Strategi Percepatan Penyusunan Register Nasional Cagar Budaya, Oleh Yosua Adrian Pasaribu

0
886

Strategi Percepatan Penyusunan Register Nasional Cagar Budaya

Oleh: Yosua Adrian Pasaribu

Artikel yang disalin dari Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur Buletin Kundungga Volume 6 Tahun 2017 ISSN 2301 – 5853

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pelestarian Cagar Budaya Secara Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk melakukan pelestarian Cagar Budaya dengan melakukan pencatatan, penetapan, pengelolaan, dan penerbitan izin membawa Benda Cagar Budaya keluar wilayahnya. Undang-Undang tersebut juga mengamanatkan pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan pendaftaran benda-benda, bangunan-bangunan, lokasi-lokasi, dan satuan ruang geografis milik negara dan masyarakat untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Bupati/Walikota.

Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya mengamanatkan pengelolaan Cagar Budaya yang dilakukan secara sentralistik oleh pemerintah. Pelestarian Cagar Budaya yang dilakukan secara otonomi oleh pemerintah daerah merupakan amanat baru Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang berlandaskan dengan semangat reformasi. Perubahan tersebut tentunya harus diikuti dengan program peralihan manajemen Cagar Budaya, mulai dari sumber daya manusia (SDM), sarana-prasarana, dan program-program pelestariannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sebenarnya telah melakukan pelestarian Cagar Budaya. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota umumnya menetapkan, menempatkan tenaga juru pelihara, membangun sarana-prasarana, dan melakukan pelestarian situs-situs arkeologi dan bangunan-bangunan bersejarah di wilayahnya. Oleh karena itu, umumnya pelestarian bangunan dan situs di lapangan dilakukan bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kondisi tersebut menimbulkan kesemrawutan di lapangan, misalnya terdapat dua petugas juru pelihara dari pemerintah pusat dan dari pemerintah daerah. Permasalahan pembangunan sarana dan prasarana seperti fasilitas bangunan dan jalan, umumnya juga menimbulkan masalah penataan ruang akibat tidak baiknya koordinasi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Permasalahan perizinan penelitian maupun kegiatan lain di bangunan atau situs Cagar Budaya pun menjadi rumit jika tidak diatur dalam kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Penyusunan Register Nasional Cagar Budaya

Register Nasional Cagar Budaya adalah daftar resmi kekayaan budaya bangsa berupa Cagar Budaya yang berada di dalam dan di luar negeri. Register Nasional Cagar Budaya disusun melalui tahap pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya. Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota atau perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan ke dalam Register Nasional Cagar Budaya. Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

Pendaftaran Cagar Budaya yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya membuka jalan bagi pelestarian objek berupa benda (benda bergerak seperti perabotan antik, guci kuno, benda seni, dan lain-lain) milik masyarakat. Pendaftaran dan penetapan objek sebagai Cagar Budaya oleh Bupati/Walikota merupakan langkah awal pelestarian Cagar Budaya di tingkat pemerintah daerah. Pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya di tingkat kabupaten/kota merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan karena dengan adanya register Cagar Budaya di Pemerintah Kabupaten/Kota, kasus-kasus kehilangan Cagar Budaya, pencurian Cagar Budaya, pasar gelap Cagar Budaya, dan sebagainya dapat diminimalisir. Adanya Register Nasional Cagar Budaya di pemerintah kabupaten/kota juga dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan Cagar Budaya di tingkat kabupaten/kota, baik berupa pariwisata, lelang ekonomis, dan lain-lain yang sifatnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah pelaksana utama kebijakan pelestarian Cagar Budaya secara umum dan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya secara khusus. Penerapan kebijakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya telah dimulai sejak tahun 2013. Penerapan kebijakan nasional ini merupakan pekerjaan besar karena membutuhkan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan bersentuhan langsung dengan properti milik masyarakat yang wajib didaftarkan jika memenuhi kriteria Cagar Budaya. Penyusunan sistem Register Nasional Cagar Budaya telah difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui pembentukan jejaring cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Meskipun demikian, Direktorat Jenderal Kebudayaan belum memiliki rencana strategi jangka panjang (masterplan) untuk melaksanakan program penyusunan Register Nasional Cagar Budaya.

Tulisan ini membahas mengenai hasil implementasi penyusunan Register Nasional Cagar Budaya berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pada tulisan ini dipaparkan mengenai hasil penerapan kebijakan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya berdasarkan peraturan perundang-undangan selama tahun 2013-2016. Tulisan ini mengevaluasi strategi implementasi kebijakan nasional mengenai pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya pada tahun 2013-2016. Dari hasil evaluasi, disusunlah usulan strategi percepatan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya.

