Penetapan 14 JUNI 2019 Sebagai Hari Purbakala Ke 106 Tahun

0
665

Penetapan 14 JUNI 2019 Sebagai Hari Purbakala Ke 106 Tahun

Penetapan 14 JUNI 2019 Sebagai Hari Purbakala Ke 106 Tahun berarti berbicara sejarah pendirian lembaga. Pada Abad XVII, jauh sebelum ilmu arkeologi berkembang dan benda-benda arkeologi menjadi objek penelitian, pengumpulan benda-benda arkeologi banyak dilakukan para kolektor dari Eropa. Motivasi mereka adalah hobi semata. Benda-benda yang dianggap unik, mereka bawa dan simpan di suatu tempat. Ketika itu G.E. Rumphius (1628-1702), seorang naturalis Jerman, tidak hanya tertarik pada dunia flora dan fauna di Nusantara. Dia pun mengumpulkan berbagai benda prasejarah. Rumphius sering menghadiahkan benda-benda prasejarah kepada para pejabat kolonial. Dia pun banyak menulis tentang benda-benda prasejarah yang dikoleksinya.

Rumphius hanya salah seorang dari sekian banyak peminat kebudayaan Nusantara. Pada awalnya kegiatan mengumpulkan benda-benda unik dan menarik itu bersifat individu. Barulah kemudian kegiatan tersebut bersifat kelompok, sehingga penanganan benda menjadi lebih terarah. Upaya para ilmuwan dan peminat seni dimulai dengan mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) pada 1778. Lembaga inilah yang memelopori penelitian, observasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, inventarisasi, penggambaran, penggalian, dan pemugaran terhadap bangunan dan artefak kuno. Kegiatan BGKW didukung oleh lembaga swasta yang didirikan pada 1885, yaitu Archaeologische Vereeniging pimpinan Ir. J.W. Ijzerman.

Berkat campur tangan pemerintah Hindia Belanda, pada 1901 dibentuk ”Commissie in Nederlandsch-Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera”. Ketika ketuanya yang pertama Dr. J.L.A. Brandes meninggal dunia, komisi itu sempat terbengkalai. Baru pada 1910-an diangkat ketua baru, Dr. N.J. Krom. Dia mempunyai pandangan yang sangat tajam. Segera dia belajar organisasi kepurbakalaan di India, Birma (sekarang Myanmar), dan Hindia Belakang, yang ketika itu sudah lebih maju daripada Hindia Belanda.

Atas usaha Krom dihapuslah komisi yang bersifat sementara itu. Maka atas surat keputusan pemerintah tanggal 14 Juni 1913 nomor 62 berdirilah ”Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie” (Jawatan Purbakala). mulai saat itulah tanggal 14 Juni dijadikan hari Purbakala di Indonesia. Saat itu juga Krom diangkat sebagai kepala jawatan tersebut. Dengan tugas yang tidak hanya menyangkut Jawa dan Madura, tetapi seluruh Nusantara.

Selepas Jepang, pemerintah Belanda berusaha menghidupkan kembali Oudheidkundige Dienst. Sebagai pemimpin sementara ditunjuk Ir. H.R. van Romondt. Pada 1947 Oudheidkundige Dienst dikepalai Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers. Pada 1951 beberapa Jawatan Purbakala melebur menjadi Dinas Purbakala. Setelah 40 tahun dipimpin oleh orang asing, pada 1953 Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional dipimpin oleh R. Soekmono. Kelak institusi ini berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).

Pada 1975 terjadi perubahan struktur organisasi. LPPN dibagi menjadi dua unit, yakni yang bersifat teknis administrasi operasional atau pelestarian dikelola oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP), sementara yang bersifat penelitian dipegang oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N). Kedua institusi ini pun pernah beberapa kali berganti nama, yakni Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (DP3SP, kemudian Ditlinbinjarah). Nama saat itu adalah Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (DPCBP). Satunya lagi, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puspan, kemudian Puslit Arkenas). Setelah menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) disebut Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas). Setiap institusi dilengkapi oleh Unit Pelaksana Teknis di sejumlah daerah bernama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) untuk DPCBP dan Balai Arkeologi (Balar) untuk Pusarnas. Dengan catatan nama sebelum BP3 adalah Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP). Kemudian di tahun 2012 (BP3) berubah nama menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya atau (BPCB).

