Kedudukan Hindia Belanda 1800 -1900 di Samarinda

0
2431
Suasana hilir mudik di Sungai Mahakam tahun 1900, sumber: https://histoyofsamarinda.wordpress.com/

Ketika VOC jatuh (1799), kekuasaan beralih ke tangan Gubernemen Hindia Belanda. Akan tetapi sampai tahun 1800 Gubernemen Belanda belum berhubungan langsung dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan Timur. Sampai pada zaman kekuassan Inggris di Indonesia tahun 1811-1816 pengaruh asing masih sampai ke daerah ini. Baru sesudah komisaris jenderal Belanda menerima penyerahan pemerintahan di Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1816 dari Inggris, Gubernemen Belanda memantapkan kekuasaannya ke seluruh Indonesia termasuk Kalimantan Timur (Nur, 1986:6).

Pada tahun 1825 Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Betawi (Jakarta) mengirim utusannya George Muller untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan Sultan Salehuddin dari Kerajaan Kutai Kertanegara di Tenggarong. Setelah berhasil, ia bermaksud pula mengadakan perjalanan dari Samarinda ke Pontianak lewat Sungai Mahakam dan Sungai Kapuas. Akan tetapi di tengah perjalanan dia terbunuh dekat Sungai Marakaman. Seorang petualang dan penyelidik berkebangsaan Inggris bernama John Dalton melakukan perjalanan keliling Kutai, melaporkan bahwa Salehuddin terlibat dalam pembunuhan George Muller itu. Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak dapat melakukan pembalasan karena pada saat yang sama, Belanda menghadapi perang di Ponorogo, Jawa Tengah, dan perlawanan Imam Bonjol di Sumatra Barat (Sjahbandi, 1996:21).

Pada tahun 1844 suatu ekspedisi Inggris terdiri dua buah kapal, Young Queen dengan Kapitan Hart dan kapal perusak Anna dengan Kapitan Lewis. Ekspedisi yang dipimpin oleh James Erskine Murray itu mencoba menanam pengaruhnya di Kerajaan Kutai. Dengan perantaraan juru bicaranya seorang Benggala, ia mengumumkan kepada penduduk Samarinda dengan menyebut dirinya sebagai “Tuwan Besar Raja Maris”. Dengan tidak menunggu izin Sultan Kutai ia berlayar dengan dua kepalanya untuk ke Tenggarong untuk meminta tanah di Kota Tenggarong. Di atas tanah itu ia bermaksud mendirikan kantor dan monopoli perdagangan. Sultan Salehuddin mengizinkannya mendirikan perwakilan dagang di Samarinda dengan alasan bahwa itu memang disiapkan sebagai kota dagang. Selanjutnya Murray memaksakan kehendaknya dengan mengirim surat yang isinya pertama agar permintaannya dituruti dan kedua mengizinkannya berlayar ke pendalaman dengan jaminan Sultan harus mengirim Pangeran Mangkubumi, Sultan Muda, Pangeran Dipati dan Uwa Nyamojang ke kapal disertai ancaman apabila dalam tempo setengah jam sultan tidak mengirimkan keempat orang itu, Murray akan mengambil cara lain (Nur, 1986:8).

