roland Barthes, namely the meaning of layered in the marker. Descriptively qualitative, the message can be explained semiotically in culture. First, the weapon, which is not only understood as an object or tool of self-defense, but also interpreted as a science that must be owned by someone before wandering. Second, the genitals do not mean the human genitals, but the form of behavior or ethics that must be maintained when in the overseas. Thirdly, the symbols marked as good traces should always be implanted in the overseas.
- Pendahuluan
Menurut sejarah, Kota Samarinda tidak dapat dilepaskan dari nama Lamohang Daeng Mangkona. Lamohan Daeng Mangkona merupakan seorang perantau dari Tanah Bugis (Wajo) Sulawesi Selatan. Hasil Perjanjian Bongaya antara Belanda dan raja-raja di Sulawesi Selatan membuat Lamohang Daeng Mangkona geram dan memilih meninggalkan kampung halamannya. Pelayarannya ke tanah Borneo berakhir di sebuah delta sungai besar, yakni Sungai Mahakam. Lamohang Daeng Mangkona bersama rombongan bermukim di salah satu wilayah aliran Sungai Mahakam yang bernama Tanah Rendah lalu meminta izin Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura untuk mendirikan perkampungan di sana. Kehadiran Lamohang Daeng Mangkona dan rombongannya yang berangkat pada 1668 dicatat sebagai tahun berdirinya Kota Samarinda (id.wikipedia.org)
Bukti sejarah kehadiran Lamohang di Kutai dapat dilihat dengan peninggalan makam yang kini dijaga dan dirawat oleh salah seorang keturunan Bugis. Tepatnya di Kecamatan Samarinda Seberang, Makam Lamohang Daeng Mangkona dan rombongannya ditemukan oleh Ayah dari Abdillah (juru kunci makam Daeng Mangkona). Menurut Abdillah, sebelum masyarakat luas mengetahui keberadaan makam ini, masyarakat di sekitar Kelurahan Masjid Kecamatan Samarinda Seberang sering menyebut pemilik makam dengan nama Petta Pute.
Kedatangan Daeng Mangkona di Borneo, khususnya di Tanah Kutai, menyimpan banyak cerita yang menghubungkan antara orang Bugis dan suku-suku di Pulau Kalimantan. Salah satu hal menarik dan khas bagi orang Bugis adalah kebiasaan berlayar atau merantau ke pulau lain. Sejalan dengan kebiasaan merantau ini, sering didengar petuah oleh leluhur Bugis bagi anak cucunya untuk menjaga tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah ujung badik, ujung lidah, dan ujung kemaluan. Filosofi tiga ujung tersebut menjadi simbol pengingat orang-orang Bugis dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari (Rijal, 2016).
Yang lebih menarik lagi, muncul versi rantau tentang tiga hal yang perlu dijaga orang Bugis. Ketika berkunjung dan berziarah ke makam Lamohang Daeng Mangkona di Samarinda Seberang, Abdillah, penjaga makam Daeng Mangkona menjelaskan panjang lebar tentang sejarah kedatangan Daeng Mangkona di Samarinda. Salah satu yang menarik dari perbincangan itu, penjaga makam tersebut menjelaskan tiga pesan yang perlu dijaga ketika hendak merantau. Ketiga hal tersebut berbeda dengan tiga filosofi yang sering didengar di Tanah Bugis (Rijal, 2016).
Sedikit berbeda dengan filosofi tiga ujung yang disebutkan di atas, Abdillah yang merupakan anak dari penemu makam Lamohang Daeng Mangkona menyampaikan tiga hal yang perlu dijaga dan dibawa saat hendak merantau ke negeri orang. Hal tersebut berkaitan dengan benda-benda yang sering menyertai orang Bugis ketika merantau. Benda tersebut adalah senjata, kemaluan, dan nisan. Secara filosofis, ketiga benda tersebut mengandung makna-makna simbolis yang universal. Benda itu tidak hanya dapat digunakan orang Bugis, tetapi juga dapat menjadi filosofi tambahan bagi seluruh masyarakat perantau di mana pun berada. Sebab itu, ketiga benda tersebut dinilai bermanfaat untuk diketahui semua orang setelah dijelaskan secara semiotika budaya (Rijal, 2016).
