Lamin Pemung Tawai Sebagai Wadah Pertunjukan Seni Di Desa Budya Pampang, Oleh Nasrullah, M.A

0
3635

LAMIN PEMUNG TAWAI SEBAGAI WADAH PERTUNJUKAN SENI DI DESA BUDAYA PAMPANG

Oleh: Nasrullah, M.A.

Artikel yang disalin dari Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur Buletin Kundungga Volume 6 Tahun 2017 ISSN 2301 – 5853.

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Jalan Pulau Flores No.1 Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia.

Telepon (0541) 734582, Faksimile (0541) 734582

Pos-el: nasrullah.mappatang@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini membahas keberadaan Lamin Pemung Tawai yang ada di Desa Budaya Pampang sebagai ruang pertunjukan. Tulisan ini adalah kajian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi lapangan wawancara, dan penelusuran literatur terkait. Teori yang digunakan adalah fase kebudayaan C.A. van Peursen yang mengangkat tentang strategi kebudayaan.

Adapun hasil kajian mengenai Lamin Pemung Tawai ini adalah ditemukannya perubahan fungsi lamin dari yang dulunya adalah tempat tinggal bersama, menjadi tempat pertunjukan. Selain itu, perubahan fungsi ruang juga mengalami perubahan. Termasuk pagen (teras) yang dulu dijadikan sebagai tempat pertemuan para orang tua masyarakat Dayak untuk merumuskan keputusan, kini menjadi ruang pertunjukan sekaligus tempat penonton duduk menyaksikan pertunjukan seni yang dipentaskan. Adapun gejala operasionalisme kebudayaan terlihat dari dijadikannya lamin dan aktivitas kesenian di dalamnya sebagai objek wisata. Perubahan-perubahan tersebut ditemukan terutama terkait dengan faktor migrasi dan modernisasi.

Abstract

This work discuss about the Lamin Pemung Tawai in Cultural Village of Pampang as permormance stage. This works is a study that using descriptive analysis as method, and qualitative approach. This studies using observation, interview, and library research as method of collecting data. The analysis of this studies using Cultural phase of C.A. van Peursen about cultural strategy.

The result of study about the topic is finding the change of function of lamin as communal living function historically in past time to arts performance’s stage nowadays. Otherwise, there are also the changes for the function of some space, specificly for terrace in the past time as an important meeting room and now to be the performance stage. The change of lamin and arts performance’s status in Pampang as tourist destination creates the potential of operationalism of culture in this government’s policy. Those changes are caused by the factor of migration and modernization.

Pendahuluan

Lamin Pemung Tawai terletak Desa Budaya Pampang, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Bagi masyarakat Dayak, termasuk pada masyarakat Dayak Kenyah, lamin merupakan sebuah tempat tinggal bersama komunitas masyarakatnya. Namun, itu dulu, dan masih ada pula yang berlangsung sampai sekarang. Lamin, sebagai rumah adat merupakan sebuah wujud kebudayaan artifisial, sebagaimana dikonsepkan oleh Koentjaraningrat dalam karya antropologinya. Dalam hal ini, lamin bisa dianggap sebagai sebuah wujud budaya berupa benda (artefak) yang bersifat artifisial.

Hadirnya administrasi pemerintah kota Samarinda di daerah yang didiami oleh masyarakat Dayak Kenyah di Pampang menjadikan komunitas masyarakat Dayak ini berada dalam satuan administrasi Negara Indonesia. Pilihan sebagai eksistensi budaya di kalangan masyarakat Dayak Kenyah sendiri dan kepentingan pariwisata bagi pemerintah Kota Samarinda dan Provinsi Kalimantan Timur menjadikan Lamin yang terdapat di Desa Budaya Pampang menjadi milik masyarakat Dayak Kenyah sekaligus menjadi klaim pemerintah. Setidaknya aturan berupa peraturan pemerintah kota hadir di sana.

Dengan demikian, tradisi yang dahulunya bersifat kultural sekarang berubah menjadi semi struktural. Kehadiran negara dan pemerintahnnya disini menjadi sebuah regulasi sekaligus negosiasi bagi komunitas masyarakat Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang ini. Terutama mengenai orientasi pelestarian budaya dan kepentingan pariwisata.