Program penyusunan Register Nasional Cagar Budaya sebagai penerapan kebijakan nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya selama ini dilakukan melalui pendukungan Direktorat Jenderal Kebudayaan terhadap pemerintah kabupaten/kota. Pendukungan tersebut dilakukan dengan fasilitasi peralatan pendaftaran Cagar Budaya, workshop pendaftaran Cagar Budaya, dan fasilitasi sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya. Sementara itu, hingga saat ini belum ada kabupaten/kota yang membuka pendaftaran Cagar Budaya bagi masyarakat. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah strategi apakah yang dapat diterapkan untuk keberhasilan program penyusunan Register Nasional Cagar Budaya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Metode Kajian

Metode kajian evaluasi strategi penerapan kebijakan nasional mengenai penyusunan Register Nasional Cagar Budaya pada tulisan ini menggunakan metode kuantitatif. Strategi program penyusunan register nasional Cagar Budaya akan dijabarkan dalam angka-angka sehingga hasil pencapaian strategi dapat terlihat. Hasil evaluasi tersebut kemudian digunakan untuk menyusun usulan strategi percepatan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya.

Analisis strategi pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya selama tahun 2013-2016 juga dilakukan dengan metode perbandingan dengan strategi penerapan kebijakan nasional yang lain. Penerapan kebijakan nasional yang mewajibkan masyarakat mendaftarkan diri kepada pemerintah seperti pendaftaran Cagar Budaya yang dijadikan bahan pembanding adalah:

  1. Program e-KTP Kementerian Dalam Negeri.
  2. Program Tax Amnesty Kementerian Keuangan.

Dua program tersebut merupakan penerapan kebijakan nasional yang memiliki kesamaan dengan program pendaftaran Cagar Budaya dalam hal kewajiban masyarakat untuk mendaftarkan diri atau propertinya kepada pemerintah. Perbandingan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penerapan kebijakan nasional dan hasil yang diperoleh. Pada tulisan ini akan diuraikan mengenai strategi penyusunan Register Nasional Cagar Budaya oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 2013-2016 serta hasil yang diperoleh, kemudian dilakukan kajian perbandingan dengan dua program lain yang serupa.

Strategi Program Penyusunan Register Nasional Cagar Budaya Tahun 2013-2016

Peraturan perundang-undangan yang mengatur pelestarian Cagar Budaya mengamanatkan bahwa pelestarian Cagar Budaya dilakukan secara otonomi daerah (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam Registrasi Nasional Cagar Budaya, serta pelestarian Cagar Budaya peringkat nasional. Oleh karena itu, secara logika implementasi peraturan perundang-undangan dalam kegiatan pemerintah sifatnya berupa sosialisasi dan pendukungan terhadap pelestarian Cagar Budaya di tingkat pemerintah daerah selain pelestarian Cagar Budaya peringkat nasional yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Strategi Direktorat Jenderal Kebudayaan pada penyusunan Register Nasional Cagar Budaya tahun 2013-2016 adalah menyerahkan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya ke pihak kabupaten/kota. Direktorat Jenderal Kebudayaan memberikan fasilitas peralatan pendaftaran dan melakukan pelatihan pendaftaran Cagar Budaya terhadap dua orang dari masing-masing kabupaten/kota. Berikut adalah pembagian kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya pada strategi tersebut.

Pembagian Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya

Pemerintah telah membentuk sistem jejaring (cagarbudaya.kemdikbud.go.id) yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mendaftarkan objek miliknya sebagai Cagar Budaya. Akan tetapi untuk dapat menetapkan suatu objek sebagai Cagar Budaya, dibutuhkan adanya Tim Ahli Cagar Budaya yang bekerja di pemerintah daerah. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Ahli Cagar Budaya dibantu oleh Tim Pendaftaran Cagar Budaya yang bekerja bagi pemerintah daerah untuk menyusun berkas pendaftaran objek sebagai dasar kajian Tim Ahli Cagar Budaya.

Direktorat Jenderal Kebudayaan telah mengadakan kegiatan-kegiatan pendukung pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya di daerah, antara lain workshop pendaftaran Cagar Budaya, fasilitasi pendaftaran Cagar Budaya, dan sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya. Pada dasarnya, kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan bersifat sosialisasi dan pelatihan terhadap dinas-dinas yang membidangi pelestarian Cagar Budaya di pemerintah daerah. Hingga tahun 2016, dari 548 pemerintah daerah di Indonesia, 380 pemerintah daerah sudah mengikuti workshop pendaftaran Cagar Budaya. Oleh karena itu, dapat dikatakan lebih dari setengah (69%) pemerintah daerah di Indonesia telah mengetahui peraturan perundang-undangan terbaru mengenai pelestarian Cagar Budaya.

