Betang Tumbang Gagu atau Betang Antang Kalang

0
10264

Betang Tumbang Gagu Secara administratif terletak di Desa Tumbang Gagu, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Betang Tumbang Gagu atau juga dikenal dengan sebutan Betang Antang Kalang, dibangun selama 7 (tujuh) tahun, dimulai pada tahun 1870 dan baru ditempati pada tahun 1878. Pada awalnya, betang ini ditempati oleh 6 (enam) kepala keluarga yang mendirikan bangunan tersebut, yakni (1) Boruk Dawut (2) Pangkong Iding Dandu (3) Singa Jaya Antang Kalang (4) Manis Bin Lambang Dandu (5) Rais Bin Lambang Dandu (6) Bunter dan Karamu.

Landscape Betang Tumbang Gagu

Salah satu pendiri betang yakni Singa Jaya Antang berasal dari daerah Sungai Kahayan di kampung Bukit Rawi, cucu dari Tamanggung Rawi. Singa Jaya Antang merupakan tokoh masyarakat Dayak Tumbang Gagu yang ikut terlibat dalam perjanjian rapat damai yang disebut sebagai Perjanjian Tumbang Anoi. Rapat dilaksanakan pada tanggal 22 Mei s/d 24 juli 1894 di Tumbang Anoi dan melibatkan hampir semua Suku Dayak yang berada di pulau Kalimantan, termasuk Malaysia dan Brunai Darussalam. Tujuan diadakan rapat ini adalah untuk menyelesaikan konflik di antara mereka, yang salah satu hasil kesepakatan rapat tersebut adalah pelarangan tradisi ngayau. Perjanjian Tumbang Anoi merupakan salah satu peristiwa penting dan bersejarah serta masih tersimpan dalam ingatan kolekstif  masyarakat Dayak di wilayah.

Betang Tumbang Gagu pada masa Zending Basel/Bazel 1930

     Betang Tumbang Gagu terletak di tepi Sungai Kalang dengan luas   lahan 1.880 m2,    berupa rumah panggung berbentuk persegi empat panjang dengan ukuran panjang bangunan 58,7 m, lebar 26,40 m, dan tinggi 15,68 m dari permukaan tanah. Pada bagian depan terdapat selasar yang memanjang dari tepi Sungai Kalang hingga ke betang dengan ukuran panjang 50,5 m dan lebar 160 m. Tiang – tiang penyangga betang terdiri atas tiang jihi dan tungket dengan jumlah keseluruhan sebanyak 256 tiang dengan ukuran yang bervariasi. Pada bagian depan rumah dan belakang rumah terdapat sebuah hejan atau tangga untuk menuju ke dalam betang, terbuat dari kayu ulin   utuh berukuran tinggi 7,10 m dengan diameter ± 35 cm dan memiliki 20 anak tangga. Pembagian ruang dalam betang terdiri atas balai kandang yang tepat berada di tengah bangunan. Di dalam balai ini terdapat 2 (dua) buah meriam yang dibeli oleh Antang Kalang, berukuran panjang masing-masing 153 dan 120 cm, diameter meriam masing-masing 20 dan 17 cm, dan ukuran lubang penyulut berdiameter 1,5 dan 0,8 cm.

Betang Tumbang Gagu

    Jumlah bilik dalam rumah betang ada 6 (enam) buah yangditempatkan di samping kiri dan kanan balai. Masing-masing bilik dimiliki oleh keenam pendiri betang,  dengan urutan, bilik pada bagian hulu hingga ke hilir masing-masing ditempati oleh Boruk Dawut, Pangkong Iding Dandu, Singa Jaya Antang Kalang, Manis bin Lambang Dandu, Rais bin Lambang Dandu, Bunter dan Karamu. Pada bagian depan bilik yang menghubungkan masing-masing ruang (balai kandang dan bilik-bilik)  terdapat aula  serta teras pada bagian belakang dan samping sebagai penghubung antara bangunan utama dan dapur yang dibuat terpisah dari bangunan utama. Pada sisi belakang dan samping betang, terdapat 6 (enam) dapur yang disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga yang ada pada waktu itu. Denah dapur mengikuti bangunan betang, berbentuk persegi empat panjang, masing-masing dapur saling berdempetan. Saat ini, dapur yang masih digunakan hanya tinggal dua saja, sedangkan yang lainnya mengalami kerusakan (sudah tidak layak pakai karena kondisi bangunan yang sudah rusak parah) bahkan ada yang sudah rubuh.

Tampak samping Betang Tumbang Gagu

Rumah Betang  pada umumnya berasosiasi dengan lumbung/lepau yang berada di dekat selasar (namun hanya tinggal tiang-tiangnya saja), sapundu, sandung, dan tiang pantar yang ditempatkan pada halaman depan. Jumlah Sapundu sebanyak 12 buah yang ditempatkan di dekat sandung atau biasa disebut sapundu gapit. Sedangkan sapundu  yang berada di tepi Sungai Kalang disebut sapundu lepas. Sandung berada di tengah-tengah halaman depan betang dan hanya berjumlah 1 (satu ) buah. Sementara Tiang Pantar berjumlah 9 (sembilan) tiang, berada di dekat sandung. Kondisi lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar, sebagian mengalami kerusakan berupa retak, patah dan pelapukan.