Cara pandang kebudayaan dari fase mistis ke fase ontologis lalu ke fase fungsional menurut Van Peursen (1988) dapat digunakan untuk melihat perubahan fungsi kebudayaan, termasuk yang ada di Desa Budaya Pampang, Samarinda, Kalimantan Timur. Selain itu, tidak adil jika kita hanya melihatnya dengan cara pandang demikian. Cara pandang post-struktural yang melihat adanya tegangan dan negosiasi dalam praktik berkebudayaan di Lamin Desa Budaya Pampang ini juga memungkinkan untuk digunakan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan observasi langsung di lapangan, penelusuran literatur, dan wawancara dengan narasumber kunci. Adapun metode penyajian dilakukan secara deskriptif analitis. Hasil penelusuran dan pengumpulan data akan dipaparkan kemudian dianalisis menggunakan teori yang terkait dengan perubahan fungsi kebudayaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi, perubahan yang ditimbulkan, serta konsekuensi dari perubahan tersebut akan menjadi hasil penelitian yang ada.

HASIL DAN ANALISIS

Orang Dayak Kenyah mulai bermukim di daerah Pampang sekitar tahun 1960-an. Namun, mulai ramai sekitar tahun 1980-an[2]. orang Dayak Kenyah yang ada di Desa Budaya Pampang berasal dari Apokayan, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara[3]. Perpindahan atau migrasi yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Kenyah dari Apokayan ke Pampang, Samarinda bagian Utara ini dalam rangka memperbaiki penghidupan untuk masa depan yang lebih baik. Perpindahan suatu kelompok masyarakat disertai dengan perpindahan sebuah kebudayaan dari daerah asal ke daerah tujuan. Dengan demikian, perpindahan orang Dayak Kenyah dari Apokayan ke Pampang menimbulkan terjadinya migrasi budaya dari Apokayan ke Pampang.

Migrasi dan perpindahan tradisi budaya orang Dayak Kenyah dari Apokayan ke Pampang terlihat dengan masih dijaganya tradisi kesenian sebagai salah satu wujud dan unsur kebudayaan. Kesenian merupakan sebuah unsur kebudayaan sebagai wujud fisik ataupun artifisial dari sebuah kebudayaan (Koentjaraningrat, 1996: 74-80). Migrasi sebagai sebuah dinamika masyarakat setidaknya menjadikan perpindahan manusia sekaligus sebagai perpindahan budaya (Tirtosudarmo, 1997, 2007). Hal ini pula yang terjadi pada migrasi internal (internal migration) masyarakat Dayak Kenyah yang ada di Pampang saat ini.

Setelah bermigrasi dari Apokayan ke Pampang, pada tahun 1990 lamin didirikan atas partisipasi pemerintah Kota Samarinda dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Keberadaan lamin ini diharapkan akan menjadi ciri khas budaya masyarakat Dayak Kenyah yang ada di Pampang. Pada tahun 1991 lamin yang sekarang bernama Lamin Adat Pemung Tawai diresmikan oleh pemerintah (Dahri & Irma, 2016). Menurut penuturan dari Laing Along dalam suatu wawancara, keberadaan lamin di awal tidak langsung menjadi objek wisata. Namun, sudah menjadi aktivitas berkesenian yakni tari dan musik khas masyarakat Dayak Kenyah. Barulah pada tahun 1995 pemerintah menetapkan aktivitas berkesenian setiap hari Minggu di Lamin Adat Pemung Tawai Pampang menjadi objek wisata. Hal inilah yang menandai babak baru terhadap fungsi keberadaan lamin tersebut.

Orang Dayak di Depan rumah panjang (lamin) zaman dulu
Bentuk Rumah Panjang (lamin) pada zaman dulu, tampak samping
Anak anak perempuan para penari di Pampang (Dok.Pribadi)                                                           
Lamin tampak dari halaman depan
(Dok. Pribadi)

