Pembahasan kesejarahan dari Situs Candi Negeri Baru tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kawasan Barat Daya Kalimantan. Kesejarahan kawasan ini oleh beberapa pakar sejarah dihubungkan dengan keberadaan Kerajaan Tanjungpura. Bahkan, masyarakat di sekitar Situs Candi Negeri Baru masih mempercayai adanya hubungan antara daerah ini dengan Majapahit. Dalam pandangan masyarakat tersebut berkembang mitologi tentang tokoh Prabu Jaya. Konon, tokoh ini berasal dari Kerajaan Majapahit yang mendirikan kerajaan di muara Sungai Pawan tepatnya di daerah Kandang Kerbau. Mitos keberadaan Prabu Jaya erat kaitannya dengan cikal bakal Kerajaan Tanjungpura (Lontaan, 1975: 78-83).
Data arkeologi yang mengkaitkan wilayah ini dengan Majapahit adalah adanya temuan batu nisan dengan inskripsi Jawa Kuno dan bertahun çaka. Batu nisan tersebut bertipe Demak-Toloyo dan ditemukan di Kompleks Makam Keramat Tujuh dan Sembilan. Keletakkan dari kedua kompleks makan tersebut mengapit situs Candi Negeri Baru. Kompleks Makam Keramat Tujuh berada di hulu Sungai Pawan dan di bagian hilir terdapat Kompleks Makam Keramat Sembilan. Pembacaan inskripsi pada nisan tersebut berupa angka tahun 1441 M dan 1428 M. Baik kronologi maupun gaya dari batu nisan yang ditemukan di kedua komplek makam tersebut juga memperkuat dugaan keterkaitan antara daerah Negeri Baru dan sekitarnya dengan keberadaan Kerajaan Tanjungpura yang merupakan vasal dari Majapahit (Cf Atmojo, 2013: 111-113).
Tanjungpura sebagai vasal dari Majapahit sedikit banyak akan mempunyai kesamaan dalam tradisi budaya yang berkembang di Majapahit. Hal ini diperkuat lagi dalam hubungannya dengan garis keturunan antara raja Tanjungpura dengan raja-raja Singosari maupun Majapahit. Salah satu bentuk tradisi budaya yang berpengaruh besar adalah dalam aspek sosial-politik maupun keagamaan. Kedua aspek tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Hindu-Buddha.
Secara umum, data sejarah yang menerangkan hubungan kedua kerajaan tersebut sangat kurang. Terutama dalam penggambaran kondisi sosial-politik dan keagamaan. Kendati demikian, penemuan struktur candi di Desa Negeri Baru dapat mengarahkan pemahaman pada hal tersebut. Pada masa Singosari dan Majapahit, bangunan candi erat kaitannya dengan tempat pedharmaan atau ‘pemuliaan’ tokoh yang telah meninggal. Disebutkan dalam Pararaton beberapa raja yang telah meninggal didharmakan di sebuah tempat. Di tempat itu pula akan didirikan bangunan candi sebagi tempat pedharmaan atau pemuliaan bagi raja yang meninggal, seperti Candi Tegawangi sebagai tempat pedharmaan Bhre Matahun (Kriswanto, 2009 : 114-122 ; Munandar, 2011 :138-139).
Apabila merujuk pada tradisi budaya yang berkembang pada masa Majapahit maka terdapat kemungkinan Candi Negeri Baru berfungsi sebagai tempat pedharmaan seorang tokoh. Namun, sampai hari ini belum didapatkan keterangan tekstual yang dapat meceritakan hal tersebut. Terkait dengan tokoh yang didharmakan terdapat kemungkinan raja yang pernah memerintah di Tanjungpura. Berdasarkan uraian Pararaton bahwa yang memerintah di Tanjungpura adalah Bhre Tanjungpura atau Dyah Suragharini. Disebutkan pula bahwa raja ini tidak mempunyai anak. Sehingga, memunculkan permasalahan siapa yang melakukan upacara sraddha dan mendirikan candi tersebut. Dapat pula diasumsikan bahwa candi tersebut dibangun oleh Bhre Tanjungpura untuk memuliakan ayahnya yang bernama Bhre Tumapel atau Wijayaparakramawarddhana. Permasalahan-permasalahan tersebut masih berpeluang untuk dilakukan analisis dan interpretasi. Data baru dan kecermatan analisis sangat diperlukan untuk mendukung interpretasi tentang kesejarahan dari Situs Candi Negeri Baru.
Sumber :Dikutip dari Imam Hindarto artikel Tinjauan Kesejarahan Situs Candi Negeri Baru, dalam Buletin Kundungga Volume 6 Tahun 2017.