Mitigasi Cagar Budaya, oleh Supriadi

0
3416
 Memasyarakatkan Jingle “Kunjungi, Lindungi, Lestarikan” sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Pelestarian Cagar Budaya Oleh. Yadi Mulyadi

Mitigasi Cagar Budaya 

Oleh : Supriadi, S.S., M.A.

Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Unhas

CAGAR BUDAYA

Dalam konvensi warisan dunia oleh Unesco, secara garis besar warisan budaya terdiri dari monumen, kumpulan bangunan dan situs. Monumen mencakup karya patung dan lukisan yang monumental, karya arsitektur, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua hunian dan kombinasi ciri-ciri yang memiliki nilai universal dan luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau sains. Kumpulan bangunan mencakup kumpulan bangunan terpisah atau terhubung yang karena arsitektur, homogenitas, atau tempatnya dalam lansekap, memiliki nilai universal luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau sains. Situs mencakup karya manusia atau gabungan antara karya manusia dengan karya alam dan kawasan yang termasuk situs arkeologis yang memiliki nilai universal luar biasa dari sudut pandang sejarah, estetika, etonologi atau antropologi (Unesco, 2005: 22).

Di Indonesia, warisan budaya atau tinggalan arkeologis yang telah mendapat perlindungan hukum disebut sebagai  cagar budaya. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 1 :

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Merujuk dari pengertian tersebut, cagar budaya terdiri atas benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya.  Pengertian dari jenis cagar budaya tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam UU No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya pada pasal 1 ayat 2 – 6 :

  1. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
  2. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
  3. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
  4. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
  5. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

Ada beberapa alasan kenapa sumberdaya budaya harus dilestarikan. Pertama, Hilang atau hancurnya sumberdaya budaya tentunya merupakan bentuk kehilangan yang bersifat tetap. Hal ini mengingat bahwa sumberdaya budaya mempunyai sifat yang langka, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), rapuh dan tidak tergantikan. Sekali sumberdaya tersebut rusak atau hilang, tidak mungkin bisa diganti dengan benda yang sejenis. Walau sumberdaya budaya dapat diganti dengan duplikat yang serupa bentuknya, nilai yang terdapat pada sumberdaya budaya tersebut tidak dapat dihadirkan kembali. Selain hal tersebut, keberadaannya sekarang ini juga bersifat langka dan mengandung nilai-nilai, baik secara akademis maupun sosial (Pearson and Sullivan, 1995: 11-12; Kusnowihardjo, 2001: 61).

Kedua,  Sumberdaya budaya sangat bervariasi baik dari segi bentuk maupun bahan. Begitu juga nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sumberdaya arkeologis sangat variatif.  Sumberdaya  yang sangat bernilai pada masyarakat atau tempat tertentu, bisa jadi tidak punya nilai apa-apa pada masyarakat lain di tempat lain (Pearson & Sullivan, 1995: 127). Perbedaan penilaian terhadap sumberdaya sangat berbeda antara negara, antara keyakinan, dan antara stakeholder dan sangat ditentukan oleh landasan filosopi yang memberi nilai (Aplin, 2002: 18; Howard, 2003:212).  Nilai penting sumberdaya budaya bervariasi dan sangat tergantung kepada siapa yang memaknai dan menafsirkannya. Pengetahuan atau tafsiran tentang masa lampau bersifat relatif dan terus berubah dari waktu ke waktu. Penafsiran juga sangat tergantung pada konteks sosial budaya sang penafsir. Lokasi yang berbeda juga akan memberi makna yang berbeda pula terhadap sumberdaya arkeologi (Herrmann, 1990: 30). Sumberdaya budaya, dalam setiap periode yang berbeda akan dimaknai berbeda pula. Begitupun  potensi yang terdapat pada setiap sumberdaya budaya akan ikut berubah  mengikuti  perubahan jaman (Feilden and Jokilehto, 1993: 15).

Dalam UU No. 11 tahun 2010 pasal (1) ayat 22, yang dimaksud dengan pelestarian adalah :

Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Pelestarian yang dimaksud dalam UU tersebut mencakup beberapa tindakan sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab VII yaitu, perlindungan, penyelamatan dan pengamanan. Pengertian tiap tindakan tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 UU CB adalah sebagai berikut :

  • Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
  • Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
  • Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.