Sejak awal, keberadaan lamin di Pampang tidaklah seperti fungsi lamin di daerah asal mereka sebelumnya yakni sebagai tempat tinggal. Khususnya bagi bangsawan orang Dayak pada umumnya. Sejak didirikan sampai diresmikan oleh pemerintah, lamin di Pampang memang tidak digunakan untuk tempat tinggal, namun sebagai pusat kebudayaan, termasuk berkesenian orang Dayak Kenyah yang ada di Pampang itu sendiri. Setidaknya, itu terjadi sejak tahun 1991 sampai tahun 1995. Barulah tahun 1995, fungsi lamin adat berubah menjadi tempat berkesenian sekaligus objek wisata. Kegiatan berkesenian tetap dilakukan, dan sebagai objek wisata, orang luar diajak untuk menyaksikan pertunjukan yang diadakan setiap hari Minggu tersebut. Sebagai objek wisata dari tahun 1995 hingga saat ini, lamin yang secara historis dulunya menjadi tempat tinggal, sekarang menjadi tempat berkesenian yang menjadi objek wisata serta ramai dikunjungi oleh orang luar Dayak Kenyah itu sendiri. Artinya, sebagai objek wisata ada faktor ekonomi yang berperan di dalam keberadaan lamin di Pampang saat ini.

Perubahan fungsi lamin juga turut mempengaruhi penataan ruang dan peruntukannya (Pergitawati dkk, 2014). Tempat melakukan aktivitas kesenian saat ini adalah ruang yang diberi nama pagen (teras) pada sejarah rumah lamin di daerah asal masyarakat Dayak. Dulunya, fungsi pagen tersebut sebagai tempat berkumpul, bukan untuk kegiatan menari dan bermusik seperti yang kita bisa saksikan sekarang. Adapun tempat menari dan bemusik, biasanya dilakukan dilakukan di halaman rumah panjang orang Dayak (Lumholtz,1920).

Tarian Dayak yang dipentaskan di Halaman (Dulu)
(Carl Lumholtz,1920)
Tarian Dayak di Teras Lamin Pampang (Dok. Pribadi)

Generasi sekarang hanya melihat tarian sebagai ritual. Tradisi menggunakan anting hingga kuping memanjang dan tato sudah mulai ditinggalkan. Dilihat dari sisi hunian, dahulu seluruh masyarakat tinggal di dalam sebuah lamin (rumah adat Suku Dayak), sedangkan saat ini masyarakat membangun rumah masing-masing.Mengenai perubahan dan pergeseran akibat migrasi dan modernisasi tersebut, Marten Abet selaku ketua adat meyatakan bahwa:

Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana pengaruh yang ditimbulkan akibat migrasi dan modernisasi yang terjadi. Terdapat perubahan pola perilaku dan pemaknaan budaya oleh generasi sekarang, terutama bagaimana peran dan fungsi lamin itu sendiri. Pilihan untuk membangun rumah masing masing dan menfungsikan lamin hanya sebagai tempat menari dan bermain musik semata, apalagi untuk tujuan wisata ternyata juga menjadi kecemasan tokoh adat masyarakat Dayak Kenyah itu sendiri yang ada di Desa Budaya Pampang.

Pada suatu kunjungan di Minggu pertama September 2017, penulis sempat meyaksikan fungsi lain dari lamin di Pampang yang dijadikan sebagai tempat menjual sayur dan ikan kering air tawar oleh masyarakat setempat. Selain aktivitas penjualan karcis, jasa berfoto dengan para penari dan orang Dayak bertelinga panjang juga digemari para wisatawan (lihat gambar di bawah). Dengan demikian, fungsi ekonomi dari lamin juga sudah menjadi perihal yang lazim sekarang ini.

Penjual Sayur di sela – sela pertunjukan di Lamin Adat Pampang (Dok.pribadi)
Suasana pembelian karcis untuk berfoto dengan penari
(Dok. Pribadi)

Sementara itu, Ririn Prasetya Pergitawati dkk (2014), selaku peneliti arsitektur yang meneliti perubahan pola ruang pada lamin yang ada di Desa Budaya Pampang ini menuliskan bahwa;  Dengan runtutan permasalahan yang terjadi, seiring dengan perubahan dan pergeseran nilai lokal, demi mempertahankan budaya tersebut dengan campur tangan pemerintah untuk dapat membangun kembali nilai lokal tersebut dengan mengalih fungsikan lamin adat dari rumah tingal menjadi rumah pentas budaya

Dari pernyataan tersebut, selaku ilmuwan, Pergitawati mengakui bagaimana peran pemerintah dalam upaya pelestarian nilai lokal bagi masyarakat adat Dayak Kenyah yang ada di Pampang. Hal ini tentunya bertalian dengan fungsi pelestarian budaya yang diperankan oleh pemerintah yang berintegrasi dengan masyarakat di Pampang itu sendiri. Pada mula lamin ini berdiri bisa jadi demikian, namun seiring berjalannya waktu, fungsi ekonomi semakin dominan, mengingat tempat ini dijadikan tempat dan aktivitas berkesenian sebagai objek wisata.

