Salah satu tinggalan arkeologi Islam di Mempawah yang sampai saat ini masih dapat dilihat adalah Masjid Jamiatul Khair. Rumah ibadah umat Islam ini, secara historis merupakan bukti sejarah (historical evidence) dan saksi nyata namun bisu (the silent eye-witness) ihwal keberadaan dan perkembangan agama Islam di Mempawah. Di dalamnya memuat sejumlah informasi dan fakta sejarah panjang yang menjelaskan bagaimana proses penyebaran Islam dengan segenap implikasi historisnya dalam upaya mempertahankan keberadaan dan mengembangkan visinya di tengah komunitas dan struktur sosial di zamannya.
Masjid Jamiatul Khair terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi masjid ini berada di tepi Sungai Mempawah, dan letaknya tak jauh dari Istana Amantubillah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kraton Mempawah.
Masjid Jamiatul Khair didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1324 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Desember 1906, oleh Panembahan Mempawah Muhammad Taufik Akamaddin, atau biasa disebut dengan Gusti Muhammad Taufik. Beliau adalah putra Gusti Ibrahim, yang bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1864-1887). Penobatan Gusti Muhammad Taufik karena menggantikan Gusti Intan, menantu Gusti Ibrahim atau yang tidak lain juga adalah saudara ipar Gusti Muhammad Taufik pada tahun 1902.
Menurut riwatnya, masjid dengan luas bangunan 18 x 18 meter ini sudah tiga kali berpindah lokasi. Pembangunan pertama dilakukan di Kampung Berunai. Kemudian pindah ke Kampung Siantan. Terakhir di lokasi sekarang.
Kampung Pulau Pedalaman dipilih pihak kerajaan karena lokasinya sangat strategis. Selain berada di pinggir Sungai Mempawah juga tidak jauh dari Istana Amantubillah. Sungai saat itu menjadi urat nadi perekonomian. Sampan sebagai alat transportasi utama. Sehingga warga yang menggunakan sampan dengan mudah dapat menjangkau masjid ini.
Tak heran mereka yang mengunjungi istana berkesempatan melihat dari dekat masjid ini dan sekaligus beribadah. Pemandangan sekitar masjid juga cukup menarik. Sungai Mempawah yang persis berada di halaman depan menjadi daya tarik tersendiri.
Areal masjid awalnya cukup luas. Pohon-pohon rindang mengelilingi masjid. Namun sejalan dengan waktu, pihak kerajaan melakukan pembagian lahan di kawasan itu untuk tempat tinggal kerabat. Juga terdapat lahan untuk tanah wakaf keluarga. Hingga kini, istana maupun masjid memang sudah dikelilingi rumah-rumah para kerabat.
Masjid Jamiatul Khair saat itu selalu ramai dikunjungi, baik salat lima waktu, salat jumat, Idul Fitri maupun Idul Adha. Karena semua umat Islam pada hari itu berbondong-bondong ke masjid.
Walaupun telah berusia 108 tahun, kondisi Masjid Jamiatul Khair sangat baik. Sebagian besar kerangka bangunan yang menggunakan kayu belian seperti tiang, lantai dan dinding masjid, tetap terawat. Atap masjid juga terbuat dari sirap belian. Namun sebagian telah dilapisi atap seng.
Pondasi bawah masih dengan tongkat belian. Namun kini dibuat dinding semen agar kolong tak terlihat. Lantai masih mempertahankan papan belian. Bisa menampung jamaah pada posisi duduk 800 orang. Khas masjid ini adalah warna kuning telur dengan kombinasi hijau. Tiang pilar ada empat buah dan tiang-tiang di pondasi dinding serta pada daun jendela. Juga dinding papan belian yang dipasang secara berdiri mashi asli.
Pergantian hanya pada kubah yang semula disusun dari atap sirap kini dilapisi seng. Atap sirap tidak dilepas agar tetap tahan dan menjaga keasliannya. Bangunan ini memiliki tiga kubah dengan bentuk limas. Di atas kubah terdapat kendi.
Tempayan kecil ini dipertahankan karena ada amanah dari Panembahan Muhammad Taufik Akamaddin, yang meminta kendi di atas kubah tetap dipertahankan.
Kini, Masjid Jamiatul Khair telah menjadi salah satu ikon wisata di Kabupaten Pontianak. Tempat ini menjadi lokasi wisata yang sering dikunjungi bersamaan dengan penunjung mengunjungi Istana Amantubillah. Tak hanya kekhasan bangunannya semata, tetapi juga pada nilai kesejarahan yang diukir dan diperankan oleh keberadaan masjid kuno ini. Konservasi nilai kesejarahan tinggalan masjid ini menjadi penting dilakukan, bukan hanya semata keniscayaan yang diamanatkan oleh Universal Declaration of Human Rights dan Undang-undang Cagar Budaya tahun 2010 tentang keharusan memproteksi, mengonservasi, dan mengembangkan tata nilai budaya komunitas, tapi juga dalam upaya menjelaskan kepada generasi kini dan mendatang tentang apa dan bagaimana kontribusi masjid ini dalam pengembangan masyarakat