BPCB Samarinda berdiri berdasarkan Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor B/2479/M.PAN/2008 tanggal 21 Agustus 2008 dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM 35/HK.001/MKP-2008 tanggal 9 September 2008. Wilayah kerjanya meliputi 5 provinsi di Kalimantan, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dengan nama Balai Pelestararian peninggalan Purbakala Samarinda. Pada awalnya kantor beroperasi dengan mengontrak rumah di jalan Awang Long, Kelurahan Bugis, Samarinda, dari tahun 2009 – 2011. Pada saat itu, jumlah pegawai baru ada 3 PNS yang menjabat sebagai struktural, yaitu Drs. Edi Tri Haryanto   sebagai Kepala, Dra. Ririet Surjandari, M.Hum sebagai kasubag tata Usaha, dan Drs. Hendi Susilo sebagai Kasi Pelestarian dan Pemanfaatan serta dibantu 2 tenaga honorer. Selanjutnya pada tahun 2010, Drs. Hendi Susilo selaku Kasi mengundurkan diri dan posisi Kasi PPP menjadi Kosong. Pada awal tahun 2011, kantor pindah ke Jl. Kadrie Oening Nomor 99 Samarinda. Pada awal tahun 2012, Kepala BP3 menjalani masa pensiun dan digantikan oleh Drs. I Made Kusumajaya M.Si selaku plt. Kepala dan baru pada bulan Oktober 2012 menjadi kepala definitif bersamaan dengan pelantikan dan penempatan Drs. Budi Istiawan sebagai Kepala seksi Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan.

Pada tahun 2012 kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) berubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya secara perlahan-lahan jumlah PNS menjadi bertambah sebanyak 15 orang termasuk struktural. Pada tahun 2013, kantor kembali pindah ke jalan Dr. Sutomo Nomor 27a Samarinda selama kurang lebih 1 tahun. Pada tahun 2013, BPCB Samarinda mendapatkan dana pembangunan gedung kantor baru, yang pembangunannya dimulai tahun 2012 dan baru dapat ditempati pada tahun 2014. Pada bulan April 2014, dilakukan upacara peresmian gedung kantor baru di Jalan H.A.M.M Riffadin Nomor 69 Samarinda Seberang yang diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Prof. Dr. Kacung Marijan.

Pada tahun 2015 Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda berubah nama menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur di bawah pimpinan Drs. I Made Kusumajaya, M.Si. Setelah Drs. I Made Kusumajaya, M.Si, menyelesaikan tugas sebagai Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur pada tanggal 1 Agustus 2017, kemudian beliau digantikan oleh Drs. Budhy Sancoyo, M.A dari BPSMP Sangiran. Struktural pejabat di BPCB Kaltim di Tahun 2017, Kepala Drs. Budhy Sancoyo, M.A, Kasubbag TU Dra. Ririet Surjandari, M.Si dan Kasi PPP Drs. Budi Istiawan. Pada tanggal 26 November 2017, Dra. Ririet Surjandari, M.Si meninggal dunia dan kemudian digantikan oleh Drs. Ign. Eka Hadiyanta, M.A BPCB Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah masa purna tugas Drs. Budhy Sancoyo M.A pada tanggal 1 April kemudian ditunjuk Drs Budi Istiawan sebagai plt. Kepala BPCB Kaltim pada tanggal 1 April 2019 dengan tanggal surat penetapan 29 Maret 2019, dan pada tanggal 3 Mei 2019 dilantiklah Dr. Muslimin A.R. Efendy, M.Hum dari BPNB Makassar sebagai Kepala BPCB Kaltim. Saat ini jumlah PNS 17 orang, CPNS 4 orang dan tenaga honorer 41 orang.