Pembahasan 

Tidak dapat dipungkiri, peran pemerintah menjadi faktor determinan dari keberadaan Lamin Pemung Tawai di Desa Budaya Pampang. Dari situlah pergeseran dari lamin pada kebudayaan awal masyarakat Dayak Kenyah sebagai tempat tinggal menjadi tempat berkesenian. Sampai akhirnya setelah dijadikan obyek wisata, lamin berubah fungsi menjadi tempat pementasan untuk pertunjukan seni tradisi Dayak Kenyah di Pampang. Terutama untuk pertunjukan tari yang diiring oleh musik sape.

Dengan pergeseran dari tempat tinggal bersama ke tempat berkesenian, lalu menjadi objek wisata pertunjukan kesenian, maka saat ini lamin di Desa Budaya Pampang bisa dikatakan telah mengalami pergeseran fungsi. Dari dulunya sebagai tempat tinggal, lalu untuk berekspresi seni, sekarang menjadi tempat yang bisa menghasilkan uang atau dalam hal ini menjadi sebuah aktivitas ekonomi, setidaknya setiap hari Minggu. Di masa pementasan pun, lamin kadang juga digunakan untuk menjual sayuran dan ikan oleh masyarakat Dayak Kenyah setempat.

Dalam pandangan C.A. Van Peursen dalam karyanya Strategi Kebudayaan, tindakan pemerintah bersama masyarakat Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang bisa dikategorikan sebagai strategi budaya pada fase kebudayaan fungsional. Terutama sekali yang berkaitan dengan fungsi pelestarian nilai dan produk budaya yang telah turun temurun di masyarakat Dayak Kenyah. Fase fungsional merupakan fase setelah fase mistis dan fase ontologis dimana pada fase fungsional ini, manusia dan kebudayaannya berelasi dalam sebuah motif kepentingan fungsional. Dalam artian, manusia menggunakan dan menerima dunianya (kebudayaan) jika memiliki arti penting, dan juga manfaat bagi dirinya.

 Akan tetapi, van Peursen juga mengingatkan bahwa manusia harus menghindari apa yang dinamakannya “operasionalisme” pada fase fungsional. Fungsi pelestarian budaya, khususnya kesenian, pada lamin harus dicegah menjadi operasionalisme semata, terutama ketika menjadi objek wisata yang telah bersentuhan dengan fungsi lain, yakni fungsi ekonomi. Operasionalisme ekonomi terlihat pada gejala pemungutan karcis berfoto terhadap penari dan orang tua bertelinga panjang, termasuk beberapa toko souvenir yang ada di dekat halaman parkir yang terletak di depan lamin. Meski ini juga dapat dilihat sebagai pergeseran fungsi, namun upaya negosiasi kebudayaan juga nampak disini. Setidaknya menghadapi modernisasi dan globalisasi informasi dan kebutuhan ekonomi itu sendiri.

  Dengan demikian Lamin Pemung Tawai yang terdapat di Desa Budaya Pampang, Samarinda ini mengalami konsekuensi pergeseran fase kebudayaan ke arah fungsional sebagaimana pandangan Van Peursen dalam teorinya mengenai fase kebudayaan di atas. Gejala operasionalisme fungsi lamin juga kelihatan dari bergesernya fungsi pelestarian budaya berupa seni pertunjukan tari dan musik menjadi fungsi ekonomi akibat status sebagai desa budaya dan objek wisata. Dari perubahan status oleh pemerintah tersebut, Lamin Adat Pemung Tawai berikut aktivitas kesenian masyarakat Dayak Kenyah di dalamnya pada setiap hari Minggu kini menjadi objek yang ‘dipandang’ dan ‘dipajang’ oleh pihak di luar dirinya. Dipandang dalam artian, orang di luar Pampang berdatangan untuk menyaksikan pementasan tari dan musik disana sebagai sebuah wujud budaya. Sedangkan ‘dipajang’ dalam artian, lamin dan aktivitas berkesenian di dalamnya pada setiap hari Minggu tersebut menjadi bahan promosi pemerintah dan pelaku wisata untuk menggaet para wisatawan agar berkunjung ke Pampang.

