Konservasi Rumah Tradisional Banjar Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku
Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Kondisi tersebut mengakibatkan perlunya suatu pengaturan dan penanganan terhadap cagar budaya sehingga dapat terus lestari dan bermanfaat bagi generasi bangsa. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.
Dari 28 (dua delapan) cagar budaya yang ada di Kalimantan berdasarkan Surat Keputusan Menteri, 21 diantaranya terbuat dari bahan kayu. Dengan kata lain, 75 persen dari keseluruhan cagar budaya yang ditetapkan oleh Menteri yang ada di Kalimantan terbuat dari bahan kayu. Cagar budaya tersebut terdiri dari keraton sebanyak 10 (sepuluh) bangunan, masjid sebanyak 7 (tujuh) bangunan dan rumah sebanyak 4 (empat) bangunan. Merujuk pada data tersebut dengan pendekatan penggunaan bahan, kayu menjadi salah satu komponen penting dalam aktivitas kehidupan masyarakat masa lalu di wilayah Kalimantan.
Ketersediaan bahan yang melimpah, kualitas kayu yang unggul menjadi salah satu pilihan masyarakat masa lalu di Kalimantan dalam mendirikan suatu pemukiman. Menurut Rapoport (1969) bangunan rumah sebagai bagian dari arsitektur merupakan konstruksi (pembangunan) yang mampu mengubah lingkungan fisik (physical environment) berdasarkan tatanan yang dilandasi oleh tata nilai (yang menjadi tujuan) yang dipilih oleh manusia, baik individu maupun kelompok masyarakat. Konsep yang demikian dapat ditemukan pada pendirian rumah tradisional Bubungan Tinggi yang terletak di tepi Sungai Martapura, Desa Teluk Selong Ulu Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Rapoport, pertimbangan tersebut melatarbelakangi proses pendirian suatu bangunan.
Sebagaimana rumah adat masa lalu, Rumah Bubungan Tinggi didirikan di tepi Sungai Martapura. Daerah ini dulunya merupakan wilayah Kesultanan Banjar. Nama Martapura, menurut Prof. Purbacaraka berasal dari kata permatapura yang telah termuat dalam kitab Negarkrtagama yang memiliki kesamaan arti dengan Tanjungpura, dengan dugaan bahwa Tanjung merupakan sebutan untuk permata (Saleh, 2008:16). Menyebut Martapura pada awal abad ke-19, maka pikiran kita akan tertuju pada ibu kota kesultanan yang dahulu disebut dengan Kayu Tangi atau pula Bumi Selamat di Sungai Martapura (Veth,1869:455; van Rees, 1865:28).
Pada masa Kesultanan Banjar sejak masih berpusat di Bandar Dagang di Kuin (cerucuk) akhir abad ke-16, sistem kehidupan masyarakat didominasi kegiatan perdagangan, salah satunya adalah lada. Komoditas lada telah membuat kesultanan diserang dan keraton yang terletak di Kuin, Banjarmasin (kemudian disebut dengan Banjarmasin lama) dibakar dan hancur oleh ekspedisi militer Belanda pada 1612 sebagai pembalasan atas pembunuhan utusan Belanda, Gillis Michielszoon, saat datang ke Banjarmasin pada tahun 1606. Sejak peristiwa tersebut, Sultan Mustainbillah terpaksa menyingkir dan memindahkan pusat pemerintah ke Martapura, tepatnya di Kayu Tangi. Pada perempat awal abad ke-17, tepatnya tahun 1623 sejarah Kesultanan Banjar mulai terekam di Martapura dengan dibangunnya ibu kota kerajaan di Kayu Tangi (van Rees, 1865:4).
Martapura terletak di pertemuan antara Riam Kiwa dan Sungai Riam Kanan. Sungai-sungai ini merupakan urat nadi transportasi dan perekonomian daerah-daerah pedalaman Meratus. Posisi yang strategis tersebut menjadikan daerah ini dilintasi oleh banyak sungai dan kanal yang sebagian besar dimanfaatkan untuk kebutuhan transportasi masyarakat, bahkan dapat dikatakan sebagai jalan raya utama. Selain itu juga, sungai berfungsi sebagai jalur komunikasi penting dalam menghubungkan pantai dengan pedalaman.
Sungai Martapura juga dikenal sebagai penghasil bahan-bahan mineral yang berasal dari Gunung Meratus. Mineral ini berupa batu-batu mulia, khususnya intan yang kemudian menjadi sumber mata pencaharian penduduk berupa pendulangan intan dari sungai dan menjadi mata dagangan yang penting pada masa itu (Listiana, 2013:24).
Sebagian besar wilayah Martapura dialiri oleh banyak sungai namun terdapat pula dataran tinggi di bagian timur. Pada dataran ini terdapat beberapa baris bukit dengan nama Pegunungan Meratus. Kondisi rendah tanah di bagian barat membuat terbentuknya beberapa danau seperti dua danau besar, Pamingkir dan Negara. Selain itu, kondisi tersebut membuat seluruh tanah rendah kebanjiran di musim hujan sehinggga jalan yang ada nyaris tertutup semua (van der Ven, 1860:109-110).
Gambaran di atas menyiratkan bahwa Martapura pada abad ke-17 banyak dialiri dengan sungai dengan kondisi tanah rawa dengan potensinya. Tidak banyak literatur yang dapat digunakan untuk menggambarkan mengenai kondisi geografis pada awal abad ke-17, namun dari uraian dari van der Ven dapat kita ketahui bahwa kondisi lingkungan berupa daerah rawa dan sungai-sungai yang membentang di wilayah Martapura turut pula mempengaruhi pola pemukiman dan bentuk-bentuk hunian masyarakat pada masa itu, untuk dapat berdaptasi dengan lingkungannya. Pola pemukiman dan bentuk hunian pada masa itu sudah tidak banyak lagi yang ditemukan pada saat ini. Era pembangunan dan globalisasi diperkirakan menjadi salah satu penyebab berkurangnya rumah tradisional di Martapura. Dari sekian banyak banyak rumah tradisional Banjar dan hingga kini masih terawat adalah Rumah Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku yang terletak di Desa Teluk Selong Ulu Kecamatan Martapura Barat.
