Permasalahan dan Upaya Pelestarian Situs Lamreh Di Aceh

0
1814

Laila Abdul Jalil, S.S, M.A

Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.4, BPCB Samarinda, 2015

Pendahuluan

Lamreh merupakan sebuah kampung yang termasuk dalam wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh. wilayah Lamreh memiliki topografi berbukit dengan ketinggian 189 m/dpl. Di bagian daerah berbukit ditemukan peninggalana arkeologis berupa nisan tipe plak pling yang dianggap sebagai bentuk nisan peralihan dari masa pra islam ke masa Islam. Anggapan ini muncul karena bentuk nisan dinilai memiliki kesamaan bentuk dengan menhir. Selain temuan nisan kuno, di kawasan tersebut juga dijumpai benteng Inong Balee serta benteng Kuta Lubok. Tidak jauh dari benteng Kuta Lubok terdapat hilir sungai yang kemungkinan besar merupakan anak sungai Krueng Raya.

Polemik mengenai Lamreh muncul ketika kawasan tersebut dinyatakan sebagai bekas kerajaan Lamuri yang pernah berkembang di Aceh pada masa lampau. Berita mengenai kerajaan Lamuri didapat dari sumber Arab yang berasal dari catatan perjalanan Ibnu Khurdabbeh (w. 885 M) yang menyebut tentang Rami yang letaknya lewat Sailan menghasilkan kemenyan, bambu, kelapa, gula, beras, dan kayu cendana. Pengelna Arab lainnya, Abu Zayd Hasan (916 M)  menyebut dengan kata Ramni. Buzurg, seorang muslim dari Parsi menunjukkan Sriwijaya yang letaknya melewati Lameri. Menurut Buzurg, dari pantai Barus dapat dilakukan jalan darat menuju Lameri. Dalam sebuah berita Cina disebutkan sebuah nama kerajaan  Lan-Wu-li yang berdiri pada abad ke-9 M. Catatan perjalanan Marco Polo menyebutkan knama Lamuri, namun Marco Polo tidak menceritakan lebih terperinci mengenai kerajaan Lamuri.

Klaim yang menyatakan bahwa kawasan Lamreh merupakan bekas kerajaan Lamuri muncul ketika banyak ditemukan sebaran nisan-nisan kuno tipe plak pling yang banyak tersebar di kawasan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suwedi Montana, terbaca angkat tahun 680 H/1211 M. Angka tahun ini lebih tua dari nisan Malik al-Saleh yang berangkat tahun 1297 M. Namun sampai sejauh ini belum diketahui peran dari tokoh yang angka tahunnya dipahatkan di nisan tersebut.

Sampai sejauh ini telah ditemukan sekitar seratusan nisan yang tersebar di sejumlah titik. Selain temuan nisan kuno tipe plak pling, di kawasan tersebut juga banyak dijumpai pecahan keramik asing seperti dari Cina yang berasal dari dinasti Sung, Cing, Ming, keramik dari Burma, Vietnam, dan pecahan gerabah.

Adanya temuan benda-benda arkeologis di kawasan bukit Lamreh menyebabkan munculnya tuntutan dari beberapa pihak terhadap instansi pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah untuk melestarikan kawasan bukit Lamreh. Tuntutan pelestarian terhadap kawasan Lamreh semakin gencar dilakukan oleh LSM pemerhati sejarah di Aceh. Perhatian terhadap kawasan Lamreh semakin intens muncul setelah adanya investor asing yang berencana membangun lapangan golf di kawasan tersebut dan akan menghilangkan jejak-jejak peninggalan arkeologis di kawasan tersebut. Polemik semakin meruncing ketika ada masyarakat yang sudah menerima sebagian pembayaran untuk tanah mereka yang dibeli oleh investor namun tiba-tiba harus dibatalkan karena adaanya temuan arkeologis di kawasan tersebut. Hal ini memicu permasalahan bagi instansi, baik tingkat pusat maupun daerah. Tuntutan pelestarian yang semakin gencar dilakukan oleh LSM pada akhirnya melahirkan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pusat untuk melakukan kegiatan kajian pelestarian sebagai dasar dalam menentukan kebijakan dan upaya kawasan situs Lamreh.