Permasalahan kemudian yang seringkali muncul pada masyarakat adalah bagaimana dengan sumberdaya arkeologi atau situs yang belum melalui proses penetapan. Apakah bisa disebut Cagar Budaya ataukah hanya tinggalan arkeologi? Apakah ada perbedaan perlakuan diantara keduanya? Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka yang dijadikan rujukan atau panduan adalah pasal 31 ayat 5 UU No. 11 Tahun 2010. Dalam pasal 31 ayat 5 tersebut dinyatakan :

Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.

Ini berarti bahwa sebuah sumberdaya arkeologi, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak akan mendapat perlakuan yang sama ketika sudah dilakukan kajian. Artinya sumberdaya arkeologi tersebut walaupun belum ditetapkan akan mendapat perlakuan yang sama dengan yang sudah ditetapkan.

MITIASI

Dalam Undang-Undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1 ayat 9 disebutkan :

Mitigasi ialah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Lebih lanjut dijelaskan lagi dalam Pasal 47 UUPB yang menyatakan :

  1. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang ada pada kawasan rawan bencana.
  2. Kegiatan Mitigasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :
  3. Penataan ruang;
  4. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan
  5. Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

Merujuk dari pengertian tersebut, maka mitigasi merupakan upaya atau langkah-langkah yang dilakukan baik sebelum sebuah bencana terjadi maupun setelah bencana terjadi. Jika kita kaitkan antara pengertian dan cakupan pelestarian dalam UU CB No. 11 tahun 2010 dengan pengertian mitigasi dalam UU PB No. 24 tahun 2007, maka mitigasi merupakan upaya pelestarian berupa perlindungan, pengamanan, dan penyelamatan yang dilakukan baik sebelum Cagar Budaya mengalami kerusakan akibat bencana maupun tindakan yang dilakukan ketika cagar budaya mengalami dampak akibat dari bencana.

Oleh karena itu, mitigasi pada dasarnya juga telah diatur dalam UU No. 11 tahun 2010 yakni,

Pasal 58 :

(1) Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk:

  1. mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya; dan
  2. mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam keadaan darurat dan keadaan biasa.

Pasal 59 :

(1)Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang aman.

(2)Pemindahan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah koodinasi Tenaga Ahli Pelestarian.

Pasal 61 :

(1) Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah.

(2)Pengamanan Cagar Budaya merupakan kewajiban pemilik dan/atau yang menguasainya.

Di dalam tahapan mitigasi bencana, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan aspek pengamanan dan penyelamatan cagar budaya terhadap ancaman bahaya, yaitu:

  1. Lokasi cagar budaya menjadi indikator penting dalam prediksi potensi bahaya dan kerusakan.
  2. Potensi bahaya yang beragam membawa pengaruh dampak yang berbeda pula.
  3. Skala besaran dan intensitas potensi bahaya menimbulkan dampak yang berbeda pula.
  4. Frekuensi dan periode ulang potensi bahaya membutuhkan pendekatan penyelamatan, pengamanan dan perlindungan yang khusus.
  5. Keragaman jenis benda cagar budaya mempengaruhi potensi dampak kerusakan.
  6. Usia cagar budaya menjadi faktor penting dalam prediksi kerusakan.
  7. Kegiatan tanggap darurat membutuhkan suatu sistem dan prosedur yang detil (Hizbaron, 2013; 16).

Sebagai tindakan untuk mengurangi dampak dari resiko bencana terhadap cagar budaya, maka langkah-langkah teknis yang harus dilakukan adalah :

  1. Melakukan dokumentasi situasi dan cagar budaya itu sendiri. Tindakan dokumentasi mencakup tindakan pemotretan, film, dan pencatatan.  Tindakan tersebut meliputi :
  • Lingkungan Cagar Budaya
  • Cagar Budaya
  • Elemen yang kemungkinan mengalami kerusakan atau bagian cagar budaya yang paling rapuh.
  1. Identifikasi jenis bencana atau bahaya yang mengancam cagar budaya. Jenis bencana atau ancaman tersebut terdiri dari dua yakni, ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas alam dan ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas alam seperti, banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, erosi, abrasi, angin kencang, dan longsor. Ancaman yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti, kebakaran, pembangunan infrastruktur, pertambangan, dan kerusuhan.

