You are currently viewing Pengaruh Agama dalam Arsitektur Candi Sewu

Pengaruh Agama dalam Arsitektur Candi Sewu

Isbania Afina Syahadati

Afinasyahadati.as.as@gmail.com

ABSTRACT

The various temples that exist in the archipelago, or to be precise in Central Java, have shown physical evidence of a kingdom and a belief. Where originally in the archipelago itself still adhered to the beliefs of dynamism and animism then experienced a shift after the entry of religion that was brought from India. These religions are Hinduism and Buddhism. Through this religion, it seems that it does not only affect its adherents. However, through religion it is also able to influence the architecture of a building such as a temple. Temples are usually used as places of worship, besides that some temples have functions as tributaries and hermitages. One form of the temple that is still thick with its religious background is Sewu Temple. Through a study of Sewu Temple, it can be seen that there are other elements besides a general description of the Buddhism it adheres to. Namely, in the form of Mahayana flow which is poured directly on the ornaments found in the Sewu Temple.

Keywords: Religion, Architecture, Sewu Temple

ABSTRAK

Berbagai candi yang berdiri di Nusantara, atau tepatnya di Jawa Tengah telah menunjukkan suatu bukti fisik dari adanya suatu kerajaan dan suatu kepercayaan. Dimana semula di Nusantara sendiri masih menganut kepercayaan Dinamisme dan Animisme kemudian mengalami pergeseran setelah masuknya agama yang dibawa dari India. Agama tersebut ialah agama Hindu dan Budha. Melalui agama tersebut ternya tidak hanya sekedar memberi pengaruh bagi pemeluknya. Akan tetapi, melalui agama ternyata juga mampu mempengaruhi arsitektur suatu bangunan seperi halnya candi. Candi biasanya digunakan sebagai tempat ibadah, selain itu beberapa candi memiliki fungsi sebagai pendharmaan dan juga pertapaan. Salah satu bentuk candi yang masih kental dengan latar belakang agamanya tersebut ialah Candi Sewu. Melalui kajian mengenai Candi Sewu, dapat diketahui adanya unsur lain selain gambaran umum mengenai agama Budha yang dianutnya. Yakni, berupa aliran Mahayana yang dituangkan langsung pada ornament-ornamen yang terdapat pada Candi Sewu tersebut.

Kata Kunci:  Agama, Arsitektur, Candi Sewu

PENDAHULUAN   

Candi Sewu terletak Dukuh Bener, Bugisan, Prambanan, Kabupaten Klaten. Kompleks Candi Sewu merupakan salah satu kompleks candi yang cukup lengkap. Hal ini dikarenakan pada Candi Sewu terdapat candi induk, perwara, dan unsur-unsur pelengkap lain yang masih bisa dijumpai. Tidak mengerankan bahwasanya kelengkapan tersebut menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Selain itu, Candi Sewu kerap lebih dikenal akan mitosnya yakni, berjumlah seribu candi. Sehingga kajian mengenai Candi Sewu sering dijadikan objek penelitian. Gambaran umum mengenai kompleks Candi Sewu ini memiliki 249 buah candi yang terdiri atas sebauah candi induk, delapan candi apit dan 240 candi perwara yang terbagi lagi menjadi empat deret, yakni deret I, deret II, deret III, dan deret IV. Pada deret I terdapat 28 bangunan candi perwara, deret II terdapat 44 candi perwara, deret III terdapat 80 bangunan candi perwara dan deret IV terdapat 88 bangunan candi perwara. Candi apit berada di antara deret II dan deret III dengan jumlah dua buah candi di setiap sisinya. Selain itu masih terdapat ornament-ornamen lain yang menghiasi candi, sehingga mampu menerangkan lebih lanjut mengenai pengaruh agama dalam arsitektur Candi Sewu.

METODE

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji pengaruh agama dalam arsitektur Candi Sewu ini menggunakan teknik pengumpulan data dan juga pengamatan secara langsung. Hasil pengamatan tersebut nantinya dijabarkan ke dalam bentuk deskripsi tertulis. Selanjutnya, data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif-analitis. Metode tersebut merupakan prosedur penelitian dengan cara menggambarkan objek penelitian dan dilakukan langkah-langkah analitis guna menganalisa objek tersebut dengan dibantu oleh beberapa literatur. Literatur yang digunakan pun berbagai bentuk jenisnya, seperti buku, jurnal, makalah, dan juga skripsi. Meskipun penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, maka diharapkan kedepannya masih ada penelitian serupa yang nantinya mampu menyempurnakan hasil tulisan ini.