Pembahasan

Lamreh yang kini menjadi buah bibir di kalangan LSM dan akademisi bukan merupakan daerah yang subur. Vegetasi tanaman yang banyak dijumpai berupa semak belukar dengan ukuran rendah. Satu-satunya vegetasi yang bernilai ekonomis adalah tanaman kemiri namun dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Menurut informasi dari masyarakat setempat, sejak lama hingga sebelum tsunami, komoditas yang paling unggul di daerah Lamreh adalah pohon cendana yang tumbuh subur di daerah tersebut. Pasca tsunami, banyak masyarakat dari luar Lamreh yang mencari dan menebang pohon cendana hingga menggali akarnya. Kini hanya tersisa sedikit pohon cendana dengan ukuran yang masih kecil. Selain pohon cendana, komoditas unggulan lainnya pada masa lalu adalah pohon sepang yang digunakan untuk membuat bahan pewarna alami pada makanan dan tekstil serta digunakan sebagai rempah-rempah dan juga sebagai obat tradisional. Namun sayang, saat ini pohon sepang tidak dijumpai lagi di wilayah Lamreh.

Secara kasat mata, daerah bukit Lamreh terkesan gersang, hal ini dikarenakan kondisi lahannya yang tidak subur dengan lapisan tanah humus tipis pada beberapa titik serta banyak mengandung bebatuan termasuk juga batu karang. Menurut informasi yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, di kawasan bukit Lamreh banyak dijumpai pecahan terumbu karang karena pada masa lalu terdapat gunung berapi yang berada di dasar laut dan kemudian meletus hingga melontarkan biodata laut termasuk terumbu karang ke atas bukit. Penjelasan lainnya yang diperoleh mengenai banyaknya dijumpai terumbu karang dan biodata laut di atas bukit LamReh adalah karena pada masa Pleistosen terjadi pengangkatan dasar laut dan pantai surut hingga jauh sehingga meninggalkan jejak di atas bukit Lamreh.

Menurut Undang-udang Cagar Budaya No. 10 Tahun 2011, pelestarain adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindung, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Penjelasannya selanjutnya mengenai pelestarian Cagar Budaya tertuang dalam pasal 53 ayat 1 dimana disebutkan bahwa pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, teknis, dan administratif. Dalam ayat 2 dijelaskan bahwa kegiatan pelestarian harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli pelestarain dengan memperhatikan estetika pelestarian.

Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Cagar Budaya No. 10 Tahun 2011 dapat dipahami bahwa upaya pelestarian kawasan situs Lamreh memang menjadi hal yang urgent untuk dilaksanakan mengingat di kawasan tersebut banyak dijumpai nisan-nisan kuno dan pecahan keramik asing. Namun untuk melestarikan kawasan situs tersebut dibutuhkan satu kajian,  baik yang menyangkut aspek sejarah kawasan Lamreh guna mencari tahu aktivitas pada masa lampau yang pernah berlangsung di kawasan tersebut, juga teknis pelestarian itu sendiri. Dalam upaya pelestarian situs cagar budaya juga dibutuhkan kajian yang menyangkut aspek nilai penting. sehingga upaya pelestarain yang akan dilakukan nantinya tidak akan sia-sia. Jangan sampai setelah situs cagar budaya dilestarikan tapi akhirnya tidak menarik minat orang untuk mengunjungi situs cagar budaya tersebut.

Nisan-nisan kuno yang tersebar di sejumlah titik di kawasan Lamreh memang perlu untuk dilestarikan mengingat di beberapa nisan dijumpai angka tahun dan nama tokoh yang dimakamkan. Berdasarkan nama tokoh dan angka tahun yang didapati di nian-nisan tipe plakpling tersebut dapat digunakan sebagai data atau sumber sejarah yang penting dalam merekonstruksi kembali sejarah Aceh. Namun nisan-nisan tersebut umumnya sudah tidak in situ menjadi salah satu kendala dalam upaya pelestarian kawasan situs tersebut. Aktivitas masyarakat di sekitar kawasan tersebut yang memanfaatkan lahan untuk menanam cabai dan mengembalakan hewan ternak seperti kambing dan sapi menyebabkan nisan-nisan tersebut dipindahkan sehingga saat ini sulit untuk memastikan di mana awalnya nisan-nisan tersebut berada.

