Foto 1. Keraton Sambas
Sejarah tentang asal usul Kerajaan Sambas tidak bisa terlepas dari Kerajaan di Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat. Pada jaman dahulu di Negeri Brunei Darussalam, ada seorang raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak cucunya secara turun temurun. Sampailah pada keturunan yang ke-9 yaitu Sultan Abdul Djalil Akbar. Beliau mempunyai putra yang bernama Sultan Raja Tengah. Raja tengah inilah yang kemudian datang ke Kerajaan Tanjungpura (Sukadana). Karena perilaku dan tata kramanya beliau disegani masyarakat, bahkan Raja Tanjungpura rela mengawinkan dengan anaknya bernama Ratu Surya. Dari perkawinan ini lahir Raden Sulaiman.
Pada saat yang sama, di wilayah Sambas memerintah seorang ratu keturunan Majapahit (Hinduisme) bernama Ratu Sepudak dengan pusat pemerintahannya di Kota Lama. Ratu Sepudak dikaruniai dua orang putri. Yang sulung dikawinkan dengan kemenakan Ratu Sepudak bernama Raden Prabu Kencana dan ditetapkan menjadi penggantinya. Ketika Ratu Sepudak memerintah, tibalah Raja Tengah beserta rombongannya di Sambas. Kedatangan mereka disambut baik dan bahkan banyak rakyat Sambas menjadi pengikutnya dan memeluk Agama Islam. Setelah Ratu Sepudak wafat, digantikan Raden Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Tidak berapa lama, putri kedua Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu kawin dengan Raden Sulaiman (Putera sulung Raja Tengah). Perkawinan ini dikaruniai seorang putera bernama Raden Boma.
Dalam pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda, diangkatlah pembantu-pembantu administrasi kerajaan. Adik kandungnya bernama Pangeran Mangkurat ditunjuk sebagai Wazir Utama. Bertugas khusus mengurus perbendaharaan raja, terkadang juga mewakili raja. Raden Sulaiman ditunjuk menjadi Wazir kedua yang khusus mengurus dalam dan luar negeri dan dibantu menteri-menteri dan petinggi lainnya. Rakyat lebih menghargai Raden Sulaiman dari pada Pangeran Mangkurat, hingga menimbulkan rasa iri Pangeran Mangkurat. Orang kepercayaan Raden Sulaiman bernama Kyai Satia Bakti dibunuh pengikut Pangeran Mangkurat. Hal tersebut dilaporkan kepada raja namun tak ada tindakan apapun. Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Arya Mangkurat ini kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya, sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat banyak. Maka Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Pada sekitar tahun 1655, berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya, yaitu sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk Islam. Raden Sulaiman dan rombongannya menuju daerah baru bernama Kota Bangun dan menetap disana selama satu tahun. Kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Bandir.
Empat tahun menetap di Kota Bandir, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman dan menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat yang baru di wilayah Sungai Selakau dengan ibukota pemerintahan Kota Balai Pinang. Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini. Sekitar lima tahun setelah mendapat mandat dari Ratu Anom Kesumayuda, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah kerajaan baru. Sekitar tahun 1671, Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung. Saudara-saudaranya, Raden Badaruddin digelar pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Raden Abdul Wahab di gelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma.
Raden Bima (anak Raden Sulaiman) menikah dengan puteri Raja Tanjungpura bernama Puteri Indra Kesuma (adik bungsu Sultan Zainuddin) dan dikaruniai seorang putera bernama Raden Meliau. Setahun kemudian mereka pamit ke hadapan Sultan Zainuddin untuk pulang ke Sambas, oleh Raden Sulaiman dititahkan berangkat ke Negeri Brunai untuk menemui kaum keluarga. Tahun 1685, Raden Bima dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Tadjuddin. Sekitar setahun setelah memerintah, sultan memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan tiga buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau, dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama “Muara Ulakkan” yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 hingga saat ini.
Wafatnya Sultan Muhammad Tadjuddin, pemerintahan dilanjutkan oleh Raden Meliau dengan gelar Sultan Umar Akamuddin I. Berkat bantuan permaisurinya bernama Utin Kemala yang bergelar Ratu Adil, pemerintahan berjalan lancar dan adil. Inilah sebabnya dalam sejarah Sambas terkenal dengan sebutan Marhum Adil.
Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula dengan Raden Pasu yang lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta beliau bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah Sultan Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom dicatat sebagai tokoh yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok lanun. Setelah memerintah kira-kira 13 tahun (1828), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I wafat. Puteranya Raden Ishak (Pangeran Ratu Nata Kesuma) baru berumur 6 tahun. Karena itu roda pemerintahan diwakilkan kepada Sultan Usman Kamaluddin.
Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, yang digantikan Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855 Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (Kembali ke Sambas tahun 1879). Maka sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko’ (Pangeran Ratu Mangkunegara) dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga atas perintah Belanda, Pangeran Adipati diberangkatkan ke Jawa untuk sekolah.
Tahun 1861 Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama, Ratu Anom Kesumaningrat dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai putera Mahkota. Dari istri kedua, Encik Nana dikaruniai juga seorang putera bernama Muhammad Aryadiningrat. Sebelum menjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden Ahmad wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Muhammad Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan Muhammad Syafeiuddin II telah berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II.
Setelah memerintah sekitar empat tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan diserahkan kepada Sultan Muhammad Mulia Ibrahim (1931-1943). Pada masa pemerintahannya, dibangunlah Istana Alwatzikhoebillah yang sampai saat ini masih ada. Pada masa pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang datang ke Sambas. Sejak jaman pendudukan Jepang dan NICA (1942-1950), Kerajaan Sambas mulai mengalami kemuduran dan akhirnya hilang. Tahun 1950, Kalimantan Barat kembali bernaung dibawah Negara Kesatuan Repulik Indonesia dan dibentuknya pemerintahan administratif. Tanggal 15 Juli 1999, daerah Sambas ditetapkan menjadi kabupaten dengan ibukota Sambas.