Selain jenis bencana, sangat penting juga memahami besar kecilnya bencana dan frekuensi terjadinya bencana tersebut. Pengetahuan dan pemahaman terhadap jenis, besaran, dan frekuensi bencana atau ancaman menjadi sangat penting untuk menentukan jenis tindakan mitigasi. Sebuah bencana yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda pula. Begitu pula dengan besaran dan frekuensi yang berbeda akan membawa dampak kerusakan terhadap cagar budaya berbeda pula.

  1. Identifikasi elemen resiko. Elemen resiko adalah bagian dari cagar budaya yang kemungkinan besar hilang, rusak atau terkena dampak jika bencana tersebut terjadi. Tentunya jenis bencana yang berbeda, akan membawa dampak pada bagian-bagian cagar budaya.
  2. Merencanakan atau mempersiapkan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan ini tentunya berbeda, tergantung dari jenis bencana atau ancaman dan elemen yang kemungkinan mengalami kerusakan. Tata cara mitigasi dapat dilakukan dengan :
  • Penataan ruang situs
  • Pengaturan pembangunan dalam lingkungan situs
  • Melakukan pelatihan penanggulangan bencana.

Rencana tindakan pencegahan sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan rutin baik perlindungan maupun pengamanan situs.

Khusus untuk cagar budaya yang sudah mempunyai zonasi, sebaiknya jenis tindakan pencegahan disesuaikan dengan zona. Tentunya zona inti harus mendapat perlakuan yang lebih dibanding dengan zona penyangga. Begitu juga antara zona penyangga dengan zona penunjang dan zona pengembangan.

  1. Penentuan jenis tindakan/mitigasi sebaiknya berdasarkan kearifan lokal dan ramah lingkungan. Artinya penentuan tindakan juga sebaiknya menggunakan pengetahuan-pengetahuan lokal.
  2. Melakukan monitoring atau evaluasi keadaan dan kondisi cagar budaya setiap saat baik saat rutin maupun yang sifatnya insidentil (Hizbaron, 2013; 19).

PENUTUP

Kehadiran cagar budaya bersama kita saat ini setidaknya bisa dimanfaatkan oleh tiga hal yakni kepentingan ideologik, akademik, dan ekonomik (Cleere, 1990). Cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang merupakan warisan nenek moyang kita untuk dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan diwariskan lagi untuk generasi selanjutnya. Oleh karena itu, menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya tersebut. Sekali cagar budaya tersebut hilang, tidak mungkin bisa tergantikan dengan benda sejenis. Mungkin secara bentuk kita bisa menduplikasi cagar budaya, tetapi nilai yang terkandung didalamnya tidak bisa tergantikan.

Ancaman kerusakan terhadap cagar budaya tersebut bukan hanya karena faktor kerapuhan benda akibat umur, tetapi juga ancaman dari luar. Misalnya ancaman akibat aktivitas manusia maupun ancaman akibat aktivitas lingkungan, seperti bencana. Untuk mencegah dampak akibat bencana tersebut, maka diperlukan tindakan-tindakan pencegahan yang disebut dengan mitigasi.

KEPUSTAKAAN

Aplin, Graeme. 2002. Heritage: Identification, Conservation, and Management.. Oxford: University Press.

Cleere, H. F. 1990. “Introduction: The Rationale of Archaeological Management, dalam H. F. Cleere (ed), Archaeological Heritage Management in the Modern World. London: Unwin-Hyman

Herrmann, Joachim. 1990. “World Archaeology-The World’s Cultural Heritage”. Dalam H. F. Cleere (ed), Archaeological Heritage Management in the Modern World. Unwin-Hyman: London.

Howard, Peter. 2003. Heritage: Management, Interpretation, Identity. New York – London: Continuum.

Hizbaron, Dyah Rahmawati. 2013. “Pengurangan Resiko Bencana Pada Cagar Budaya” Makalah. Disampaikan pada Bimbingan Teknis Manajemen Penanggulangan Bencana pada Cagar Budaya. Yogyakarta, 4 Pebruari 2013.

Kusnowihardjo, H. Gunadi. 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi. Lembaga Makassar: Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS).

Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places: The Basic of Heritage Planning for Managers, Landowners and Adiministrators. Melbourne: Melbourne University Press.

Unesco. 2005. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Konvensi Warisan Dunia. World Heritage Centre

———–. 2010. Managing Disaster Risk for World Heritage. Paris, France: Unesco; World Heritage Conservation. ICCROM; ICOMOS; IUCN.

Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.