- Semiotika Budaya
Benda-benda bersejarah yang disimpan dan dipelihara masyarakat sebagai pusaka tentu memiliki makna khusus bagi pemiliknya. Hubungan antara benda dengan makna yang dikandung merupakan rahasia kultural dipertahankan secara mitologi oleh kelompok masyarakat tertentu. Dalam benda-benda tersebut, terdapat kode-kode atau tanda yang berkorelasi dengan tanda lain hingga membentuk satu ikatan makna.
Dalam semiotika, kode-kode tersebut dianggap sebagai sinyal-sinyal tertentu yang dapat mengandung dan menyampaikan makna tertentu (Eco, 1976:74). Selanjutnya, “kode-kode tersebut menyediakan syarat-syarat rumit yang saling terkait dan berpengaruh antara berbagai tanda” (Eco, 1976:81). Tanda atau kode tersebut merupakan internalisasi budaya satu masyarakat yang menyepakati dan memelihara maknanya.
Semiologi atau semiotika memang erat dengan kajian makna. Oleh karena itu, Barthes juga mengartikan semiotika sebagai ilmu tentang pesan-pesan sosial atau pesan-pesan kultural yang melingkungi suatu teks (Barthes, 2007:264). Selain itu, semiotika sering dipahami secara ringkas sebagai ilmu tentang tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Berger (2015: 1), bahwa “tanda adalah sesuatu yang dapat menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai apa pun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya”.
Roland Barthes menjelaskan cara kerja semiotika dengan memaknai suatu teks (benda, tulisan, atau kode-kode lain) berdasarkan hubungan makna antara pengalaman personal dan kultural penggunanya (Kriyantono, 2007:268). Konsep ini kemudian disebut Barthes sebagai dua sistem signifikasi, yakni denotasi dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna level pertama, yang dimaknai secara deskriptif, literal, dan secara kasat mata terdapat dalam setiap organisasi kebudayaan. Level kedua, dimaknai secara konotasi yang mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural. Penanda tersebut mengalami proses asosiasi makna dengan tanda atau kode lain (Barker, 2009:74). Makna konotasi inilah yang membuat sebuah tanda memiliki makna yang berlipat ganda, sehingga dikenal dengan istilah lapis pertama dan lapis kedua.
Makna denotasi adalah makna langsung yang dikandung suatu tanda. Makna tersebut biasa disebut pertanda. Sementara, makna konotasi adalah makna tidak langsung yang terbungkus oleh kebudayaan pemilik tanda tersebut. Karena makna konotasi selalu terbungkus makna kultural, tanda-tanda tersebut akhirnya ditangkap sebagai mitos atau petunjuk tentang sesuatu. Perwujudan mitos-mitos itulah yang berpengaruh kuat secara kultural dalam satu masyarakat (Berger, 2015:65).
Mitos bekerja pada level kedua lapis makna semiotika berdasarkan sistem semiotik level pertama. Semiotik level dua mengambil seluruh sistem tanda dari level pertama, baik bentuk maupun penandanya. Oleh karena itu, mitos merupakan semacam sistem ganda dalam sistem semiotik yang terdiri atas sistem linguistik dan sistem semiotik (Sunardi, 2004:81).
- Pembahasan
Rekonstruksi budaya memang perlu dilakukan untuk melihat makna-makna yang tersembunyi di balik satu benda yang sering digunakan sebagai simbol. Hal ini penting sekali, sebab nenek moyang kita banyak menyimpan rahasia-rahasia yang berisi pelajaran hidup melalui benda-benda yang disakralkan atau dikeramatkan. Demikian halnya tiga benda yang dipesankan untuk perantau oleh penjaga makam Lamohang Daeng Mangkona, tentu menyimpan makna-makna simbolik yang perlu dikaji diketahui oleh banyak orang.
Pertama, benda tersebut adalah senjata. Mendengar kata senjata, secara sepintas sangat mengerikan. Akan tetapi, secara semiotik, senjata menyimpan banyak makna filosofis bagi seorang perantau. Senjata memang identik dengan adu fisik, perkelahian, peperangan, dan bahkan senjata sangat identik dengan perbuatan kriminal. Akan tetapi, senjata dapat bermakna positif jika ditempatkan sesuai fungsinya sebagai alat pertahanan diri (Rijal, 2016).
Sementara pada sisi yang lain, sebelum kita sampai pada pertahanan diri, senjata merupakan simbol kesiapsiagaan kita menghadapi segala masalah. Pada era modern ini, saat hukum positif sudah menjadi pengadilan tertinggi, senjata tidak dapat lagi dibawa ke mana-mana. Namun, ada nilai-nilai budaya yang dapat menjadi pegangan di balik kata senjata ini. Mendengar kata senjata, orang Bugis langsung mengasosiasikan dengan benda yang bernama badik. Orang Bugis menyebut badik dengan nama kawali.
