Kilas Balik Kedatang dan Hegemoni Belanda di Bumi Kalimantan

0
6413
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Houtvlot_met_verblijfplaats_voor_de_bemanning_op_de_Barito-rivier_TMnr_60018691.jpg ‎

Semangat menjelajahi dunia luar dan kemajuan teknologi pelayaran Bansa Barat yang berkembang sekitar abad 18 Masehi membawa pulau Kalimantan lebih dikenal. Motivasi memasuki Pulau Kalimantan ada yang didorong oleh faktor ekonomi atau berdagang untuk mendapatkan bahan-bahan kebutuhan yang lebih murah. Ada pula yang didasarkan atas semangat menyiarkan Agama Kristen di sisi lain. Dunia ilmu pengetahuan memacu pula Bangsa Barat untuk mengenal kondisi dan situasi daerah atau pulau lain termasuk Kalimantan.

Kilas balik kedatangan dan hegemoni Belanda di bumi Kalimantan mula-mula ditandai dengan dibangunnya Benteng Tatas (Ford Van Tatas) di Kota Banjarmasin, pada tahun 1663. lokasi peninggalan Betang Tatas tersebut saat ini sudah tidak dapat dikenali lagi karena bekas lokasinya telah berdiri megah Masjid Sabilal Muktadiin. Belanda kemudian meluaskan pengaruhnya dengan berupaya memonopoli ekonomi Kerajaan Banjar. Sebagai tonggak sejarah penguasaan ekonomi tersebut, maka pada tahun 1789 Belanda membangun Benteng Tabanio yang secara administratif berada di Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jejak perang Banjar di Benteng Tabanio tinggal kenangan karena saat ini benteng sudah ratadengan tanah. Di sinilah Haji Buyasin dan kawan-kawan mengobrkan perjuangan bagi masyarakat Banjar untuk menentang penjajah.

Situs masa kolonial di Pengaron, Kabupaten Banjar menggambarkan pula betapa gigihnya perjuangan masyarakat Banjar yang dimotori oleh Pangeran Antasari untuk melawan kolonialisme Belanda. Saat ini peninggalan arkeologi berupa Benteng Oranje Nassau di Pengaron sudah tidak ada lagi, karena sisa-sisa materialnya rusak dimakan usia dan sudah tidak berbekas. Bata-bata diambil oleh, masyarakat karena ketidaktahuan. Sedangkan sisa-sisa eksploitasi penambangan batubara di Pengaron, Kalimantan Selatan masih dapat kita saksikan saat ini. Munurut catatan sejarah, operasional pertambangan Oranje Nassau diresmikan oleh Gubernur Jenderal Rochussen pada tanggal 28 September 1849, sebagai tonggak eksploitasi batubara pertama, sekaligus sebagai pemicu kemarahan rakyat Banjar sehingga di tahun 1859 terjadilah perang banjar.

Sisa peninggalan peristiwa perang Barito dapat dirunut hingga di Muara Teweh pada penelitian tahun 2009 yang diperoleh data mengenai peninggalan tangsi militer yang terdapat disekitar Polres Barito Utara atau di bukit bendera di Desa Jambu mengindikasikan penetrasi awal pendirian benteng oleh imperialisme Belanda. Adapun awal abad 19 Belanda menancapkan hegemoni kekuasaan dengan membangun markas militer di Bukit Purukcahu yang saat ini difungsikan menjadi markas batalion Kompi Senapan C. Di Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya mempunyai riwayat perjuanan yang dibuktikan dengan keberadaan makam pejuangnya.