Pencapaian Sosialisasi Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya. (ilustrasi Kepala Daerah diambil dari website kemendagri.go.id)

Kegiatan Direktorat Jenderal Kebudayaan berupa pendukungan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya (terutama workshop pendaftaran Cagar Budaya) kepada pemerintah daerah telah merangkul 69% pemerintah daerah di Indonesia. Pemerintah daerah yang telah membentuk Tim Pendaftaran Cagar Budaya sebanyak 516 pemerintah daerah (96%). Fasilitasi peralatan pendaftaran Cagar Budaya telah diberikan kepada 376 pemerintah daerah (68%). Tim Ahli Cagar Budaya telah dibentuk oleh 70 pemerintah daerah (57 kabupaten/kota dan 13 provinsi) atau 12% namun hanya 33 pemerintah daerah atau 6% yang telah memiliki tim ahli yang bersertifikat dan dapat merekomendasikan penetapan Cagar Budaya kepada kepala daerah. Pada akhir tahun 2016, hanya 15 pemerintah daerah (13 pemerintah kabupaten/kota dan 2 pemerintah provinsi) atau 2% yang melakukan penetapan Cagar Budaya. Berikut adalah grafik persentase pencapaian strategi pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan pada tahun 2013-2016.

Pencapaian Program Pendukungan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya
(Foto latar belakang karya Dwi Oblo dalam artikel Tambora, National Geographic Indonesia edisi April 2015)

Berdasarkan statistik yang ditampilkan melalui grafik tersebut, diketahui bahwa strategi penyusunan Register Nasional Cagar Budaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan belum menyentuh seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Prestasi terbaik dari strategi ini adalah bahwa 96% pemerintah daerah di Indonesia telah membentuk Tim Pendaftaran Cagar Budaya. Meseki demikian, baru 15 pemerintah daerah (13 pemerintah kabupaten/kota dan 2 pemerintah provinsi) atau 2% yang melakukan penetapan Cagar Budaya. Penetapan tersebut juga dilakukan sepihak oleh kantor dinas yang menangani pelestarian Cagar Budaya dan belum menyentuh properti masyarakat yang berpotensi untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Hingga saat ini belum ada pemerintah kabupaten/kota yang membuka pendaftaran Cagar Budaya bagi penduduknya sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Analisis Perbandingan dengan Kebijakan Nasional yang Lain

Analisis dilakukan dengan kebijakan nasional program e-KTP Kementerian Dalam Negeri dan program Tax Amnesty Kementerian Keuangan. Perbandingan tersebut dilakukan untuk mengkaji ulang program Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan melihat kekuatan dan kelemahannya. Berikut adalah analisis perbandingan perbandingan program pendaftaran Cagar Budaya dan dua program kebijakan nasional tersebut.

Program e-KTP

E-KTP atau KTP Elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan atau pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Proyek e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang terhadap negara dengan menduplikasi KTP-nya.

Program e-KTP oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri yang dilaksanakan sejak tahun 2011 merupakan proyek besar dengan tujuan merekam data penduduk Indonesia. Data tersebut kemudian digunakan untuk menerbitkan satu kartu identitas bagi setiap penduduk Indonesia (e-KTP).

Pelaksanaan perekaman data e-KTP terhadap penduduk dilakukan dengan fasilitasi peralatan dari Pemerintah (Kementerian Dalam Negeri). Pemerintah kabupaten/kota mendukung dengan anggaran, sosialisasi, sarana teknik informasi, personil pelayanan, dan penambahan daya listrik. Pemerintah kecamatan mendukung fasilitasi tempat pelayanan, listrik, personil keamanan, dan pengaturan jadwal perekaman data. Pemerintah desa/kelurahan mendukung dengan mobilisasi wajib KTP (mendistribusikan undangan dan melakukan koreksi data wajib KTP).

Berdasarkan berita di jejaring cnnindonesia.com, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menargetkan proses perekaman Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) akan selesai akhir tahun 2017. Masih menurut sumber yang sama, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif memaparkan proses perekaman data e-KTP telah mencapai 97 persen. Saat ini masih terdapat sekitar enam juta warga yang belum melakukan perekaman data.

