You are currently viewing Pengaruh Klasik di Kawasan Dieng

Pengaruh Klasik di Kawasan Dieng

Secara umum, masa Klasik (Hindu-Buddha) di Jawa Tengah tidak lepas dari Kerajaan Mataram Kuno. Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, keberadaan kerajaan Mataram Kuna telah jelas pada tahun 732 Masehi, sesuai dengan isi prasasti Canggal, Gunung Wukir, Magelang. Prasasti ini selain berisi penanggalan dengan candrasengkala “ҫruti indriya rasa” yang berarti 654 Saka. Selain prasasti Canggal, di Wilayah Jawa Tengah juga ditemukan prasasti yang tidak memiliki angka tahun, namun dilihat dari segi paleografi berasal dari masa yang lebih tua. Prasasti tersebut adalah prasasti Tuk Mas, yang ditemukan di daerah Grabag, Magelang. Prasasti ini beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta, yang berisi mengenai sanjungan terhadap tempat yang diibaratkan sebagai Sungai Gangga, yang dianggap sebagai sungai suci yang jernih airnya serta memuat berbagai simbol dalam agama Hindu seperti trisula, kamandalu dan teratai. Prasasti lainnya yaitu Prasasti Sojomerto, ditemukan di daerah Sojomerto, Kabupaten Batang. Prasasti ini beraksara Pallawa muda dan berbahasa Melayu Kuna. Berdasarkan Paleografi, prasasti ini diduga sejaman dengan prasasti-prasasti Sriwijaya, sehingga kurang lebih berasal dari abad VII Masehi. Prasasti ini menyebut nama tokoh Dapunta Selendra yang mengaku sebagai anak dari Santanu dan Bhadrawati, sedangkan isterinya bernama Sampula.

Pengaruh Masa Klasik (Hindu-Budha) tersebut juga sampai di Wilayah Kabupaten Banjarnegara meskipun tidak merata. Sebaran tinggalan masa Klasik (Hindu-Budha) di Kabupaten Banjarnegara terpusat di Kecamatan Batur. Kecamatan Batur merupakan kecamatan yang terletak di dataran tinggi Dieng. Di wilayah ini terdapat beberapa komplek percandian yang berlatar belakang agama Hindu.  Berdasarkan langgam bangunannya, candi yang dipandang sebagai bangunan Hindu tertua di kawasan propinsi Jawa Tengah adalah Percandian Dieng. Pendapat ini berdasarkan pada bentuk bangunan Candi Arjuna yang menunjukkan seni bangunan peralihan dari konstruksi bangunan kayu ke bangunan batu. Akan tetapi sebuah prasasti yang ditemukan di belakang Candi Arjuna berangka tahun 724 Ҫ atau 802 M. Padahal prasasti bertarikh 654 Ҫ atau 732 M yang ditemukan di Desa Canggal, Kabupaten Magelang menyebut dibangunnya sebuah candi. Candi itu adalah Candi Gunung Wukir yang sekarang sudah tidak utuh lagi. Dilihat dari sisanya tampak bahwa kaki candinya tidak diberi hiasan apapun, tidak ada susunan bingkai, dan tidak ada relief dekoratif. Hal ini sama dengan Candi Badut dan Candi Kalasan, sehingga ciri semacam ini dipandang sebagai ciri khas seni bangunan candi abad VIII M. Percandian Dieng yang sekarang terdiri atas Candi Semar, Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, Sembadra, Puntadewa, dan Bima. Gaya bangunan candi-candi tersebut bervariasi sehingga menimbulkan dugaan bahwa candi-candi tersebut tidak dibangun dalam waktu yang bersamaan. Satu candi yang unik dari segi seni bangunan yaitu Candi Bima. Candi ini secara arsitektur menunjukkan perpaduan antara gaya seni bangunan India Utara dan India Selatan, dengan ragam hias Jawa Kuna. Gaya India Utara ditunjukkan dengan bentuk sikhara yaitu bentuk atap candi yang tinggi dan bertingkat-tingkat. Gaya India Selatan ditunjukkan oleh hiasan kudu yang berbentuk menyerupai tapal kuda dengan hiasan relief kepala manusia ditengahnya. Relief semacam ini oleh beberapa ahli disebutkan gayanya mirip seni topeng di Jawa. Di kawasan Candi Dieng ini ditemukan prasasti berangka tahun 809 M, yaitu prasasti Kuti yang ditemukan di dekat Candi Arjuna. Prasasti ini menyebutkan tentang Gunung Dihyang sebagai pusat kegiatan religius, memiliki candi dan didukung oleh komunitas yang tinggal di desa perdikan. Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tersebut mempunyai kewajiban mengelola bangunan suci tersebut dengan dipimpin oleh pemuka agama. Selain prasasti tersebut, prasasti lain yang ditemukan di Kawasan Dieng adalah:

  1. Prasasti Wayaku (Dieng I), berangka tahun 776 Ҫ, berbahasa Jawa Kuno, berbahan batu dan sekarang disimpan di Museum Nasional Jakara dengan nomor inv. D:20 est 337.
  2. Prasasti Manulihi A (Dieng II), berangka tahun 786 Ҫ, berbahasa Jawa Kuno, berbahan batu. Tempat penyimpanan saat ini tidak diketahui, tetapi di Museum Nasional tercatat dengan nomor inv. Est.2012; DP.2526-2527.
  3. Prasasti Manulihi B (Dieng III), berangka tahun 792 Ҫ, berbahasa Jawa Kuno, berbahan batu. Tempat penyimpanan saat ini tidak diketahui, tetapi di Museum Nasional tercatat dengan nomor inv. Est.2102; DP.2528-2529.
  4. Prasasti Widihati (Panggon), berangka tahun 813 Ҫ, berbahasa Jawa Kuno, berbahan batu, tempat penyimpanan di Museum Nasional dengan no. Inv. D.30; est.197 dan 202.
  5. Prasasti Dieng IV, berangka tahun 1132 Ҫ, berbahasa Jawa Kuno.

Selain candi, temuan lain yaitu berupa struktur bangunan, baik yang masih utuh maupun sisa-sisanya, diantaranya petirtaan (tuk) Bimo Lukar dan watu kelir (berupa talud kuno dari batu andesit) yang terletak di wilayah administrasi Kabupaten Wonosobo serta susunan tangga batu yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan istilah Ondho Budho. Temuan lainnya yaitu berupa temuan lepas seperti arca dan batuan lepas sisa dari suatu bangunan. Beberapa temuan tersebut telah tersimpan di museum, namun masih banyak pula yang masih tersebar di pemukiman warga maupun areal persawahan.