Situs Gunung Selendang Sangasanga

0
7355

Situs Gunung Selendang Sangasanga

Situs Gunung Selendang secara administrasi terletak di Bukit Selendang, Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Situs tersebut berada tepat di pinggir jalan raya yang menghubungkan Sangasanga dan Samarinda.

Situs Gunung Selendang diketahui tergolong situs penguburan dari hasil temuan penggalian (eksakavasi) berupa kubur tempayan (tajau) yang di dalamnya berisi tulang belulang manusia antara lain; bagian tungkai, fragmen pinggul, fragmen rahang, gigi, fragmen tengkorak, dan fragmen tulang berukuran kecil yang sulit  dikenali. Secara umum bentuk tajau di situs ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok tajau berbadan ramping dengan bibir bergelombang berdiameter 23,5 cm dan kelompok tajau berbadan tambun dengan bibir polos tanpa hiasan berdiameter 22 cm. Berdasarkan pengamatan terhadap fragmen tajau yang ada, dapat diketahui jika semua jenis tajau yang digunakan sebagai wadah kubur terbuat dari bahan stoneware. Secara teknis, tajau-tajau ini dibuat dengan teknologi pembuatan keramik yang cukup maju, meskipun belum semaju seperti pada proses pembuatan sebuah porselin. Jenis tajau berbadan ramping di situs sanga-sanga sangat mirip dengan tajau jenis Martavan yang terdapat di Buku “Tempayan Martavan”, yang tingginya sekitar 80 cm, dan mempunyai gambar naga dengan motif awan dan bunga. Martavan adalah salah satu pelabuhan di Birma yang menjadi tempat pengiriman produk keramik jenis tempayan/guci, sehingga tempayan yang dikirim melalui pelabuhan tersebut dikenal dengan sebutan Martavan. Tajau seperti ini banyak diproduksi pada abad 17-18 Masehi di daerah Cina Selatan. Tajau jenis ini banyak ditemukan di Kalimantan Timur dan digunakan sebagai wadah kubur (Tim Ekskavasi Balar Banjarmasin, 2010).

Jenis kegiatan yang telah dilakukan di situs ini yaitu; penelitian oleh Balai Akeologi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Penelitian oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, survey dan ekskavasi (2010-2011), kajian pendahuluan pengembangan (2012), peninjauan situs (2012), pengelolaan sumber daya Cagar Budaya (2013), pembebasan lahan (2014), dan zonasi (2014).

Situs Gunung Selendang Sangasanga ditemukan secara tidak sengaja pada bulan Mei tahun 2009 pada saat dilakukan pengerukan Bukit Selendang untuk mengurangi longsoran tanah ke jalan aspal dan guna membuka lahan untuk pemukiman. Kegiatan pengerukan dilakukan dengan menggunakan alat berat berupa ekskavator dan secara tidak sengaja beberapa tajau ikut terkeruk. Akibatnya beberapa tajau yang berisi fragmen tulang belulang manusia tersebut menjadi pecah berserakan. Dengan adanya temuan ini maka pihak pemilik tanah dan beberapa pekerja melaporkan hal tersebut ke pihak Kepolisian Sektor Sangasanga. Pihak Kepolisian Sangasanga kemudian memerintahkan kegiatan pengerukan itu untuk sementara dihentikan, demi menyelamatkan tajau-tajau lainnya agar tidak hancur. Sedangkan tajau yang terlanjur pecah beserta isinya berupa tulang belulang manusia diamankan di Kepolisian Sektor Sangasanga.

Berdasarkan temuan kubur tajau tersebut memberikan bukti bahwa ada kelompok masyarakat yang menghuni wilayah tersebut di masa lalu. Berdasar bentuk tajau, dapat diperkirakan jika kegiatan penguburan tajau dilakukan sekitar abad 17-18 Masehi, atau paling tidak usia penguburan tajau sudah mencapai usia 300 tahun. Masa 300 tahun lalu memang merupakan masa Kerajaan Kutai Kartanegara yang bertempat di Tenggarong, di tepi Sungai Mahakam. Pada masa itu, Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan satu kerajaan besar berdaulat yang ada di bumi Kalimantan Timur, yang dapat hidup berdampingan dengan beberapa etnis Suku Dayak di pedalaman dan sepanjang aliran sungai. Adat dan tradisi penguburan dengan menggunakan wadah tajau yang ada pada Suku Dayak sangat besar kemungkinannya mempengaruhi pola pikir dan budaya masyarakat Kutai Kartanegara dipinggiran yang belum memeluk agama Islam. Bukan sesuatu yang mustahil jika masyarakat Kutai Kartanegara akan mengadopsi tradisi budaya dari tetangga mereka atau dari nenek moyang mereka sebelum memeluk agama Islam, yaitu tradisi penguburan dengan menggunakan tajau sebagai wadah kuburnya.

Menurut Adham (1981), yang menyatukan 2beberapa naskah cerita tutur yang berisi kisah asal usul raja-raja Kutai menyebutkan; ada salah satu peristiwa mengenai penanganan jenazah sejumlah tokoh sejarah yang melibatkan benda produksi dari Cina yaitu tajau. Diceritakan pada saat itu Paduka Nira meninggal dan jenazahnya dimasukkan ke dalam tajau. Raja-raja berikutnya diceritakan bahwa pada saat meninggal  jenazah dimasukkan ke tajau dan ditaruh di candi. Hal tersebut terus berlangsung sampai dengan kedatangan mubaligh dari Sulawesi Selatan yang asalnya dari Sumatera Barat yaitu Datuk Tunggang Parangan dan Datuk Ri Bandang. Apabila hal tersebut benar, maka tradisi penguburan menggunakan tajau masih ada hingga abad ke-16. Tidak menutup kemungkinan bahwa meskipun raja sudah memeluk agama Islam, masih tetap ada anggota atau masyarakat yang tetap hidup dengan memeluk kepercayaan lama.

Berdasar hasil ekskavasi yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, tajau-tajau yang telah ditemukan difungsikan sebagai wadah kubur. Posisi dan jumlah tulang yang ada di dalam tajau merupakan ciri-ciri suatu tradisi penguburan kedua (sekunder). Jenis penguburan sekunder pada umumnya ditandai dengan jumlah tulang belulang yang tidak lengkap. Pada kasus di Situs Gunung Selendang ini, setelah semua tulang manusia dimasukkan, kemudian tajau tersebut ditutup dengan sebuah piring keramik. Cara menutupnya dengan meletakkan piring secara telungkup menempel pada bibir tajau. Jenis piring yang digunakan bervariasi, terutama pada pola hias dan warnanya.

Sebagai bentuk pelindungan terhadap cagar budaya yang ada di Sangasanga khususnya Situs Gunung Selendang, BPCB Samarinda menunjuk saudara Alan Topan dan M. Ridwan sebagai Juru Pelihara situs. Dengan harapan situs tersebut dapat terhindar/meminimalis dari ancaman kerusakan atau kehilangan.