Candi Negeri Baru merupakan satu-satunya struktur bangunan dari masa perkembangan budaya Hindu-Buddha yang telah ditemukan di wilayah ini. Lokasi candi berada di Desa Negeri Baru, Kecamatan Banua Kayong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Tinggalan dengan karakter budaya yang sama lainnya hanya ditemukan dalam bentuk artefaktual. Salah satu bentuk tinggalan budaya tersebut adalah lingga dari batu yang ditemukan di Hulu Sungai Pawan. Pada sisi-sisi bagian Brahma Bhaga lingga terdapat relief yang kemungkinan inskripsi. Pada wilayah lain di Kalimantan bagian Barat Daya–khususnya di Pulau Maya–ditemukan pula relief stupa Buddha pada sebongkah batu dan fragmen arca. Kendati demikian, fragmen arca tersebut sudah hilang akibat penjarahan barang antik oleh penduduk sekitar.
Penelitian arkeologi di Situs Candi Negeri Baru telah dilakukan beberapa tahap. Penelitian pertama dilakukan tahun 1994 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hasil dari penelitian ini berupa keragaman data di daerah Benua Lama yang terdiri atas makam Islam dengan tahun çaka, sebaran fragmen keramik, dan bata. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin pada tahun 2007. Pada penelitian kali ini dilakukan tes pit di sekitar konsentrasi batu bata di Desa Negeri Baru. Penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan berkembangnya karakter budaya Hinddu-Buddha di wilayah tersebut. Ekskavasi yang lebih intensif di sekitar konsentrasi bata dilakukan pada tahun 2010-2011. Berdasarkan hasil ekskavasi diketahui bahwa terdapat struktur bata yang diindikasi sebagai bangunan keagamaan (Atmojo, 2014: 64).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya masih bersifat eksplorasi dan deskriptif. Hasil dalam penelitian-penelitian tersebut belum menunjukkan adanya kerangka kesejarahan yang jelas. Hal ini pula yang menjadi tujuan daripada penulisan artikel ini untuk menjelaskan kesejarahan dari Situs Candi Negeri Baru. Sumber data dalam penulisan ini diperoleh dari pustaka-pustaka yang menjelaskan keberadaan Situs Candi Negeri Baru dan sejarah kawasan Kaliantan bagian Barat Daya.
Kerangka analisis menggunakan pendekatan sejarah yang melibatkan unsur-unsur sejarah baik intrinsik maupun ekstrinsik (Ratna, 2010: 362-363). Kendati demikian, penulisan ini hanya menekankan unsur intrinsik dengan memahami isi teks sumber sejarah. Pendekatan kesejarahan ini akan mengedepankan sejarah kawasan khususnya Kalimantan bagian Barat Daya. Selain itu, implikasi kesejarahan sejarah Tanjungpura akan menjadi acuan dalam analisis.
Tanjungpura disebut dalam beberapa karya tekstual antara lain Negarakrtagama, prasasti Waringin Pitu, catatan Tomè Pires dalam Suma Oriental. Karya tekstual tersebut mempunyai kronologi yang beragam. Negarakrtagama ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Prasasti Waringin Pitu atau sering disebut pula dengan Sorodokan dikeluarkan pada tahun 1474 M. Catatan Tomè Pires dalam Suma Oriental ditulis lebih belakangan pada tahun 1512-1515 M (Cortesao, 2015: xix). Sedangkan, Pararaton yang menceritakan silsilah raja-raja mulai dari Singosari hingga Majapahit telah disalin beberapa kali. Salah satu korpus naskah Pararaton yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI menyebutkan tahun penyalinan 1600 M dan 1613 M (Kriswanto, 2009: 3-5).
Dalam tradisi tekstual Majapahit, Negarakrtagama atau kekawin Desa Warnana menjadi rujukan para sejarawan untuk memahami peristiwa sejarah pada abad ke-14 M. Naskah ini merceritakan tentang kondisi Kerajaan Majapahit pada era pemerintahan Hayam Wuruk. Selain bercerita tentang perjalanan Hayam Wuruk ke beberapa daerah di kawasan timur Pulau Jawa, Prapanca juga memberikan gambaran tentang daerah vasal dari Majapahit. Disebutkan dalam wirama 14 sebagai berikut.
Kadhangdhangani landha len ri samedhang tirem tan kasah ri sedhu buruneng ri kalka saludhung ri solot pasir, baritwi sawaku muwah ri tabalung tanjung kute, lawan ri malano maka pramuka tang ri tanjung puri.
Terjemahan:
Kadangdangan, Landa, Samedang, dan Tirem tak terlupakan Sedu Bruneng (Brunai) Kalka, Saludung, Solot, dan Pasir, Barito, Sawaku, serta Tabalung, dan Tanjung Kutai, serta Malano yang terkemuka di Tanjungpura (Riana, 2009: 98).
Beberapa pengkaji teks Negerakrtagama ini membaca Tanjung Puri sebagai Tanjungpura. Penyebutan Tanjungpuri dalam teks tersebut di atas tampaknya perlu kecermatan dalam analisis. Penamaan Tanjungpuri berbeda dengan Tanjungpura begitu pula dengan Tanjungnegara, meskipun maknanya hampir sama. Kendati demikian, tempat yang disebutkan dalam teks tersebut oleh beberapa ahli sejarah ditempatkan di Pulau Kalimantan (Cf. Djafar, 2009: 161). Pada uraian berikutnya, cukup jelas gambaran keletakkan Tanjungpura yang disampaikan Tomè Pires. Dalam catatan kaki untuk analisis, Armando Cortesao yang mendasarkan pada peta tahun 1540, 1554, dan terakhir peta dari Berthelot tahun 1635, semua menempatkan Tanjungpura di pantai selatan Borneo (Cortesao, 2015: 308).
