You are currently viewing Sekapur Sirih (Peninggalan Arkeologi Lereng Barat Gunung Lawu)

Sekapur Sirih (Peninggalan Arkeologi Lereng Barat Gunung Lawu)

Ketika Anda membaca buku berjudul “Peninggalan Arkeologi di Lereng Barat Gunung Lawu” terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, di dalamnya terdapat beragam informasi mengenai artefak peninggalan prasejarah, bangunan candi masa Hindu – Budha, serta konsep yang melatarbelakangi pembangunannya. Meskipun demikian, tidak semua tinggalan arkeologi di lereng barat Gunung Lawu tersebut dibahas secara mendalam pada buku ini.
Buku ini diilhami oleh sebuah Laporan Penelitian Proyek PPPT UGM No. 82 yang disusun pada tahun 1975/1976 dengan judul “Peninggalan-peninggalan Kebudayaan di Lereng Barat Gunung Lawu” yang dilakukan Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Laporan tersebut memuat bahasan tentang Megalitik yang diteliti oleh Sumijati Atmosudiro; Seni Bangunan dan relief diteliti oleh Ph. Subroto; Seni Arca diteliti oleh Djoko Soekiman; Sejarah dan Epigrafi diteliti oleh Riboet Darmosutopo; dan Kontinyuitas Unsur-unsur Kebudayaan diteliti oleh Inayati Adrisijanti. Dalam kesempatan ini disampaikan pula ucapan terima kasih dengan penuh rasa hormat kepada para pelopor penelitian tinggalan arkeologi di lereng barat Gunung Lawu.
Penulisan kembali Laporan Penelitian “Peninggalan-peninggalan Kebudayaan di Lereng Barat Gunung Lawu” dalam format baru dianggap perlu untuk mengantisipasi pemanfaatan yang kurang sesuai dengan makna yang terkandung pada tinggalan arkeologi tersebut serta menyarikan contoh baik yang pantas untuk ditiru dari relief ceritera. Dalam penulisan kembali, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah meminta bantuan para penulis laporan terdahulu. Walaupun tidak seluruh peneliti terdahulu dapat terlibat didalamnya, Dr. Riboet Darmosutopo dan Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro pada kesempatan ini dimohon untuk mentransfer pengetahuan maupun pengalamannya melalui buku ini.
Bahasan utama dalam buku ini adalah makna tinggalan arkeologi di lereng barat Gunung Lawu yang mencerminkan beberapa aspek kehidupan manusia pendukungnya kala itu. Di antara aspek kehidupan manusia tersebut adalah keyakinan terhadap kekuatan di luar kemampuan manusia. Dengan adanya kekuatan tersebut, manusia merasa perlu menjalin keselarasan dengannya melalui pembangunan tempat khusus untuk melakukan upacara-upacara tertentu. Tinggalan arkeologi yang memuat dengan jelas makna yang masih dapat dijadikan tuntunan baik moral maupun terkait dengan kearifan lokal bagi masyarakat saat ini adalah Candi Sukuh dan Candi Cetha. Makna tersebut tertuang di dalam bentuk bangunannya dan relief ceritera.
Candi Sukuh dan Candi Cetha sejak tahun 2015 telah menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional dengan ditetapkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 243/M/2015 tentang Penetapan Cagar Budaya Peringkat Nasional. Di dalam Surat Keputusan tersebut, Candi Sukuh disebut dengan nama Situs Candi Sukuh dan Candi Cetha disebut dengan nama Situs Candi Cetho. Meskipun demikian, di dalam buku ini digunakan sebutan yang selama ini telah dikenal oleh masyarakat, yaitu Candi Sukuh dan Candi Cetha. Bagi artefak lain yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya penyebutannya menggunakan istilah tinggalan arkeologi berupa situs atau candi.
Di dalam buku ini juga terdapat penyebutan beberapa istilah atau kata yang memiliki arti sama dengan penulisan berbeda. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidakpatuhan pada asas penulisan, perbedaan penulisan tersebut berdasar pada hasil kutipan dan penyesuaian dengan pemahaman pembaca terhadap suatu kata tertentu dalam bahasa Indonesia yang telah dikenal secara umum. Misalnya kata Çiwa – Siwa untuk menyebut salah satu Dewa Trimurti; Bhima – Bima untuk menyebut putra kedua Pandu; dan Çuddhamala – Suddhamala – Sudalama – Sahadewa – Sadewa untuk menyebut anggota Pandawa termuda.
Buku ini diharapkan dapat menjadi jembatan informasi pemahaman makna tinggalan arkeologi bagi masyarakat. Demikian pula sebaliknya, dengan memahaminya, masyarakat diharapkan berpartisipasi aktif untuk ikut melestarikan tinggalan arkeologi dan lingkungan sekitarnya serta memanfaatkannya sesuai dengan makna yang termuat di dalamnya.

Isi buku ini akan ditampilkan pada laman ini sehingga dapat dibaca masyarakat luas. Bab per bab akan diunggah secara bertahap. Masyarakat dapat mengakses informasi tentang buku ini dimanapun berada.