Faqrun Nuriyah Shalawat
Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.4, BPCB Samarinda, 2015
ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa yang memiliki dan mengembangkan kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal yang dimilki suku bangsa ini adalah perawatan kayu secara tradisional. Masing-masing suku bangsa mengembangkan berbagaicara perawatan kayu secara tradisional dengan memanfaatkan berbagai bahan alami yang dapat ditemukan di lingkungan sekitarnya. Contohnya adalah perawatan kayu dengan cara direndam pada air tawar, air asin maupun lumpur. Selain itu ada juga perawatan kayu dengan cara mengoleskan rebusan dedaunan dan kulit kayu pada seluruh permukaan kayu, serta pengawetan dengan cara pengasapan.
Kata Kunci: Kearifan lokal, Indonesia, perawatan, kayu
PENDAHULUAN
Penggunaan kayu sebagai benda yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagai bahan dekoratif diketahui telah berlangsung sejak lama (Hoadley, 1998). Penggunaan kayu yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari salah satunya adalah sebagai bahan pembuatan rumah. Rumah berbahan dasar kayu diduga telah digunakan sejak nenek moyang menusia telah mengenal sistem bercocok tanam. Hal tersebut mengindikasikan mereka mulai tinggal menetap di suatu tempat (tidak lagi nomaden). Sayangnya, rumah hunian mereka hanya sebatas “perkiraan” karena hingga saat ini belum ditemukan buktinya.
Di Indonesia, tradisi membuat rumah berbahan dasar kayu pun berlangsung hingga saat ini. Hal ini disebabkan oleh letak astronomis Indonesia yang berada di garis Khatulistiwa dengan iklim tropis, sangat cocok untuk habitat pepohonan yang merupakan bahan utama kayu. Mulai dari barat hingga timur Indonesia, mengenal rumah berbahan dasar kayu. Bahkan, rumah-rumah yang disakralkan oleh suatu masyarakat (dalam hal ini rumah adat) pada umumnya terbuat dari kayu. Misalnya saja rumah Gadang di Padang, rumah Tongkonan di Toraja, rumah adat suku Dayak di Kalimantan, dan masih banyak lagi.
Kayu salah satu bahan organik yang tersusun dari selulosa (40 –45 %), hemiselulosa (20 –30 %) and lignin (20 –30 %) merupakan salah satu sumber makanan dan tempat bertahan hidup oleh beberapa serangga serta makhluk lainnya (Stuart, 2007; Cronyn, 1990). Jika hal tersebut dibiarkan, dapat mengurangi kualitas dari kayu. Akibatnya, kayu menjadi cepat lapuk dan tidak dapat digunakan lagi. Oleh karena itu, sekarang telah banyak rumah tinggal maupun rumah adat diganti dari kayu menjadi susunan batu dan semen agar lebih awet. Rumah adat Tongkonan di Toraja misalnya, badan bangunannya memang masih menggunakan kayu namun atapnya telah diganti dengan atap seng.
Fenomena-fenomena tentang hal yang telah disebutkan diatas memang sangatah disayangkan. Oleh karena itu, berbagai metode dalam merawat kayu dikembangkan. Metode perawatan kayu yang dikembangkan ini pada umumnya menggunakan bahan-bahan kimia yang mahal dan berbahaya bagi kesehatan penggunanya. Padahal ada cara yang lebih aman dan murah, yakni perawatan kayu secara tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alami yang dapat ditemukan di lingkungan sekitar. Penggunaan bahan dan teknik tradisional oleh masing0masing suku bangsa tentunya didasarkan pada kondisi lingkungan masing-masing suku bangsa tersebut, dalam artian bahwa penggunaan bahan tradisional disesuaikan dengan ketersedian bahan di lingkungan masing-masing suku bangsa tersebut. Dengan kata lain bahwa masing-masing suku bangsa tersebut memiliki dan mengembangkan ciri khas kearifan lokal mereka masing-masing berdasarkan kondisi dan ketersedian bahan di lingkungan masing-masing. Hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing suku bangsa memiliki kearifan lokal sebagai hasil adaptasi dengan lingkungannya.
Kearifan lokal berasal dari dua kata yakni kearifan (memiliki kata dasar arif) dan lokal. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Yuniar) kata kearifan memiliki arti kebijaksanaan sedangkan lokal memiliki arti wilayah yang terbatas. Jadi, kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilai dan pengetahuan tradisional milik suatu kelompok masyarakat. Swastika dkk (2012, hal. 1) menyebut kearifan lokal ini sebagai kearifan tradisional.
Dalam kearifan tradisional yang dimiliki oleh suku bangsa itu juga dikembangkan perawatan terhadap kayu dengan menggunakan bahan-bahan yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Berbagai perawatan kayu secara tradisional inilah yang akan penulis coba uraikan pada bab selanjutnya.
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Tujuan dari tulisan untuk mengetahui kearifan tradisional yang dimiliki suku bangsa Indonesia. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dalam perawatan kayu secara tradisional.