Penyebutan “Tanjungpura” dalam catatan Tome Pires seperti yang sudah disusun ulang oleh Armando Cortesao setidaknya sampai 11 kali penyebutan. Masing-masing penyebutan dikaitkan dengan hubungan kerajaan ini dengan kerajaan lainnya maupun kesejarahan dan sumber daya dari Kerajaan Tanjungpura. Salah satu sub bab telah dipaparkan oleh Armando Cortesao seorang ahli geografi tentang Tanjungpura.
“Pulau” Tanjungpura merupakan sebuah “pulau” yang bisa dicapai melalui Malaka dalam waktu lima belas hari pada waktu musim hujan. Orang-orang menuju tempat ini melalui terusan Singapura, Menuju (terusan) Kampar; kemudian melalui jalur di dekat Lingga yang terletak di antara Kepulauan Lingga dan Monoby. Penduduk pulai ini beragama pagan, dan nyaris seluruhnya merupakan wilayah taklukkan Pate Unus, penguasa Jepara. Pulau ini memiliki seorang gubernur pate yang juga merupakan penguasa pulau tersebut. Pulau ini luasnya 15 league. Di sini terdapat banyak emas, beras, dan bahan-bahan makanan lain, berlian, jung pangajava, dan banyak penduduk (Cortesao, 2015: 308-309).
Kondisi sosial-politik di Majapahit termasuk Tajung Pura telah disinggung dalam prasasti Waringin Pitu. Prasasti ini dikeluarkan oleh Wijayaparakramawardhana dengan menerangkan penetapan daerah Waringin Pitu sebagai perdikan dharma yang bernama Rajakusumapura. Selain itu, dalam prasasti ini juga dijelaskan kondisi politik dan susunan pemerintahan di Majapahit pada masa Raja Wijayaparakramawardhana. Disebutkan pula bahwa wilayah Tanjungpura dipimpin oleh seorang yang bernama Dyah Suragharini (Djafar, 2009: 9-11 dan 161).
Selaras dengan teks prasasti Waringin Pitu, Pararaton juga menerangkan tentang Tanjungpura. Dalam Pararaton termaktub Sumpah Palapa dari Gajah Mada;
Tan ayun amuktiha phalapa sira Gajah Mada. Lamun uwus kalah nusantara ingsun amuktiyalapa. Lamun alah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Aru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sundha, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.
Terjemahan:
Gajah Mada tidak hendak menikmati kesenangan. “Jika sudah kalah nusantara, aku akan menikmati kesenangan. Jika sudah kalah Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, setelah itu aku akan menikmati kesenangan.” (Kriswanto, 2009: 106-107).
Teks Pararaton juga menerangkan silsilah dari penguasa Tanjungpura yang dimulai dari Tumapel. Berikut uraian dari teks Pararaton.
Bhre Tumapel aputra jalu nejneng ing Wengker, angambil I Bhre Matahun. Aputra manih Bhre Paguhan. Putra lan rabi anom, Bhre Jagaraga kambil denira Bhra Prameswara, tan aputra.
Manih Bhre Tanjungpura kalap denira Bhre Paguhan, tan aputra. Manih Bhre Pajang kalap denira Bre Pajang kalap denira Bhre Paguhan kalap dho tan aputra.
Terjemahan:
Bre Tumapel mempunyai putra laki-laki, bertakhta di Wengker, dan menikahi Bre Metahun; berputra lagi Bre Peguhan; berputra dengan istri muda, yaitu Bre Jagaraga, yang dinikahi oleh Prameswara, tidak mempunyai putra;
Berputra lagi Bre Tanjungpura, yang dinikahi oleh Bre Paguhan, tidak mempunyai putra; berputra lagi Bre Pajang yang dinikahi oleh Bre Paguhan sebagai istri kedua, tidak mempunyai putra (Kriswanto, 2009: 112-113).
Keberadaan Kerajaan Tanjungpura kemungkinan sudah ada sebelum Negarakrtagama ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M. Apablia kerajaan ini belum ada maka kemungkinan Prapanca tidak akan menyebutkannya sebagai vasal dari Majapahit. Bahkan, Gajah Mada juga tidak akan menyebutkan dalam Sumpah Palapa. Sekarang ini, Tanjungpura masih digunakan untuk menyebut nama tempat di daerah hulu Sungai Pawan. Dalam sejarah lokal masyarakat setempat menyebutkan bahwa daerah tersebut merupakan bekas dari pusat pemerintahan. Artefak arkeologi juga ditemukan di daerah ini, terutama dalam bentuk nisan-nisan dalam komplek makam raja. Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa kesejarahan dari Tanjungpura tidak berhenti setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Perubahan budaya yang cukup besar pada akhir abad XV M turut mempengaruhi sistem budaya masyarakat di Tanjungpura.
Sumber :Dikutip dari Imam Hindarto artikel Tinjauan Kesejarahan Situs Candi Negeri Baru, dalam Buletin Kundungga Volume 6 Tahun 2017.