Selain tinggalan arkeologis yang sudah tidak in situ, anggapan dari sebagian kalangan LSM dan sejarawan lokal yang menyatakan bahwa kawasan Lamreh merupakan situs bekas kerajaan Lamuri yang berkembang pada abad ke-11/12 M semakin mempertajam polemik dan gencarnya tuntutan dari LSM untuk melestarikan kawasan situs tersebut. Minimnya data sejarah yang menceritakan bagaimana situasi kerajaan Lamuri yang diklaim berada di daerah Lamreh menyulitkan peneliti dalam merekonstruksi ulang peristiwa masa lampau di kawasan tersebut. Walau pun banyak dijumpai pecahan keramik asing dan nisan-nisan kuno yang dibeberapa nisan tersebut menyebutkan kalimat syah, malik, dan as-sulthan, namun belum menjadi bukti yang kuat bahwa kawasan tersebut merupakan bekas kerajaan Lamuri. Alasan ini berdasarkan pada temuan nisan-nisan tersebut yang sudah tidak in-situ. Dari hasil penggalian yang dilakukan juga tidak/belum ditemukannya struktur bangunan. Hal ini semakin mempersulit upaya pelestarain.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa fakultas Adab Jurusan Sejarah Kebudayaan UIN Ar-Raniry Aceh diketahui bahwa masih minimnya pengetahuan masyarakat umum terutama dikalangan mahasiswa di Aceh bagaimana tata cara pelestarian. Guna meredam gejolak yang datang baik dari kalangan mahasiswa maupun LSM tentunya dibutuhkan satu upaya untuk meningkatkan pemahaman generasi muda Aceh termasuk juga LSM mengenai tata kelola benda cagar budaya yang berlaku di bidang arkeologi Indonesia sehingga mereka akan memahami bagaimana seharusnya upaya pelestarian itu dilakukan.

Peningkatan pemahaman di kalangan generasi muda termasuk juga upaya pelestarain cagar budaya di Aceh dapat juga ditempuh melalui kegiatan arkeologi goes to school. Dalam kegiatan ini nantinya dapat dijelaskan apa sesungguhnya arkeologi itu dan apa serta bagaimana upaya pelestarain cagar budaya di Aceh. Melalui kegiatan arkeologi goes to school diharapkan pelajar dan mahasiswa di Aceh akan lebih memahami tentang arkeologi dan memahami bagaimana langkah-langkah pelestarian yang harus dilakukan terhadap sebuah kawasan cagar budaya.

 

Penutup

Pelestarian situs bukit Lamreh yang terletak di kawasan Aceh Besar, propinsi Aceh perlu dilakukan mengingat di kawasan tersebut banyak dijumpai nisan-nisan kuno tipe plak pling yang memiliki motif dan bentuk yang berbeda dengan nisan-nisan tipe lainnya yang banyak dijumpai di wilayah Aceh. Upaya pelestarain situs bukit Lamreh harus dilakukan melalui kajian ilmiah meliputi aspek akademis dan teknis yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya No. 10 Tahun 2011. Selain melakukan kajian akademis dan teknis menyangkut pelestarian situs bukit Lamreh, perlu ada usaha sosialisasi guna meningkatkan pemahaman masyarakat umum terutama di kalangan LSM sehingga mereka akan memahami bagaimana langkah-langkah pelestarian situs cagar budaya yang ada di Aceh.

Daftar Bacaan:

Australian Heritage Commission. Protecting Local Heritage. 2000

Mohammad Said. Aceh Sepanjang Abad, Medan: Penerbit Waspada, 1981.

Repelita Wahyu Oetomo, Nisan Plakpling, Nisan Peralihan Dari Pra-Islam Ke Islam. Balai Arkeologi Medan.

Undang-Undang Cagar Budaya No. 10 Tahun 2011

Penulis adalah staf bidang Pengembangan Permuseuman   Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, lulusan fakultas sastra jurusan arkeologi UGM.