You are currently viewing Stasiun Ambarawa

Stasiun Ambarawa

Pendirian stasiun ini berhubungan erat dengan peran Ambarawa sebagai kota militer setelah pemerintah kolonial mendirikan Benteng Willem I pada 1840an. Ambarawa lambat laun berkembang menjadi garnisun militer yang penting. Selain itu, para pengusaha membuka perkebunan-perkebunan kopi di sekitar perbukitan Ambarawa. Akhirnya pemerintah kolonial membutuhkan sarana pengangkutan kereta api massal yang dianggap mampu meningkatkan mobilitas militer dan pengangkutan kopi.

Perusahaan keretap  Nederlandsch Indische Maatschapij (N.I.S.M) kemudian diminta oleh pemerintah kolonial untuk membuka sebuah jalur kereta baru ke arah Ambarawa. Permintaan itu dituruti oleh N.I.S.M dengan membuka jalur percabangan dari Kedungjati ke Ambarawa. Proses pembangunan dilalui secara berat karena harus harus menggali bukit dan mendirikan jembatan di atas sungai curam. Akhirnya pada 21 Mei 1873, jalur kereta Kedungjati – Ambarawa tuntas dibangun. Keberadaan stasiun ini berdampak pada lancarnya distribusi kopi dari perkebunan sekitar Ambarawa. Stasiun ini juga membantu mobilitas militer dan pengiriman berbagai barang kebutuhan militer seperti ransum, amunisi dan obat-obatan. Ambarawa selain sebagai kota militer dan perkebunan, juga merupakan tujuan wisata sejak masa kolonial. Dalam buku panduan terbitan Koninklijke Paketvaart Mij, para pelancong dianjurkan untuk berwisata di Ambarawa untuk menikmati pemandangan hamparan sawah luas berlatar danau Rawa Pening dan pegunungan di selatan Ambarawa. Di sore hari, dengan membayar sebesar f-4, para pelancong dapat berkendara mengelilingi kota dan mampir ke benteng Willem I. Sejak 9 Oktober 1976, Stasiun Ambarawa dimanfaatkan sebagai Museum Kereta Api. Tujuan dibukanya museum ini adalah untuk melestarikan berbagai tinggalan yang terkait dengan sejarah perkeretapian seperti lokomotif, gerbong kereta, dan barang-barang perkeretapian lainnya.

Bangunan Stasiun Ambarawa ketika baru dibuka masih sederhana. Memasuki abad 20, N.I.S.M merombak stasiun ini dengan bentuk yang terlihat seperti sekarang. Bangunan stasiun Ambarawa memiliki atap kanopi dari besi. Besi-besi tersebut dibuat di pabrik pengecoran logam di Amsterdam. Di bawah atap kanopi, terdapat dua bangunan. Bangunan sebelah timur digunakan untuk ruang administrasi, sementara bangunan sebelah barat digunakan sebagai ruang tunggu. Lantai stasiun terbuat dari ubin tegel yang didatangkan dari Maastricht, Belanda.

Stasiun Ambarawa memiliki dua jalur rel yang berbeda ukuran, yakni jalur rel 1435 mm di emplasemen selatan dan 1067 mm di emplasmen utara. Dari Kedungjati ke Ambarawa menggunakan rel 1435 mm, sementara dari Ambarawa menuju Yogyakarta melalui Magelang menggunakan  rel 1067 mm. Perbedaan ukuran jalur rel ini dikarenakan jalur kereta ke arah Bedono melalui medan yang berbukit dan supaya kereta mudah menanjak, maka jalur kereta dibuat berkelok.

Tulisan dan Foto : Lengkong Sanggar Ginaris (mahasiswa magang Pasca Sarjana Arkeologi UGM)