Setelah ancaman tersebut tidak diindahkan oleh sultan, kemudian Keraton Kesultan ditembak dengan meriam. Karena tindakan Murray itu terjadilah pertempuran, yang mengakibatkan pemimpin ekspedisi Inggris itu dengan beberapa orang anak buahnya tewas ditempat. Sisa-sisa dari anak buahnya melarikan diri ke Makassar dengan sekoci kapal belgi yang kandas, namun disangka kapal Murray oleh prajurit Kutai yang mengejarnya sampai ke Muara. Begitu marahnya pihak kerajaan sehingga mereka merampas seluruh isi kapal tersebut. Setelah menerima berita peristiwa J.E. Murray, Pemerintah Inggris merencanakan mengirimkan angkatan laut untuk menyerang Kutai. Pemerintah Belanda memprotes rencana Inggris itu, karena berdasarkan Konvensi London 1814 Kalimantan Timur termasuk wilayah Gubernemen Belanda. Pemerintah Belanda berjanji akan menyelesaikan kasus Murray. Gubernemen Belanda segera memerintahkan angkatan lautnya yang ada di Makassar menuju ke Kutai. Armadanya terdiri atas S’Kuner Egmond, Zephijr, Janus dan kapal penghancur Arend yang dipimpin oleh Letnan (laut) I Letnan T Hooft. Kekuatan angkatan laut Belanda selain kapal perang juga diperlengkapi dengan tiga buah berkas kruisboot nomor 18 dan 74 serdadu angkatan laut,  serta 140 orang serdadu angkatan darat. Pada tanggal 29 Maret 1844 Letnan T Hooft tiba di Tjirotto, suatu tempat di hilir Samarinda. Daeng Soette de Gelarang (Puang Ado) dan Daeng Matola datang menemui Letnan T Hooft dan diminta agar tetap bersama dalam satu kapal menuju Samarinda, sedang yang lain lebih dahulu berangkat (Nur, 1986:9).

Tanggal 1 April 1844 angkatan laut Belanda berlabuh satu mil di hilir Samarinda. Letnan T Hooft meminta supaya sultan datang menemuinya di Samarinda. Karena Sultan Salehuddin tidak bersedia memenuhi permintaan T Hooft, maka angkatan laut Belanda itu berangkat ke Tenggarong. Pada tanggal 6 April 1844 mereka tiba di Tenggarong, tetapi istana telah dikosongkan. Sultan dengan keluarga dan para pembesar telah mengungsi ke Kota Bangun. Letnan T Hooft mengirim utusan untuk memeriksa keadaan kota. Keesokan harinya pukul 05.30 diperintahkannya kepada Letnan (laut) I Cijver komandan Z.M. Schoener Zephijr membakar Kota Tenggarong. Pukul 17.00 lebih kurang 500 sampai 600 rumah dan sebuah masjid yang indah hangus terbakar. Angkatan laut Belanda kemudian kembali ke Samarinda. Gelarang Puag Ado segera menemui T Hooft di kapal, Ia dan anak buahnya dituduh oleh T Hooft bersekongkol dengan prajurit Kutai membajak dan merampok barang-barang kapal Belgi De Charles. Meskipun Puag Ado menyangkal dengan keras, tetapi T Hooft tetap dengan keputusannya. Puag Ado dan anak buahnya dihukum; pertama  harus mengembalikan semua barang-barang kapal De Charles yang dirampas anak buah Puag Ado,  kedua harus membayar denda sebanyak 60.000 real mata uang perak dalam tempo 24 jam. Dua hari kemudian, yakni pada 10 April 1844, Puag Ado datang menemui Letnan T Hooft dengan membawa uang denda 4000 rupiah. Letnant T Hooft bersedia menerimanya dengan syarat sisanya harus dibayar dalam tempo lima tahun dan sebagai jaminannya ia minta tiga orang sandera keluarga Puag Ado. Pada tanggal 11 April 1844 Pua Ado terpaksa membawa menantunya Haji Baran Achmad dan Lacu Puag Bassih sepupunya sebagai jaminan. Sesudah menerima jaminan itu T Hooft dengan angkatan lautnya berangkat meninggalkan Samarinda. Tanggal 21 April 1844 mereka tiba di Makassar (Nur, 1986:11).