Bahan utama untuk pembuatan dan pendirian rumah  betang yaitu kayu ulin atau juga disebut kayu Besi (Eusideroxylon zwageri) dan kayu meranti (Shorea Dipterocarpaceae). Kayu ulin merupakan salah satu kayu yang terkenal kuat dan merupakan tanaman endemik yang hanya hidup di hutan Kalimantan dan Sumatera. Kayu ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter sampai 200 cm. Pohon ulin tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 400 m di atas permukaan laut dengan medan datar sampai miring. Pertumbuhan pohon ulin biasanya tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa. Pohon ulin juga tahan terhadap perubahan cuaca, suhu, kelembaban dan pengaruh air laut sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras. Penyebutan lain untuk kayu ulin di berbagai daerah antara lain bulian, bulian rambai, onglen (Sumatera Selatan), belian, tabulin, telian, tulian dan ulin (Kalimantan) Kayu ulin tahan akan serangan rayap dan serangga penggerek batang, tahan akan perubahan kelembaban dan suhu serta tahan pula terhadap air laut. Dengan kelebihan tersebut, maka wajar jika dikatakan kayu ulin disebut sebagai  kayu sepanjang masa dan kayu primadona. Kayu ini sangat sukar dipaku dan digergaji tetapi mudah dibelah.

Kayu Meranti termasuk dalam marga shorea, family dipterocarpaceae. Jumlah spesiesnya mencapai 130 jenis dan sebagian besar tumbuh secara alami di hutan Kalimantan dan Sumatera. Dalam dunia perdangangan, meranti dikenal dengan berbagai jenisnya, yaitu meranti kuning, meranti merah, dan meranti putih. Pohon meranti memiliki tinggi berkisar antara 30,40 m sampai 70 meter dengan batang lurus dan bulat, bebas  cabang  dari 20 sampai 30 meter. Pohon meranti mempunyai  diameter berkisar 50, 100, hingga 450 cm dan   memiliki daya tahan yang relatif baik, struktur yang agak kasar, kepadatan kayu rata-rata 630 kg/ m3, mengandung pigmen yang larut dalam air. Pada umumnya pohon meranti mengalami masa berbunga dan berbuah 4 – 7 tahun sekali dan termasuk jenis kayu yang keras dengan bobot rendah, sedang, hingga berat.

Ritual pada saat pendirian Betang

Upacara pada saat mendirikan betang pada saat mendirikan bangunan, dilakukan upacara mampendeng. Mampendeng artinya mulai mendirikan bangunan yang dimulai dengan pendirian jihi bakas hingga jihi busu. Menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju, bahwa ketentraman penghuni betang, lebih banyak ditentukan oleh cara/pekerjaan pada waktu memulai membangun/mendirikan betang yang disebut mampendeng, yang tujuannya agar menghuni betang selalu hidup tentram, aman, berkecukupan, murah rejeki dan lain-lainnya. Waktu pelaksanaannya sesaat sebelum mendirikan jihi, setelah jihi terakhir berdiri, maka disiapkan beberapa bahan seperti pahera paneweng, lakar rinjing ijr badare hapan uei anak, daren dawen enyuh ije inyewut/kambar sanggar, bindang bapetuk, edan sawang nyahu, tewu nyaru dan temu bulau. Bahan-bahan tersebut diikat pada jihit, dengan tujuan agar segala roh jahat tidak mendahului menghuni memasuki betang.

Upacara setelah betang selesai didirikan Lumpat Huma merupakan upacara yang dilakukan setelah betang selesai dibangun dan siap untuk dihuni. Upacara ini disebut lumpat huma karena upacara ini dilakukan pada waktu pertama kali memasuki betang, dengan tujuan agar selalu mendapat perlindungan dari Tuhan mendapat rejeki melimpah, aman tentram, dijauhkan dari segala macam bahaya.

Penempatan betang, bentuk bangunan dan pembagian ruang didalamnya tentu tidak dilakukan secara sembarangan termasuk makan ukiran yang terdapat di betang, namun  juga mempertimbangkan fungsi dan makna yang terkait erat dengan kepercayaan mereka, begitu pula dengan penempatan lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar, penempatan betang ditepi sungai merupakan hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat dayak, bahkan bisa dikatakan betang berorietasi dengan sungai, begitu pula dengan Betang Tumbang Gagu yang berada ditepi Sungai Kalang, selain hal tersebut juga dikarenakan sungai dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi dan transportasi yang menghubungkan masyarakat dengan dunia luar disamping itu kondisi geografis Kalimantan yang didominasi sungai-sungai besar mengharuskan masyarkat beradaptasi dengan lingkungannya. Betang yang merupakan rumah panggung, dengan tiang-tiang yang tinggi hingga mencapai 5,79 m dari permukaan tanah, dimaksudkan agar terhindar dari serang binatang buas dan serangan dari suku lain, karena pada waktu itu tradisi ngayau masih dilakukan oleh suku dayak (sebelum adanya perjanjian Tumbang Anoi).