METODE PENULISAN
Karena keterbatasan yang dimiliki penulis, tulisan ini ditulis melalui kajian pustaka terkait dengan perawatan kayu secara tradisional yang dimiliki beberapa kelompok suku misalnya Bugis-Makassar dan Toraja.
ANALISIS ANCAMAN TERHADAP KAYU
Ancaman terhadap kayu yang datang dari luar, telah Cronyn (1990, hal. 241) coba uraikan dalam bukunya berjudul The Elements of Archaeological Conservation. Berikut adalah uraiannya.
Serangga
Sebagian besar serangga merupakan penghuni bumi yang secara relatif membutuhkan lingkungan yang kering yang berisi oksigen. Serangga-serangga itu menghancurkan artefak karena dijadikan sebagai sumber makanan, akan tetapi pamahaman mengenai hal ini dan cara untuk mengendalikannya sangatlah sulit jika melihat fenomena metamorphosis dari serangga-serangga tersebut. Serangga tertentu seperti gegat, kutu, kecoa dan rayap memiliki siklus kehidupan yang normal dimana dimulai dari telur yang menetas menghasilkan anakan yang secara terus-menerus berkembang menjadi serangga dewasa. Disisi lain, serangga seperti kumbang dan ngengat memperlihatkan metamorphosis dimana siklus kehidupan mereka diselesaikan dalam dua tahap yang jelas. Tahap pertama, telur menetaskan larva yang terus tumbuh hingga menjadi pupate, kemudian muncul sebagai serangga dewasa. Pada sebagian besar kasus, proses pertumbuhan larva inilah yang menyebabkan rusaknya kayu.
Moluska dan Crustacea
Moluska seperti siput, dan crustacea seperti kutu kayu, berkontribusi terhadap kerusakan yang terjadi pada bahan-bahan organik, dalam siklus kerusakan alami, tapi hanya bahan-bahan yang sebelumnya telah mengalami pembusukan. Di laut, bagaimanapun juga, serangga sejenis seperti piddock dan shipworm (moluska), dan gribble (crustacea), merupakan faktor utama perusak kayu bahkan beberapa jenis dari moluska laut juga menyerang dan merusak kayu (daerah pesisir).
Mikro-organisme
Salah satu contoh mikro-organisme seperti bakteri anaerobic dapat tumbuh subur di lingkungan yang tidak memiliki oksigen, tapi selagi beberapa dari mikro-organisme ini yang merupakan selulotik (dapat menghancurkan selulosa), mikro-organisme ini cenderung tidak menyerang struktur kayu. Hal ini disebabkan kerusakan biologis pada lingkungan yang memiliki potensi redox yang lemah sangatlah terbatas. Beberapa jenis jamur dan bakteri dapat memanfaatkan bahan-bahan yang lain sebagai sumber makanan, sedangkan untuk beberapa jenis lainnya memiliki keterbatasan dalam melakukan hal tersebut.
PERAWATAN KAYU SECARA TRADISIONAL
Dalam mengatasi ancaman-ancaman terhadap kayu dapat dilakukan dengan dua cara yakni modern dan tradisional. Perawatan secara modern umumnya menggunakan bahan-bahan kimia, sedangkan perawatan secara tradisional menggunakan bahan-bahan yang dapat ditemukan di lingkungan sekitar.
Perawatan kayu secara tradisional ini secara tidak sadar sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-sehari. Perawatan yang dapat dilakukan terbagi kedalam dua kategori yakni sebelum kayu itu digunakan dan sebagai perawatan lanjutan agar kayu lebih tahan lama.
Diantara metode tradisional ini, juga dipaparkan metode tradisional yang digunakan penulis dalam merawat kayu penyusun rumah tinggal dari gangguan rayap dan semut. Semoga berguna.
Kategori I: Perawatan kayu sebelum digunakan
Perendaman kayu di air maupun lumpur
Beberapa kelompok masyarakat Indonesia memiliki keraifan lokal masing-masing dalam mengawetkan kayu. Salah satu contohnya adalah kelompok masyarakat Bugis-Makassar dan Toraja di Sulawesi Selatan. Kelompok masyarakat Bugis-Makassar dikenal hingga saat ini tinggal di dalam sebuah rumah kayu yang dalam bahasa Indonesia disebut rumah panggung dan digunakan hingga waktu yang lama. Rahasia dari ketahanan kayu yang dipakai dalam pembangunan rumah mereka terletak pada proses sebelum kayu itu digunakan.
Oleh kelompok masyarakat Bugis-Makassar, sebelum digunakan, kayu-kayu tersebut direndam terlebih dahulu di hilir-hilir sungai. Hal ini dimaksudkan agar kayu-kayu tersebut tahan dan kuat terhadap gangguan rayap (Susanti, 2014).
Kelompok masyarakat yang tinggal dipesisir merendam kayu-kayu tersebut di air laut. Perendaman kayu ini dilakukan hanya pada kayu yang berumur tua, sedangkan pada kayu yang masih muda hanya dikeringkan dengan ditaburi garam pada seluruh permukaannya (Susanti, 2014).
