Faktor Kerusakan Pada Gambar Cadas

0
1466
Gambar gua yang terdapat di daerah Bone, Sulawesi Selatan (Foto: R. Cecep Eka Permana, 2014)

Adanya kerusakan dan bahkan kepunahan gambar gua prasejarah secara umum dapat digolongkan dalam dua sebab besar, yakni karena faktor alam dan faktor manusia.

Faktor Alam.

Mengacu pada definisi gambar gua prasejarah (rock art) sebagai lukisan, gambar, atau pahatan yang dibuat pada batu alamiah yang masih melekat pada batuan induknya, maka keberadaan tinggalan budaya itu ada pada batu alami.  Sebagai batu alami yang masih terikat dengan batuan induknya, gambar gua yang melekat pada batuan tersebut rentan rusak bila medianya mendapat gangguan.

Menurut kajian yang dilakukan oleh Robert Bednarik (2003) tentang konservasi rock art, bahwa gangguan pada batuan sebagai akibat proses alami umumnya berupa pelapukan.  Pelapukan pada batuan itu sendiri biasanya disebabkan karena kelembaban akibat dari rembesan air secara kapilaritas dalam batuan atau hidrologis menembus struktur  batuan pembentuk gua. Curah hujan yang tinggi atau aliran air akibat gravitasi air meresap hingga menembus dan membasahi permukaan batuan bergambar. Air yang bergerak di dalam batu itu, baik secara gravitasi maupun kapiler membawa zat terlarut berupa garam kation, klorida, dan karbonat. Zat-zat garam tersebut  akan mengalami pengendapan pada zona tertentu. Di zona pengendapan garam (disebut subflorescence)  akan mengembang beberapa milimeter di bawah dan sejajar dengan permukaan batuan dan kemudian mengering. Proses itu akan terjadi berulang-ulang sehingga membentuk lapisan “drummy”, kemudian terangkat dan akhirnya mengelupas (Bednarik, 2003). Proses pelapukan batuan seperti semakin cepat terjadi pada daerah yang biasa terkena hujan langsung. Oleh karena itu, pada situs-situs terbuka atau gua payung (rockshelter) sering ditemukan gambar-gambar gua yang rusak.

Selain kelembaban atau banyak air, pelapukan batuan yang menyebabkan rusaknya gambar gua adalah pengesan.Suhu yang dapat mencapai di bawah nol derajat, dapat menyebabkan keretakan pada batuan.  Beberapa situs gua bergambar di Jerman ada yang rusak akibat proses pembekuan ini (Bednarik, 2003).   Faktor kerusakan akibat pembekuan es ini tidak kita bicarakan lebih lanjut di sini, karena kasusnya tidak terdapat di negera kita.

Pelapukan batuan bergambar dapat pula disebabkan karena api atau kebakaran lahan yang disebut brushfires.  Panas yang disebabkan oleh kebakaran ini dapat mencapai lebih dari 200ºC. Panas dari kebakaran ini mengakibatkan pemanasan cepat dari zona permukaan batuan yang tipis, sehingga menjadi pecah dan rusak (Bednarik, 2003).   Gejala seperti ini perlu diwaspadai pada situs-situs gambar gua prasejarah kita di Kalimantan Timur yang sering terjadi kebakaran hutan.

Kajian mengenai kerusakan gambar gua prasejarah di Indonesia pernah dilakukan oleh Suhartono (2012).  Menurut laporannya bahwa kerusakan gambar gua prasejarah disebabkan adanya fluktuasi temperatur yang besar.  Temperatur naik tinggi pada siang hari dan turun tajam pada malam hari. Perbedaan temperatur antara siang dan malam ini mengakibatkan tekanan (stress) pada lapisan luar batuan tempat lukisan itu berada. Situasi dan kondisi tersebut berlangsung lama sehingga menyebabkan terjadi pengelupasan kulit luar batuan.  Pengeluapasan ini juga berdampak pada terkelupas atau rusaknya lukisan dinding yang terdapat pada kulit batuan yang terkelupas tersebut.

Sinar matahari yang terik dan terpaan angin secara langsung, menurut Suhartono (2012) juga sangat berpotensi pengelupasan kulit batuan bergambar. Situasi ini diperparah dengan berkurang bahkan hilangnya pepohonan di sekitar gua/ceruk.  Akibat dari kondisi ini gambar gua prasejarah dapat menjadi memudar, lalu mengelupas, dan akhirnya hilang.

Berbeda dengan musim kering, maka pada musim hujan banyak bagian dinding gua yang menjadi basah dan lembab, terutama pada bagian depan atau mulut gua. Penelitian Suhartono dkk (2012) pada gua-gua prasejarah di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa air hujan dapat menyebabkan terjadinya pelapukan permukaan dinding gua yang terdapat gambar prasejarahnya.  Hal ini disebabkan karena air hujan yang bersifat asam bereaksi dengan karbon dioksida atmosfer sehingga menghasilkan asam karbonat. Masuknya air mengandung asam tadi pada pori-pori batuan menyebabkan pengerakan bagian luar batuan akibat presipitasi larutan, dan pelapukan bagian dalam. Kondisi ini berakibat bagian kerak akan mudah mengalami pengelupasan.

