Management atau Mana Semen? Frase itu kemudian muncul dalam penyampaian Pindi Setiawan, dosen komunikasi visual Fakultas Seni Rupa ITB yang sejak 1997 sudah keluar masuk Karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Sudah lama berlangsung, upaya peneliti hingga badan pelestarian lingkungan mempertahankan kawasan karst sebagai potensi objek pariwisata harus berhadapan dengan hitung-hitungan kalkulator investor pabrik semen.
Perusahaan tambang memang terbukti menambah penghasilan daerah dari pajak dan retribusi. Kemudian menyerap tenaga kerja lokal dan menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar dengan program sosial atau CSR.
Masalahnya, kata Pindi, tambang ekstraktif seperti semen dipastikan menggerus karst. Memutus fungsi serapan air dan penyerap karbon terbaik di atas permukaan bumi.
Untuk Karst Sangkulirang-Mangkalihat, ada harga tak tergantikan yang kata Pindi,”sama sekali tidak bisa diganggu di bagian inti dan pesisir karena menjadi sumber air yang baik. Menjadi sumber air bagi lima sungai di Kabupaten Kutim dan Berau.”
“Masalahnya lagi, karst sama sekali tidak bisa dipulihkan,” lanjutnya.
Ia menyebutkan, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah disepakati kebijakan pengelolaan karst untuk produksi semen.
Konsesi semen mencapai 10 miliar ton, dengan kebutuhan nasional sebesar satu miliar ton per tahun. Dibatasi pula hak perusahaan semen untuk melakukan penambangan seluas 500-1000 hektare saja.
“Sudah dibatasi saja, masih banyak pengusaha yang mengantre untuk masuk. Jangan jauh-jauh, ada anak pejabat daerah yang sudah minta, minta lagi,” kata pria yang juga menjabat Ketua Dewan ISS itu.
Bentangan Karst Sangkulirang-Mangkalihat mencapai 1,86 juta hektare, yang termasuk dalam ekosistem inti dan penunjang.
Dari keseluruhan jumlah itu, 307.330 hektare merupakan kawasan yang dilindungi setelah masuk dalam Perda RTRW Kaltim 2015-2035 yang telah disahkan 29 Desember 2015 lalu.
Dari data BLH Kaltim, sudah ada 19 ijin usaha pertambangan, semen dan perkebunan yang areal konsesinya menyinggung kawasan karst terlindungi. Bahkan, ada areal konsesinya mencapai 100 persen di dalam kawasan karst.
Di Kecamatan Bengalon misalnya, dari 1.071 ha areal konsesi PT Bengalon Limestone sebanyak 872,39 ha yang berada di kawasan karst. Sisanya tidak menyinggung apapun atau di luar kawasan yang dilindungi.
Adapun PT Bengalon Persada Mineral dengan ijin konsesi 8.875 ha, namun sebanyak 8.447 ha berada di kawasan karst dan 175 ha di batuan gamping.
Plt Sekretaris Provinsi Rusmadi mengatakan, belasan ijin usaha pertambangan (IUP) itu sudah terbit duluan melalui Pemkab Kutim dan Berau, sebelum Undang-Undang No. 23 tahun 2014 diberlakukan.
“Aspek kehati-hatian sangat diperlukan. Sejak wewenang ijin tambah berpindah ke provinsi, kami perlu menginventarisir ijin tambang kembali. Setelah Perda RTRW disepakati, ijin perusahaan yang masuk dalam kawasan lindung akan dipangkas,” katanya.
Kembali pada potensi wisata karst berbasis pelestarian. Untuk membuktikan betapa ‘basah’ kawasan karst dibanding pemanfaatan ekstraktif seperti semen, Cahyo dan Pindi sepakat perlu kerjasama berbagai elemen baik pemerintah daerah, komunitas dan mahasiswa hingga masyarakat.
“Mungkin sebutannya, evaluasi nilai uang pemanfaatan karst sebagai sektor pariwisata,” tandas Cahyo meneruskan pandangan karst sebagai aset daerah di mata ilmu ekonomi.