Pembagian ruang di  dalam betang juga sangat terkait dengan kepercayaan serta sistem sosial/masyarakat, seperti Balai Kandang, penempatan balai yang berada ditengah-tengah bangunan berfungsi sebagai ruang tempat pelaksanaan upacara seperti tiwah, tempat pertemuan/musyawarah adat, perkawinan, pengobatan, kelahiran dan upacara lainnya, serta adanya jihi yang dianggap sakral juga terletak pada ruang ini. Penempatan bilik-bilik di samping kiri dan kanan balai kandang difungsikan sebagai ruang pribadi oleh masing-masing pendiri. Sedangkan penempatan bilik yang dibentuk berjejer (dari hulu ke hilir) juga menandakan status sosial seseorang. Sebagai contoh, penempatan bilik yang berada di tengah biasanya diperuntukkan bagi kepala adat atau pihak memiliki status sosial tinggi. Teras yang berada di depan balai kandang dan yang berada di belakang, biasa digunakan sebagai tempat menerima tamu dan juga difungsikan menjemur padi atau hasil ladang, serta sebagai penghubung antar ruang utama dengan dapur (Hartatik, 2013;50). Aula yang berada di depan bilik biasanya difungsikan sebagai tempat berkumpul bagi para penghuni betang. Ukiran pada betang hanya ditemukan pada bagian atap atau bubungan, berupa ukiran burung enggang atau tingang, menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju. Burung enggang atau tingang menggambarkan dunia atas, dan juga dianggap sebagai penangkal petir. Ukiran juga terlihat pada pinggiran sisi atap yakni dawen pangintar, yang dimaksudkan agar segala sifat-sifat iri, dengki, guna-guna dan lain-lain dari orang lain dapat dihindari atau dihalau.

Beberapa rumah panjang yang ada di Kalimantan seperti Lamin Mancong, Lamin Tolan di Kalimantan Timur, Randakng di Kalimantan Barat memperlihatkan asosiasi dengan benda-benda/bangunan lainnya seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar. Hal ini juga terlihat pada Betang Tumbang Gagu, dengan menempatkan Lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar di halaman depan betang. Pendirian sapundu, sandung dan tiang pantar saling terkait antara satu dengan lainnya dan biasanya terkait dengan pelaksanaan tiwah (upacara kematian). Dalam tradisi penganut kaharingan, kubur ditempatkan di halaman rumah dengan maksud agar keluarga yang ditinggalkan setiap hari bisa melihat dan menjaga kubur leluhurnya sehingga hubungan batin di antara mereka tidak terputus (Hartatik,2009:247).

Lumbung/lepau difungsikan sebagai tempat menyimpan padi, walaupun kini lepau sudah tidak digunakan seperti sebelumnya. Dengan adanya lumbung ini mengindikasikan bahwa penghuni betang ini dulunya bercocok tanam/berladang dengan sistem tadah hujan. Sementara pendirian sapundu mempunyai aturan-aturan sendiri, biasanya dalam pendirian sapundu mensyaratkan pengurbanan 1 (satu) ekor ayam. Sapundu difungsikan sebagai tiang pengikat binatang kurban pada saat upacara tiwah,  yang terdiri dari dua jenis sapundu, yakni sapundu gapit dan sapundu lepas. Sapundu gapit  ditempatkan di dekat sandung yang berfungsi sebagai tanda penguburan (lambang orang yang mendirikan sanding) sekaligus orang yang pertama  di-tiwah-kan. Jumah sapundu menunjukkan berapa banyak jumlah orang yang di-tiwah-kan, serta penggambaran tokoh manusia dianggap sebagai personifikasi si mati yang terkait dengan pekerjaan, kesenangan atau keahlian orang yang dikuburkan. Sedangkan sapundu lepas difungsikan sebagai tanda kebesaran atau penolak bala, yang juga erat kaitannya dengan jenis kerbau yang dikurbankan. Apabila Sapundu laki-laki, maka jenis kerbau yang dikurbankan adalah kerbau betina, begitupun sebaliknya (Hartatik,2000;58-60).

Pada Sapundu juga ditemukan adanya motif tetah/tangga terbalik  dalam jumlah tertentu, yang menunjukkan banyaknya kepala yang dipenggal oleh keluarga si mati. Kegiatan mengayau dilakukan untuk memberi kekuatan semangat jiwa kepada roh. Motif ini juga ditemukan pada sandung dan tiang pantar. Sanduang difungsikan sebagai tempat menyimpan tulang belulang manusia yang telah di-tiwah-kan. Selain motif tetah, juga ditemukan adanya motif tumpal di dinding sandung dan motif naga pada bagian atasnya. Simbol naga merupakan simbol dunia bawah dan sebagai petunjuk jalan bagi roh menuju ke lewu tatau. Tiang pantar merupakan tiang yang tinggi sebagai simbol tangga arwah menuju lewu tatau.