Selain tombak dan keris, badik masih lebih populer di kalangan masyarakat Bugis. Selain bentuknya yang unik dan khas, badik juga lebih mudah dibawa ke mana-mana, serta lebih mudah disimpan. Hal ini disebabkan ukuran badik yang kecil sehingga mudah disimpan di berbagai tempat.
Bagi laki-laki Bugis, badik bukan sekadar senjata sebagai alat pertahanan, tetapi dapat berfungsi sebagai benda yang multifungsi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya jenis-jenis badik yang berbeda fungsi. Ada badik yang berfungsi sebagai alat atau simbol keselamatan. Jika seseorang membawanya, makanya diyakini dia dapat terhindar dari masalah, termasuk masalah kriminal. Ada pula yang berfungsi sebagai pembawa rezeki. Badik sejenis ini biasanya digunakan dalam berniaga. Tentu fungsi badik ini tidak lagi sepenuhnya sebagai senjata untuk melawan musuh. Ada pula badik yang digunakan khusus untuk keamanan atau penjaga rumah. Jika badik jenis ini disimpan di rumah, diyakini rumah akan aman dari incaran pencuri.
Masih banyak lagi fungsi badik yang diyakini oleh masyarakat Bugis. Fungsi-fungsi badik biasanya dibedakan berdasarkan pamornya atau berdasarkan cara menempahnya saat dibuat. Bagi orang Bugis, badik dapat memberikan rasa ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran, kemelaratan, kemiskinan, dan bahkan penderitaan bagi yang menyimpannya (Chaldot, 2012).
Berdasarkan fungsi badik tersebut, badik sebagai salah satu senjata yang perlu dibawa ketika merantau tidak lagi dapat dimaknai sebagai senjata untuk hal-hal pertahanan fisik. Istilah senjata harus selalu dibawa, dapat dimaknai sebagai kesiapsiagaan menghadapi segala masalah dan musibah. Artinya, sebelum merantau, semua bekal sudah disiapkan. Peralatan dan perlengkapan untuk hidup dan bekerja harus tersedia. Bahkan, senjata dapat dimaknai sebagai ilmu yang melekat pada seseorang, baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Jadi, dengan membawa “senjata”, seseorang dianggap siap merantau untuk mencari penghidupan di negeri orang.
Jadi, secara denotatif senjata bermakna alat pertahanan diri atau alat perlindungan. Biasanya juga dipakai untuk menyerang musuh. Akan tetapi, secara konotatif, senjata dimaknai sebagai ilmu atau bekal yang harus disiapkan sebelum merantau.
Kedua, benda yang pasti dibawa ketika merantau, yakni kemaluan. Benda itu tidak kalah mengerikannya dibanding senjata. Sepintas kata kemaluan ini terdengar “nakal” dan urakan. Akan tetapi, Abdillah menjelaskan, lebih lanjut bahwa kata kemaluan bukan mengacu ke makna organ kelamin, namun lebih bermakna secara perilaku, yakni ke-malu-an. Jadi, kemaluan yang dimaksud adalah rasa malu yang harus dibawa serta ketika merantau (Rijal, 2016).
Kata kemaluan sebenarnya mengandung banyak makna secara linguistik dan budaya. Seseorang yang merantau ke kampung orang sebaiknya tidak melakukan perbuatan memalukan. Berperilaku dan berbicara sopan. Malu melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji, antara lain mengemis, mencuri, dan merampok. Bahasa sederhana yang sering didengar adalah “jangan bikin malu-malu di kampung orang” (Rijal, 2016).
Manusia dikatakan makhluk yang berbeda dengan binatang karena memiliki rasa malu. Mungkin juga rasa malu ini sudah tersirat di dalamnya sebagai makna bahwa organ kelamin harus tetap dijaga setiap manusia. Dengan demikian, simbolis makna kemaluan lebih mengacu pada etika sebagai manusia beradab yang harus tetap dijaga kapan dan di mana pun kita berada.
Jadi, secara denotatif kemaluan bisa bermakna sebagai organ tubuh sekaligus sebagai perasaan malu yang harus dijaga setiap orang. Akan tetapi, secara konotatif kemaluan bermakna etika atau perilaku baik dalam pergaulan yang harus dijaga setiap perantau.