Lima bulan kemudian, yakni pada tanggal 26 September 1844, A.L. Weddik komisaris gubernemen untuk Pulau Kalimantan, tiba di Samarinda dengan dua buah kapal perang. Permintaannya dipenuhi oleh Sultan Salehuddin, dan pada tanggal 11 Oktober 1844 diadakan suatu perjanjian antara Sultan Salehuddin dari Kerajaan Kutai Kertanegara dengan Arnoldus Laurens Weddik sebagai wakil Gubernemen Belanda yang isinya antara lain Kerajaan Kutai Kartanegara mengakui kedaulatan Gubernemen Belanda. Dengan ditandatangani kontrak tersebut berakhirlah kemerdekaan Kerajaan Kutai kertanegara sebagai kerajaan yang berdaulat. Sebagai kelanjuatan perjanjian itu Gubernemen Belanda menempatkan seorang pegawainya yang berpangkat asisten residen bernama Von De Wall di Pelarang (kurang lebih delapan mil dihilir Samarinda). Von de Wall menamakan Kota Samarendah dengan sebutan “Samarinda”. Lokasi Samarinda terletak di sebelah kanan Sungai Mahakam dengan jumlah penduduk sekitar 5000 jiwa. Penduduk yang mendiami Samarinda berasal dari suku yang berbeda di Indonesia seperti jawa, banjar, kutai, dayak, makassar dan juga bugis, persentasi terbanyak ditempati oleh Suku Bugis yang berasal dari daerah Wajo Sulawesi Selatan. Selain itu, disekitar Sungai Mahakam berdiam keluarga keturunan Cina dan Arab. Rumah kediaman para penduduk berbentuk panggung memakai tiang berjumlah kurang lebih 150 buah. Saat itu, terdapat kurang lebih 200 buah rumah sakit di tepi Sungai Mahakam. Di seberang kota di sebelah kiri Sungai Mahakam terdapat barisan bukit-bukit yang tingginya sekitar 300 sampai 400 kaki. Tanah di belakang perkampungan dijadikan ladang padi. Mata pencarian selain di ladang meraka juga berdagang Kebanyakan penduduknya berdagang (Hasan, 1952).

Demikianlah tata Kota Samarinda menurut A.L. Weddik, gubernur Kalimantan, berdasarkan laporan Von de Wall asisten-residen Kalimantan Timur pada tahun 1846. Dari tulisan tersebut diketahui bagian kota yang ramai adalah Samarinda Seberang, sedangkan Samarinda Kota maasih berupa pemukiman para pedagang. Pada tahun 1879, Carl Bock mendapat tugas dari gubernemen mengadakan perjalanan dari Samarinda ke Banjarmasin. Dari hasil penelitiannya, beliau menulis keadaan Kota Samarinda sebagai berikut: 16 Juli 1879 kami tiba di Kutai dengan kapal laut dari Ujung Pandang (Makassar), dataran itu penuh dengan pohon-pohon nipah. Pada siang harinya kami menuju Sungai Mahakam yang merupakan muara sungai bercabang 17 dan membentuk delta. Dari beberapa nakoda saya mendapat informasi, bahwa pelayaran di Sungai Mahakam adalah pelayaran yang sulit jika dibandingkan dengan pelayaran tempat lain di Nusantara. Pada sore hari, kami tiba di Pelaran tempat kedudukan tuan Seitz, asisten residen Kalimantan Timur. Kota kecil itu letaknya 40 mil dari Sungai Mahakam. Sebuah sekoci memberi tahu ke kapal bahwa Tuan Seitz sedang bertugas ke Banjarmasin, karena itu mereka menuju ke Samarinda melalui jalur Sungai Mahakam. Samarinda adalah kota pelabuhan untuk Kerajaan Kutai. Kota itu kelihatan sangat miskin jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Nusantara yang pernah saya kunjungi demikian pula keadaan penduduknya. Penduduk kota berjumlah kurang lebih 10.000 orang, kebanyakan berasal dari Suku Bugis Sulawesi Selatan. Sebelah kanan Sungai (Samarinda Kota) berdiam ratusan pedagang Cina dan Suku Banjar.

Dari catatan Carl Bock tentang Kota Samarinda pada tahun 1879 bahwa orang-orang Eropa dan asisten residen masih berdiam di pelaran, dalapan mil di hilir Kota Samarinda. Walaupun menurut Kolonial Verslag asisten residen untuk Af-deeling kutai dan Pesisir Timur Laut Kalimantan berkedudukan di Samarinda, bahkan Asisten residen S.W. Tromp pada tahun 1885 masih berdiam di pelarang. Menurut A.L.Weddik pada tahun 1846 Samarinda mulai berkembang menjadi kota dagang, dimana saat itu pedagang Cina di Samarinda baru dua orang, kemudian pada tahun 1846 jumlah pedagang Cina mencapai ratusan orang. Carl Bock juga menyebutkan nama-nama komoditi impor dan ekspor yang dikirim melalui Pelabuhan Samarinda (Hasan 1952).

