Makam Litun Dawat

0
2716

99Secara astronomis makam Litun Dawat berada pada koordinat N 03°23’32.8” dan E 116°31’47”. Secara administrasi terletak di Desa Setarap, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Malinau. Makam ini terletak di atas bukit di tepi Sungai Malinau dengan ketinggian 36 meter dari permukaan laut. Untuk mencapai makam ini dapat dilalui dengan jalur darat (mobil, motor) kemudian dilanjutkan dengan jalur air (perahu, speed boat). Batas makam sebelah utara adalah Sungai Malinau, sebelah selatan adalah makam, sebelah timur dan barat adalah semak belukar.

Makam Litun Dawut terbuat dari kayu ulin utuh berbentuk lingkaran dengan ukuran tinggi 4,66 meter dan keliling 2,30 meter. Di dalam ulin terdiri lagi sebuah tempayan yang merupakan tempat disimpannya tulang belulang. Namun kini tempayan tersebut telah hilang beserta tulangnya akibat penjarahan makam kuno. Jenis penguburan pada makam ini disebut juga langgang. Langgang mengalami kemiringan ke arah timur. Bagian dasar langgang telah diberi campuran semen sedangkan bagian atasnya terdapat atap dari seng berukuran 1 x 1 meter. Pada bagian badan langgang terdapat sebuah ukiran manusia kangkang yang tingginya sekitar satu meter. Beberapa bagian badan langgang mengalami kerusakan seperti rapuh, retak, bocor/hilang, dan coret-coretan.

Makam Litun Dawat telah ada sejak tahun 1755. Menurut informasi masyarakat, Litun Dawat merupakan leluhur masyarakat Dayak Lundayeh yang pertama kali menempati Desa Setarap yang awalnya bermukin di Muara Sungai Gita (anak Sungai Mentarang). Sekitar 300 tahun lalu,  kawasan daerah Sungai Malinau termasuk kawasan yang berada di bawah Kesultanan Bulungan dan merupakan salah satu kawasan yang sangat tidak aman. Pada masa itu terjadi perang suku antara suku Dayak Tenggalan dari Sungai Sembakung dan suku Dayak Merap yang bermukim di muara Gong Solok, anak Sungai Malinau.

Raja Pandita, penguasa Tanah Tidung Malinau, yang saat itu bermukim di Kuala Kabiran, berinisiatip mendatangi Aran Unyat. Tujuannya untuk berdiskusi membicarakan soal ancaman penyerangan Suku Tenggalan ke Gong Solok. Setelah mendapat persetujuan Aran Unyat, Raja Pandita mendatangi Litun Dawat dan Badul Lakai di Muara Gita agar membantu suku Dayak Merap mengatasi serangan suku Dayak Tenggalan dari Sembakung. Atas bantuan Litun Dawat dan Badul Lakai, serangan Dayak Tenggalan dapat diatasi. Setelah wilayah Malinau aman, Litun Dawat dan Badul Lakai hidup menetap di daerah aliran Sungai Malinau. Atas persetujuan Raja Pandita dan Aran Unyat, Raja Merap Gong Solok saat itu, mereka menempati wilayah antara wilayah adat suku Merap di bagian hulu dan wilayah Masyarakat adat Abai Sentaban di bagian hilir. Tapal batas kawasan adat yang saat itu diberikan jelas. Penguasaan wilayah ini sebagai imbalan jasa. Namun demikian, Litun Dawat dan Badul Lakai juga menyerahkan budak untuk Raja Pandita.

Hingga saat ini makam Litun Dawat belum memiliki juru pelihara baik dari BPCB Samarinda maupun dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Malinau.