Kesimpulan dan Saran

Lamin Pemung Tawai yang ada di Desa Budaya Pampang, Samarinda telah mengalami perubahan atau pergeseran fungsi dari lamin yang dulunya rumah tempat tinggal komunal masyarakat Dayak menjadi tempat wisata seni pertunjukan tari dan musik. Migrasi dan modernisasi merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Lamin adat (rumah panjang) di Apokayan bisa jadi seperti lamin masyarakat Dayak secara umum, yakni berfungsi sebagai tempat tinggal bersama oleh puluhan atau bahkan ratusan kepala keluarga. Namun, sejak masyarakat Dayak Kenyah bermigrasi ke Pampang, Samarinda, lalu berjumpa dengan kehidupan modern yang cenderung individualis, masyarakat Dayak Kenyah di Pampang inipun mengalami perubahan orientasi dalam berkebudayaan, khususnya dalam menata tempat tinggal, cara hidup dan juga dalam berkesenian. Termasuk perubahan dalam bentuk lamin dan peruntukan ruang-ruang di Lamin Pemung Tawai sekalipun.

Sejak didirikan, Lamin Pemung Tawai memang tidak diperuntukkan sebagai tempat tinggal, namun diperuntukkan oleh pemerintah untuk kegiatan berkesenian pada tahun 1991 sampai 1995. Selama empat tahun tersebut, aktivitas di Lamin Pemung Tawai berupa aktivitas berkesenian, namun belum disaksikan oleh pihak luar komunitas masyarakat Dayak Kenyah di Pampang itu sendiri. Barulah pada tahun 1995, aktivitas kesenian di Lamin Pemung Tawai ditetapkan oleh pemerintah sebagai objek wisata hingga saat ini.

Aktivitas berkesenian ini, terutama sejak menjadi objek wisata menjadikan pola dan fungsi ruang berubah. Salah satunya adalah teras (pagen) yang dulunya berfungsi primer, yakni sebagai ruangan yang dianggap penting dan digunakan para pemimpin keluarga dalam memutuskan sebuah keputusan dalam kepemimpinan Suku Dayak Kenyah, menjadi tempat pertunjukan dan tempat para penonton (wisatawan) menyaksikan pertunjukan seni tari dan musik sampai sekarang ini di  Desa Budaya Pampang.

Lamin sebagai sebuah wujud budaya dalam bentuk rumah adat sepatutunya mendapatkan upaya pelestarian. Terutama di kalangan masyarakat Dayak Kenyah yang ada di Desa Budaya Pampang, Samarinda. Pemerintah Kota Samarinda dan Provinsi Kalimantan Timur sepatutnya pula menjaga dan melestarikan produk budaya seperti lamin yang merupakan kekayaan budaya ini. Tidak hanya sebagai objek wisata, namun sebagai wadah pembudayaan dan pendidikan nilai budaya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Dahri, Hanum, Irma Surayya. 2016. “Perubahan Bentuk dan Fungsi Lamin Di Desa Budaya Pampang”. Laporan Penelitian. Samarinda: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman.

Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Lumholtz, Carl. 1920.  Through Central Borneo Volume I, An Account of Two Years Travel in the Land of The Head – Hunters Between the Years 1913-1917. New York: Charles Scribner’s Son.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.

Pergitawati, Ririn Prasetya, Antariksa, Ridjal, Abraham Muhammad. 2014. “Perubahan Pola Ruang Dalam Rumah Lamin Adat Dayak Kenyah Akibat Pengaruh Modernisasi Di Desa Pampang, Samarinda” dalam Arsitektur e-Journal, Volume 7 No.2.

Putra, Ami Suswandi. 2013. “Pola Kemitraan Pariwisata Dalam Manajemen Atraksi Desa Wisata Pampang Kota Samarinda” dalam Jurnal Nasional Pariwisata. Vol. 5.

Tirtosudarmo, Riwanto. 1997. “Economic Development, Migration, and Ethnic Conflict in Indonesia: A Preliminary Observation” dalam Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol.12.

Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia. Jakarta: YOI & LIPI Press.

Van Peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.