Berbeda dengan kelompok masyarakat Bugis-Makassar yang merendam kayu-kayu mereka di air, kelompok masyarakat Toraja menggunakan lumpur sebagai media perendaman kayu. Kayu-kayu tersebut biasanya mereka gunakan untuk membangun rumah adat mereka yakni Tongkonan (Susanti, 2014).
Kategori II: Perawatan lanjutan
Rebusan
Metode perwatan kayu dengan menggunakan rebusan berasal dari masyarakat Jeneponto, Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah ini terletak di sebelah selatan Kota Makassar.
Masyarakat Jeneponto diketahui menggunakan beberapa bahan seperti kulit luar pohon petai cina (nama lokal pohon tammate) dicampur dengan kulit luar pohon Syzygium Sp. (nama lokal pohon coppeng), kemudian ditambah sedikit daun sirsak (nama lokal daun srikaya/annona muricata) kemudian direbus bersamaan selama beberapa saat kemudian didinginkan. Air dari rebusan ini kemudian dioleskan pada seluruh permukaan kayu (Susanti, 2014).
Pengasapan
Metode pengasapan merupakan metode yang paling umum digunakan dalam perawatan kayu. Pengasapan biasanya diperoleh dari aktivitas pembakaran sampah untuk melengkapi kegiatan bersih-bersih rumah. Selain itu, ada pula masyarakat yang membakar kulit langsat. Asap dari pembakaran ini dapat mengusir rayap dan serangga
Pembersihan rayap dan pelumuran cairan bahan bakar
Metode ini merupakan metode yang selalu digunakan oleh penulis dalam melakukan perawatan terhadap kayu yang sudah mulai dijadikan sarang oleh rayap. Sarang-sarang tersebut terlihat seperti garis menonjol berliku pada permukaan kayu dan terbuat dari kumpulan tanah yang rapuh. Untuk membersihkannya cukup dengan menggosok permukaan kayu hingga sarang rayap tersebut hilang. Agar rayap tidak kembali bersarang, cukup semprotkan atau oles dengan cairan bahan bakar misalnya minyak tanah maupun oli bekas.
KESIMPULAN
Indonesia sangatlah kaya akan kearifan lokal yang sangat berharga dan dapat dimanfaatkan, tidak hanya oleh masyarakat yang memilikinya tetapi juga masyarakat yang bahkan tinggal ribuan kilometer jauhnya. Salah satunya adalah perawatan kayu secara tradisional. Dalam perawatan kayu terbagi dua kategori yakni sebelum kayu digunakan dan perawatan lanjutan saat kayu-kayu tersebut sedang digunakan. Pada kategori pertama, yakni saat sebelum kayu digunakan, kayu-kayu tersebut oleh masyarakat Bugis-Makassar direndam di hilir-hilir sungai. Masyarakat yang tinggal dipesisir merendam kayu-kayu dalam air laut. Sedangkan masyarakat Toraja merendam kayu-kayu itu di lumpur. Kategori kedua sendiri berupa perawatan kayu pada saat kayu sedang digunakan. Beberapa metode tersebut diantaranya dengan menggunakan rebusan pohon petai cina (nama lokal pohon tammate) dicampur dengan kulit luar pohon Syzygium Sp. (nama lokal pohon coppeng), kemudian ditambah sedikit daun sirsak (nama lokal daun srikaya/annona muricata). Air rebusan setelah didinginkan oleh masyarakat Jeneponto kemudian dioleskan pada seluruh permukaan kayu. Ada juga metode pengasapan yang secara tidak sadar sering dilakukan saat sedang bersih-bersih lingkungan rumah. Pengasapan ini diperoleh dari pembakaran sampah sebagai pelengkap kegiatan bersih-bersih. Dan yang terakhir adalah metode tradisional yang penulis sering lakukan dalam merawat kayu penyusun rumah. Caranya adalah dengan menyingkirkan sarang rayap pada kayu kemudian mengoleskan bahan bakar bekas seperti oli ataupun minyak tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Cronyn, J. M. (1990). The Elements of Archaeological Conservations. London dan New York: Routledge.
Hoadley, R. B. (1998). Wood as a Physical Surface for Paint Application. Painted Wood: History and Conservation (pp. 2-16). Virginia: Getty Conservation Institute.
Stuart, B. H. (2007). Analytical Techniques in Materials Conservation. Inggris: John Wiley and Sons Ltd.
Susanti, D. (2014). Perawatan Kayu Secara Tradisional pada Masyarakat Bugis-Makassar dan Toraja. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur , 8, 4-11.
Swastikawati, A., Suryanto, R. K., & Purwoko, A. W. (2012). Metode Konservasi Tradisional (Pejamasan) Cagar Budaya Berbahan Logam Besi. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.
Yuniar, T. S. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Agung Media Mulia.