Pertumbuhan Samarinda sebagai kota dagang semakin bertambah maju Semakin ramainya perdagangan antar pulau, karena mulai tahun 1876 Kutai (Samarinda) dimasukkan dalam hubungan pelayaran KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij) yang mendapat subsidi dari pemerintah. Jalur pelayarannya adalah Makassar menuju Parepare kemudian Samarinda. Dengan adanya jalur atau jadwal pelayaran tetap ini, pedagang-pedagang dengan mudah dapat mengadakan serta mengatur perjanjian dengan koleganya di kota-kota lain. Pada tahun 1882 jalur pelayaran KPM diperluas, melalui Singapura-Surabaya-Bawean-Banjarmasi-Pulau Laut-Samarinda. Dengan dibukanya jalur pelayaran baru ini pemasaran barang-barang perdagangan dari Samarinda dan sekitarnya semakin bertambah ramai. Pedagang-pedagang Samarinda bukan saja berhubungan dagang dengan pedagang antar pulau, tetapi juga dengan luar negri seperti Singapura (Sjahbandi, 1996:24).

Pada tahun 1859 terjadi perang Banjar dimana Kerajaan banjar melawan Hindia Belanda yang berlangsung sampai dengan tahun 1905. Peristiwa meledaknya peperangan tersebut dan kekejaman serdadu Belanda, sehingga banyak pedagang dan rakyat biasa Suku Banjar dari Kalimantan Selatan berpindah ke Kalimantan Timur khusunya di Samarinda. Kebanyakan mereka bermukim di kampong-kampung antara sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam Besar. Di antara kampong-kampung Suku Banjar terkenal dangan nama “Kampung Hulu Banjar Sungai”. Dibukanya perusahaan bangsa Eropa yang bergerak di bidang pertambangan minyak dan batu bara. Jumlah perusahaan Eropa yang mendapat izin pencarian dan pertambangan mulai tahun 1896 sampai 1899 di Kalimantan Timur sebanyak 18 perusahaan,  kebanyakan beroperasi di daerah Kutai dan Balikpapan. Tenaga kerja umumnya berasal dari Pulau Jawa yang juga bermukim di Samarinda, sehingga terdapat kampung yang dinamakan Kampung Jawa. Suku-suku Bugis juga banyak yang bermukim di Samarinda Kota dan membuat kampung tersendiri dengan nama Kampung Bugis. Orang Cina yang jumlahnya sudah beratus-ratus orang itu membuat tempat pemukiman sendiri yang disebut khoy goan (letnan Cina) (Hasan 1952).

Dengan dibukanya perusahaan-perusahaan pertambangan bangsa Eropa, Samarinda Kota semakin ramai, banyak di antara mereka membuka kantor dan menetap di Kota Samarinda. Berdasarkan keadaan itu gubernemen atau gubernur mempertimbangkan akan lebih menguntungkan dan melancarkan roda pemerintahan apabila kedudukan asisten residen dipindahkan dari Pelarang ke Samarinda Kota dan bagian kota harus langsung berada di bawah pemerintahan gubernur. Dengan surat keputusan gubernur jenderal Hindia Belanda tanggal 16 Agustus 1896 nomor 7,  Kota Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Afdelling Kutai dan Pesisir Timur Laut Pulau Kalimantan dengan batas-batas, di sebelah utara, timur laut dan barat dengan suatu daratan yang terletak sejajar dengan Sungai Mahakam (berjarak 500 meter dari sungai tersebut), di sebelah timur dengan Sungai Karang Mumus,  di sebelah barat dengan Sungai Karang Asam Besar, dan di sebelah selatan dengan Sungai Mahakam. Daerah ini langsung berada di bawah pemerintahan Gubernemen atau Gubernur Belanda dengan nama vierkante paal, terlepas dari pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara,  kecuali Samarinda Seberang yang tetap berada di bawah pemerintahan Kesultanan Kutai (Hasan 1952).

Laporan: Pemutakhiran Data Cagar Budaya Kota Samarinda. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kaltim. 2020.