Program Tax Amnesty

Berdasarkan jejaring pajak.go.id, amnesti pajak adalah program pengampunan yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak meliputi penghapusan pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan. Program ini disusun untuk membantu pemerintah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi. Hal ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Setiap wajib pajak mendaftarkan diri untuk berpartisipasi dalam program ini ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berjalan sembilan bulan sejak 1 Juli 2016 sudah berakhir, tepat pada tanggal 31 Maret 2017. Jumlah deklarasi harta dalam negeri tercatat sebesar Rp 3.676 triliun dan deklarasi harta luar negeri sebesar Rp 1.031 triliun. Repatriasi atau pengalihan harta tercatat mencapai Rp 147 triliun, sedangkan total uang tebusan yang masuk kas negara mencapai Rp 114 trilun, pembayaran tunggakan Rp 18,6 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp 1,75 triliun (Estu Suryowati, Kompas.com – 04/04/2017, 21:38 WIB).

Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan terhadap strategi penyusunan Register Nasional Cagar Budaya tahun 2013-2016 dan perbandingan dengan dua program nasional pada sektor lain, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Penyusunan Register Nasional Cagar Budaya belum memiliki masterplan.

Program pemerintah untuk mencatat seluruh Cagar Budaya di dalam dan di luar negeri tentunya harus disusun berdasarkan suatu masterplan yang terinci mengenai pelaksanaan dan jangka waktunya. Penyusunan masterplan dirasakan merupakan hal yang mendesak untuk segera dilaksanakan.

  1. Otonomi Daerah

Berbeda dengan program e-KTP dan program Tax Amnesty yang dilaksanakan secara terpusat oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, program penyusunan Register Nasional Cagar Budaya sangat bergantung kepada pemerintah kabupaten/kota. Pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya sebagai rangkaian penyusunan Register Nasional Cagar Budaya wajib dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, oleh karena itu diperlukan sistem untuk memacu pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan program tersebut. Berikut merupakan alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan:

  • Program penyusunan Register Nasional Cagar Budaya dapat dilakukan dengan jangka waktu tertentu, misal tahun 2018 untuk Pulau Sumatera, maka Direktorat Jenderal Kebudayaan memusatkan perhatian untuk mendukung pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatera untuk melakukan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya, tahun 2019 untuk Pulau Jawa, dan demikian seterusnya. Pendukungan Direktorat Jenderal Kebudayaan dapat berupa:
    1. Penempatan sumber daya manusia dan fasilitas oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan di setiap kabupaten/kota untuk melakukan pendaftaran Cagar Budaya (Tim Pendaftaran Cagar Budaya).
    2. Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya dan pendanaannya di Kabupaten/Kota yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan.
  • Program penyusunan Register Nasional Cagar Budaya secara serentak yang melibatkan Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia dalam penyusunan Register Nasional Cagar Budaya. Pembagian kewajiban dapat meniru strategi pengumpulan data pada program e-KTP, yaitu dengan fasilitasi peralatan dari pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Pemerintah kabupaten/kota mendukung dengan anggaran, sosialisasi, sarana teknik informasi, dan personil pelayanan. Pemerintah kecamatan mendukung fasilitasi tempat pelayanan, listrik, personil keamanan, dan pengaturan jadwal perekaman data. Hal ini pun hanya dapat dilakukan jika seluruh kabupaten/kota sudah memiliki Tim Ahli Cagar Budaya untuk melakukan kajian penetapan Cagar Budaya.

 

Kedua alternatif tersebut memiliki kunci yaitu koordinasi dengan Pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, diperlukan sistem koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal penyusunan Register Nasional Cagar Budaya.

Penutup

Penyusunan Register Nasional Cagar Budaya diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai suatu program yang mengedepankan otonomi daerah, berbeda dengan program e-KTP dan program tax amnesty yang dilakukan secara terpusat. Oleh karena itu, terdapat kesulitan terutama mengenai koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota agar melakukan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya. Terdapat juga kebutuhan untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi untuk melakukan register Cagar Budaya tingkat provinsi, yakni daftar resmi Cagar Budaya di kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut.

Berdasarkan permasalahan dan kajian perbandingan, maka dapat diperoleh usulan langkah-langkah yang dapat segera diambil, yaitu:

  1. Penyusunan masterplan program Penyusunan Register Nasional Cagar Budaya;
  2. Koordinasi dengan pemerintah daerah terutama kabupaten/kota untuk melaksanakan penetapan Cagar Budaya;
  3. Fasilitasi dari pemerintah terutama dalam hal SDM untuk melaksanakan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya di kabupaten/k