Ketiga, benda yang perlu dibawa adalah nisan. Pesan ini tentang benda ini jarang terdengar bagi banyak kalangan. Bahkan, benda tersebut kedengaran horor dan seram ketika kita sedang merantau. Sepintas mungkin terdengar suram bagi masa depan seorang perantau. Tetapi, di balik itu, nisan mengandung makna filosofi tinggi yang justru akan mengangkat harkat dan martabat kita sebagai manusia.
Ada beberapa makna simbolis dari nisan yang perlu dijelaskan. Pertama, merantau dengan membawa nisan menandakan kita siap mati di negeri orang. Siap mati, artinya kita telah memiliki berbagai bekal sebelum merantau. Bahkan, siap mati harus diterapkan ketika membela kebenaran dan kejujuran (Rijal, 2016).
Kedua, manusia mati meninggalkan nama. Nama tersebut tertulis di batu nisan. Baik atau buruknya satu nama, bergantung pemiliknya. Artinya, nisan itu digunakan untuk menulis atau mengukirkan nama baik manusia. Untuk meninggalkan nama baik, seseorang harus melalui proses yang baik dan menciptakan kenangan-kenangan baik, baik berupa benda atau bangunan fisik maupun perbuatan-perbuatan baik yang bermanfaat.
Nisan menyimbolkan jejak kebaikan seseorang. Artinya, perantau tidak hanya mencari penghidupan di negeri orang, tetapi juga harus membangun negeri yang didatangi tersebut. Bukan hanya datang mengeruk kekayaan suatu negeri lalu pergi begitu saja tanpa diketahui jejaknya. Bukan hanya bekerja mencari rezeki di negeri orang, tetapi juga memberikan sumbangsih pemikiran dan pembangunan di negeri yang ditempatinya merantau.
Jadi, secara denotatif, nisan bermakna sebagai tonggak kayu atau batu yang ditanam di atas makam atau kubur sebagai penanda. Akan tetapi, secara konotatif, nisan bermakna nama baik yang ditanamkan di tempat perantauan. Nama baik itu bisa muncul dengan sumbangsih pemikiran dan pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dengan demikian, nama baik pelaku kebaikan akan terus dikenang meskipun telah meninggal dunia.
Simpulan
Analisis semiotika budaya tentang tiga benda yang perlu dibawa ketika merantau telah memberi pesan penting bagi masyarakat. Pertama, senjata tidak mesti dimakna sepenuhnya sebagai benda tajam untuk mempertahankan diri dan menyerang musuh. Akan tetapi, senjata dapat dimaknai sebagai segala bentuk persiapan kita ketika hendak merantau. Persiapan itu berupa bekal hidup yang dapat dimaknai sebagai ilmu, baik ilmu dunia, maupun ilmu agama. Kedua, kemaluan yang dapat dimaknai sebagai etika dan perilaku yang perlu dijaga ketika berada di tempat perantauan. Ketiga, nisan yang dapat dimaknai sebagai simbol keutuhan hati ketika bekerja di tanah perantauan. Artinya, para perantau wajib melakukan hal-hal baik sebagai sumbangsih pembangunan di tempat rantaunya. Dengan demikian, namanya akan terukir baik dalam batu nisan dan akan dikenang sepanjang masa.
Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir. Bantul: Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Penerjemah: Stephanus Aswar Herwinko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berger, Arthur Asa. 2015. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Chaldot. 2012. “Makna dalam Badik (Senjata Khas Bugis Makassar)”. http://chaldot-chaldot.blogspot.co.id. Diakses tanggal 11-09-2017.
Eco, Umberto. 1976. Teori Semiotika: Siginifikasi Komunikasi, Teori Kode, Serta Teori Produksi Tanda. Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir. Indiana University Press.
Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:Kencana.https://id.wikipedia.org/wiki/La_Mohang_Daeng_Mangkona. Diakses tanggal 11-09-2017.
Rijal, Syamsul. 2016. “Tiga Ujung untuk Perantau; Senjata, Kemaluan, Nisan”. Pro Kaltim (Kaltim Post). Edisi Senin, 16 Mei 2016. kaltim.prokal.co. (diakses tanggal 7-09-2017).
Sunardi, St. 2013. Semiotika Negativa. Cetakan III. Yogyakarta: Buku Baik.