Rumah Bubungan Tinggi merupakan satu dari sebelas tipe rumah tradisional di Kalimantan Selatan yang diidentifikasi oleh Seman (2001). Bentuk bubungannya yang tinggi menjadikannya dinamai Bubungan Tinggi. Seman (2001) menyebutkan kemiringan atap utama sebesar 45 derajat. Sedangkan Muchammad (2007) menyebutkannya sebesar 60 derajat. Selain nama bubungan tinggi masyarakat menyebutnya dengan nama rumah baanjung. Hal ini dikarenakan adanya tambahan ruang menempel di kiri kanan bangunan yang disebut sebagai anjung sehingga dinamai rumah baanjung (Seman, 1982).
Rumah Bubungan Tinggi sudah berusia ± 148 tahun, dibangun pada tahun 1867 M oleh saudagar kaya dan pernah ditempati sebagai markas pejuang pada masa perang kemerdekaan. Menurut keterangan ahli waris Rumah Bubungan Tinggi yang bernama Ibu Fauziah, bahwa Rumah Bubungan Tinggi dibangun oleh H.M. Arif, ayah dari kakek Ibu Fauziah yang berprofesi sebagai pedagang. Tidak jauh dari Rumah Bubungan Tinggi, sekitar 20 meter ke arah Timur terdapat bangunan Rumah Gajah Baliku. Menurut Abu Najib, juru pelihara di Rumah Gajah Baliku, rumah ini dibangun oleh pendiri Rumah Bubungan Tinggi, diperuntukkan untuk anak-anaknya. Rumah Tradisional Bubungan Tinggi, pernah dipugar pada tahun 1989 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan pada tahun 2003 ditetapkan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sebagai Benda Cagar Budaya. Saat ini merupakan salah satu Rumah Bubungan Tinggi yang tersisa di Kalimantan Selatan dan kondisinya relatif masih bagus. Rumah tradisional Banjar saat ini jarang sekali dijumpai dan jumlahnyapun terbatas.
Menurut pendapat Oliver (1997) bahwasanya rumah tradisional memiliki arsitektur vernakular atau dapat disimpulkan sebagai arsitektur yang memiliki sifat ke-lokal-an. Arsitektur vernakular adalah desain arsitektur yang menyesuaikan iklim lokal, menggunakan teknik dan material lokal, dipengaruhi aspek sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
Secara umum arsitektur vernakular memiliki karakteristik antara lain : a) diciptakan masyarakat tanpa bantuan profesional melainkan dengan tenaga ahli lokal atau setempat, b) diyakini mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik, sosial budaya dan lingkungan setempat, c) dibangun dengan memanfaatkan sumber daya fisik, sosial, budaya, religi, teknologi dan material setempat, d) memiliki tipologi bangunan awal dalam wujud hunian dan lainnya yang berkembang di dalam masyarakat tradisional, e) dibangun untuk mewadahi kebutuhan khusus, mengakomodasi nilai-nilai budaya masyarakat tradisional, dan f) fungsi makna dan tampilan arsitektur sangat dipengaruhi oleh aspek struktur sosial, sistem kepercayaan dan pola perilaku masyarakatnya (Mentayana dan Ikaputra, 2012).
Keunikan dan nilai penting arsitektur rumah tradisional Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku melatarbelakangi pemerintah menetapkan sebagai Benda Cagar Budaya pada tahun 2003. Sebagai salah satu bangunan yang dilindungi, pada tahun 2010 Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda menempatkan juru pelihara pada objek tersebut sebagai upaya perawatan dan pemeliharaan bangunan agar tetap lestari. Penempatan juru pelihara tersebut juga sebagai upaya memonitor apabila ada kerusakan dan pelapukan bangunan dapat segera ditindaklanjuti untuk mendapatkan penanganan.
Berdasarkan laporan dari juru pelihara Rumah Bubungan Tinggi pada tahun 2014, atap bangunan berupa atap sirap mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kebocoran pada beberapa ruangan hunian, ruang tamu dan ruang dapur. Atap sirap merupakan salah satu komponen konstruksi bangunan yang terletak paling luar dan bersentuhan langsung dengan kondisi iklim. Kondisi iklim di Kalimantan Selatan berupa daerah tropis lembab dicirikan oleh curah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi, temperatur sedang dengan rentang harian dan musiman yang kecil dan intensitas matahari yang tinggi turut mempengaruhi menurunnya kualitas bahan atap sirap yang terbuat dari kayu ulin. Selain faktor eksternal berupa faktor iklim, kemungkinan penyebab kerusakan tersebut adalah dari faktor internal yaitu kualitas bahan atap sirap itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pada rentang tahun 2015 – 2016 dilaksanakan Monitoring dan Evaluasi Keterawatan Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku. Setelah dilaksanakan monitoring pada tahun 2015 dilaksanakan konservasi pada beberapa bagian yang prioritas untuk dikerjakan. Pada hasil monitoring tahun 2016 merekomendasikan untuk konservasi beberapa bagian lain yang juga mengalami kerusakan, namun akibat pemotongan anggaran kegiatan fisik konservasi dilaksanakan pada tahun selanjutnya yaitu tahun 2017.