Dampak lain dari air hujan ini, menurut laporan Suhartono dkk (2012) dapat menimbulkan pelapukan biologi.  Permukaan dinding gua yang terkena air hujan akan tumbuh lumut, ganggang, dan/atau jamur.  Sejumlah tumbuhan tersebut dapat menciptakan pelapukan kimia melalui pelepasan senyawa asam melalui akar sehingga menyebabkan pelapukan batu atau kulit batu. Jika seandainya pada batuan atau kulit batu yang mengalami pelapukan tersebut terdapat gambar prasejarah, maka dapat dipastikan akan rusak. Jenis kerusakan seperti itu sangat banyak terdapat pada gambar gua prasejarah Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan kelembaban tinggi.

Faktor Manusia

Kerusakan gambar gua prasejarah dari faktor manusia dapat disebabkan oleh masyarakat umum atau awam, peneliti, bahkan  pekerja purbakala. Dari kalangan masyarakat umum, potensi ancaman kerusakan terutama terjadi pada sektor pariwisata. Memang harus diakui bahwa tujuan dari pelestarian warisan budaya atau cagar budaya dapat  dimanfaatkan sebagai objek wisata dan edukasi.  Namun, objek wisata budaya, khususnya gambar gua prasejarah ini banyak yang rusak oleh pengunjung secara langsung seperti mencorat-coret (vandalisme) dengan cat atau spidol atau menggores-gores dengan benda tajam di atas gambar gua tersebut.  Vandalisme pada gambar prasejarah misalnya di Wilayah Kaimana, Papua Barat, tergolong parah karena sangat banyak corat-coret menggunakan cat minyak (lihat foto berikut).

Selain itu, masyarakat umum yang tinggal atau beraktivitas di sekitar situs gambar prasejarah sering menjadi ancaman kerusakan gambar. Aktivitas masyarakat umum tersebut ada yang bersifat langsung dan ada pula yang tidak langsung pada situs/gua.  Aktivitas masyarakat yang bersifat langsung misalnya menjadikan gua-gua bergambar itu sebagai kandang ternak, gudang penyimpanan alat dan hasil ladang/sawah, dan tempat tinggal.  Aktivitas masyarakat tersebut pernah penulis lihat sendiri ketika penelitian di Sulawesi Selatan sekitar 10 tahun lalu. Adapun aktivitas masyarakat secara tidak langsung mengancam kerusakan gambar gua adalah membuka dan membuat ladang di sekitar gua.  Pohon-pohon di sekitarnya menjadi gundul sehingga menyebabkan suhu dalam gua menjadi naik ketika musim kemarau dan basah karena rembesan air tak tertahankan ketika musim hujan. Dalam skala yang lebih besar, kerusakan sejenis ini akibat pemanfaatan lahan sekitar gua bergambar untuk penambangan atau industri marmer, kapur, dan/atau semen.  Akibat yang parah juga karena pembukaan lahan untuk perkebunan yang diawali dengan pembakaran lahan secara besar-besaran.

Kerusakan atau ancaman kerusakan dapat pula disebabkan oleh aktivitas peneliti atau arkeolog. Bednarik (2003) yang mengutip laporan dari Bednarik dan Devlet tahun 1993 serta Lofvendahl dan Magnusson tahun 2000, menggambarkan banyak kasus kerusakan gambar gua akibat ulah peneliti ini. Sebagai akibat aktivitas alat bantu perekaman gambar, sering dijumpai lem, lateks, plester, dan lain-lain tertinggal dan akhirnya merusak gambar. Kasus lain para konservator menggunakan bahan warna dan kimia lain yang awalnya bermaksud untuk memperbaiki, tetapi malah berdampak pada kerusakan gambar aslinya.  Bahkan, ada pekerja museum dan arkeolog yang dengan sengaja memotong bongkahan batuan bergambar dari dalam gua untuk dibawa atau ditempatkan di dalam laboratorium, museum, atau tempat pamer/simpan lainnya.

Contoh kasus di tanah air kita adalah konservasi gambar perahu/sampan di gua Sumpang Bita dan konservasi gambar babi rusa di gua Pettae Kere (Sulawesi Selatan) pada tahun 1985—1986. Kegiatan dalam proyek ini melakukan konservasi gambar perahu dan babi yang semula kondisinya banyak  yang terkelupas. Upaya mengembalikan keutuhan gambar tersebut dilakukan dengan menggunakan bahan kimia antara  lain Barium Karbonat dan Resin Ciba EP-IS (Samidi, 1985, 1986). Duapuluh tahun kemudian, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur melakukan studi evaluasi, salah satunya terhadap gambar di gua Sumpang Bita tersebut.  Hasil studi menunjukkan bahwa gambar memang terlihat utuh kembali, namun menunjukkan warna yang tidak sama dengan aslinya (Suhartono, dkk., 2008).

Sumber: R. Cecep Eka Permana, judul artikel PELINDUNGAN GAMBAR GUA PRASEJARAH dalam Buletin Kundungga Volume 5 Tahun 2016.