Gereja Imanuel terletak di Desa Saka Mangkahai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut informasi, gereja ini dibangun pada tahun 1876 dengan dana dari Zending Barmen, Jerman. Pada suatu sidang umum Rheinischen Missions tanggal 4 Juni 1834 diputuskan bahwa Kalimantan dijadikan sebagai pulau “Daerah Pekabaran Injil”. Sebagai wujud nyata dari hasil sidang tersebut maka dikirimkan Penginjil-penginjil dari Barmen (Jerman), yaitu Missioar Barnstein dan Heyer. Mereka tiba di Batavia (Jakarta) pada tanggal 13 Desember 1834. Barnstein sendiri tiba di Banjarmasin pada tanggal 26 Juni 1935.
Di Kalimantan beliau mengunjungi pedalaman, daerah-daerah tersebut antara lain pulau Petak, sungai Kapuas, Barito, bahkan sampai Kalimantan Barat, disepanjang sungai Kapuas Gohong (Desa Gohong). Barnstein sempat “angkat saudara dengan darah” dengan kepala suku, namun hal tersebut tehenti Karena pada tahun 1859 terjadi Perang Banjar yang diakibatkan oleh pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Hidayat pada tanggal 1 Mei 1859. Perang tersebut diawali dari daerah Kalayan yang menelan korban 20 orang kulit putih dan pada bulan Desembernya sebuah kapan Belanda di sungai Barito dapat dihancurkan dengan korban kurang lebih sebanyak 30 orang. Pemberontakan ini mengakibatkan penderitaan yang tidak sedikit bagi gejera, karena pemberontakan ini didasari dengan rasa benci pada orang-orang Belanda, orang kulit putih umumnya, ditambah lagi ketidak jelasan pengertian mereka tentang perbedaan antara orang-orang Belanda sebagai penjajah dengan orang Zending selaku utusan lembaga keamanan. Terutama karena motto yang dipegang, yaitu “Usir semua prang kulit putih dari bumi Kalimantan”.
Ditengah-tengah peristiwa berdarah ini, terdapat empat penginjil yang menjadi korban beserta dengan tiga isteri dan dua orang anaknya yang dibunuh oleh orang Dayak. Adapun keempat penginjil tersebut adalah, Missionar Roth, Missionar Wiegand dan isteri, Missionar Kind dan isteri serta dua anaknya. Mereka dibunuh di Tanggohan, pangkalan yang didirikan pada tahun 1855, tempat sebuah gereja tertua didirikan. Kemudian Missionar Hofmeister dan isteri di Penda Alai.
Sejak peristiwa tersebut Kaliamantan menjadi tertutup bagi Pekabaran Injil dan para penginjil ditarik ke Banjarmasin untuk kemudian dikembalikan ke tanah airnya. Pekerjaan yang terlah dijalankan hampir 25 tahun nampaknya musnah begitu saja, sampai tujuh tahun lamanya Kalimantan menjadi daerah yang tertutup. Baru kemudian pada tahun 1866 akhirnya dengan suatu keputusan dari pemerintah Belanda, orang-orang Zending di izinkan kembali memasuki wilayah Kalimantan. Pada masa-masa awal ini kegiatan harus selalu berdekatan dengan perbentengan Belanda, dibatasi oleh peraturan-peraturan yang membatasi hubungan dengan penduduk setempat. Dalam perkembangan berikutnya barulah dibuka pangkalan-pangkalan baru, diantaranya Kuala Kapuas pada bulan Juni 1866, suatu tempat yang tidak begitu jauh dari Banjarmasin. Selanjutnya, tidak memakan waktu yang panjang didirikan pula sekolah. Enam tahun kemudian pada tahun 1872 didirikan sekolah guru oleh Missionar Nennemann. Pada tahun 1870, arah hulu sungai Kapuas tidak jauh dari Kuala Kapuas dibuka pangkalan di Mandomai oleh Missionar Hendrick dan di dalamnya didirikan sekolah untuk keterampilan gadis, baru enam tahun kemudian (1876) didirikan sebuah gereja besar di Mandomai.
Berdasarkan sejarahnya, gereja Imanuel di Mandomai ini didirikan pada tahun 1876 dengan melewati beberapa tahap perbaikan. Karena pada mulanya bangunan ini besifat semi permanen dan kecil, tetapi Karena perkembangan jumlah penganutnya maka pada akhir abad XIX gereja ini diperluas seperti yang dijumpai sekarang. Gereja Imanuel sekarnag berukuran 24 x 12 m, dengan dua Menara seluas 15 m², menghadap ke timur, dan luas komplek selurunya berukuran 1000 m².
Gereja ini merupakan bangunan panggung dengan ketinggian lantai 100 cm dari permukaan tanah. Pondasinya berupa tonggak-tonggak kayu, ada yang berbentuk bulat maupun segi empat. Kedalaman tonggak pondasi ini tidak diketahui, tetapi menurut informasi “sokoguru” yang berjumlah sepuluh tiang dengan diameter masing-masing 24 cm ditanamkan diatas balok kayu kapur naga. Pada balok ini dibuatkan lubang-lubang sebagai pemegang kayu baru kemudian ditanam dan ditimbun tanah. Anak tangga yang sekarang mempergunakan kayu ulin yang ditopang dengan plat besi siku. Bagian depan gereja ini terdapat teras selebar 146 cm yang bersambung sampai Menara di kanan dan kiri. Teras ini berpagar kayu dengan bentuk botol, dibagian bawah gendut dan bagian atas lurus tinggi dengan sedikit hiasan pelipit. Lantai teras merupakan susunan papan yang diatur sejajar. Lantai teras sama tinggi dengan lantai ruang dalam, kecuali bagian altar yang terletak lebih tinggi 35 cm. Lantai ruang dalam gereja yang terlihat sekarang ini merupakan tambahan yang dilakukan pada tahun 1976, lantai asli terdapat di bawah dari susunan lantai kayu yang baru. Dinding bangunan terbuat dari papan kayu madang baru yang disusun miring dengan ukuran rata-rata 2 x 16 – 2 x 18 cm.
Gereja ini memiliki tiga pintu, satu pintu utama dengan tulisan angka tahun pendirian dan perbaikan. Pintu utama berukuran 105 x 306 cm. Dua pintu lainnya berada di samping yang masuknya melewati Menara lonceng. Pintu-pintu bangunan ini bagian atasnya berbentuk setengah lingkarang. Jika dilihat dari depan gereja ini terlihat mempunyai dua lantai. Pada bagian lantai dua terdapat teras dengan sebuah satu pintu keluar dan dua jendela kaca. Melalui teras ini dapat mencapai menara bagian atas atau ruang lonceng. Atap bangunan terbuat dari sirap yang berbentuk sama dengan denah bangunannya. Pada puncak atap terdapat hiasan, namun sudah tidak lengkap karena salah satu sisinya telah hilang.
Pada bagian dalam bangunan gereja terdapat 3 kaca mozaik langka yang hanya terdapat di 3 negara saja. Ketiga negara tersebut, yaitu Jerman di Bermen, Indonesia di Kabupaten Kapuas, serta informasi terakhir yang didapat mozaik yang sama terdapat di negara Brazil. Mozaik ini merupakan satu dari tiga mozaik yg dikirimkan dari Bremen.