HASIL PENELITIAN

  1. Sejarah Candi Sewu

Candi Sewu dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno, tepatnya pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, diperkiran candi ini dibangun pada abad ke-8. Melalui latar belakang kerajaan Mataram Kuno, dengan didukung berbagai prasasti yang ditemukan seperti Prasasti Canggal yang ditemukan  di Gunung Wukir di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Pada prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa dan berbahasa Sansekerta. Pada prasasti tersebut juga telah menyebutkan raja Sanjaya yang beragama Siwa, yang mendirikan sebuah lingga di bukit Sthiranga. Selain prasasti Canggal, Adapun prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung pada tun 907 Masehi. Pada prasasti tersebut telas disebutkan daftar nama-nama raja yang memerintah di Medang. Dalam daftar tersebut, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya disebut pertama, yang kemudian diikuti oleh sederetan nama raja yang bergelar Sri Maharaja. Rakai Mtaram Sang Ratu Sanjaya dianggap sebagai pendiri dinasti Sanjaya yang berkuasa di kerajaan Mataram Kuno. Kemudian, adapun Rakai Panangkaran Sankhara Sri Sangramadhananjaya yang merupakan putra Sanjaya yang berganti agama dari Siwa ke Budha Mahayana.

Kompleks Candi Sewu terdiri atas candi induk, candi apit, candi perwara, dan arca dwarapala. Pada susunan pembangunan candi ini juga terlihat konsentris yakni, penempatan candi induk berada pada bagian tengah. Merujuk kata candi, istilah candi ini diyakini berasal dari kata candika, yaitu salah satu dewi durga atau dewi kematian. Oleh karenanya beberapa candi memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan. Meskipun Candi Sewu ini bernama candi seribu, namun apabila dihitung secara keseluruhan jumlahnya hanya 249 buah. Hal tersebut demikian, dikarenakan penamaan Candi Sewu tidak terlepas dari mitos yang ada hingga saat ini.

2. Latar Belakang Agama Candi Sewu

Latar belakang dari Candi Sewu dapat diketahui melalui ciri-ciri dari bangunan candi tersebut. Berdasarkan ciri-cirinya, dapat dipastikan bahwa Candi Sewu berlatar belakang agama Budha. Agama Hindu dan Budha yang berasal dari India ini masuk ke Nusantara tanpa melalui paksaan atau penjajahan. Dimana semula pada saat itu system pemerintahan di Nusantara dipegang oleh suatu kerajaan maka perkembangannya pun terbilang cukup pesat. Peninggalan candi mampu dijadikan bukti secara fisik bahwa telah adanya unsur agama baru yang kemudian berkembang dengan masih menyesuaikan kebudayaan setempat. Selain itu, agama Hindu mapun Budha ini juga memiliki aliran tersendiri. Dimana aliran tersebut menunjukkan karakteristik dari suatu kepercayaan yang diyakininya.

Setelah dikaji lebih mendalam, bahwasanya agama Budha yang berkembang pada masa Candi Sewu ini merupakan aliran Mahayana. Hal ini terlihat dari karakteristik Budha Mahayana antara lain dikenalnya Bodhisatwa dan pencapaian tingkat kebudhaan yang bersifat universal atau dilakukan secara bersama-sama. Dalam aliran Mahayana terdapat konsep terkait dengan adanya konsep yang bertolak belakang atau yang kerap disebut nondualisme. Konsep tersebut digabarkan seperti dengan adanya siang dan malam, maskulin dan feminism. Meskipun demikian, pada Candi Sewu ini setelah dikaji lebih lanjut juga menggambarkan dua perwara yang berbeda. Namun, melalui konsep nondualisme tersebut lebih menitikberatkan pada pemahaman mengenai kesadaran bahwa tidak ada unsur yang saling bertolak belakang, yang ada ialah merupakan suatu realitas. Sehingga dianggap sebagai pelengkap satu sama lain.

3. Arsitektur Candi Sewu

Meminjam pengertian De Architectura (munurut Vitruvius),menyatakan bahwa desain arsitektur merupakan kesatuan antara aspek keindahan/estetika (veusitas), kekuatan (firmitas), dan kegunaan/fungsi (utilitas). Selain itu, dalam arsitektur juga perlu memperhatikan kontruksi bangunan. Dimana kontruksi bangunan ini juga perlu adaptasi sesuai dengan lingkungan bangunan tersebut. Sedangkan pada desain arsitektur mampu mencerminkan karakter dari tujuan atau maksud dibangunnya suatu bangunan. Hal tersebut juga berlaku bagi arsitektur candi, khususnya Candi Sewu. Menurut Soekmono (1973) Pembangunan suatu candi dipimpin oleh seorang Yajamana (pimpinan). Yajamana ini masih membawahi dua orang arsitek yang disebut dengan nama Sthapaka (arsitek pendeta). Dan Sthapati (arsitek perencana). Tugas utama dari Sthapaka ini sendiri ialah membuat persiapan yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual sebelum dimulai dibangunnya suatu candi. Sedangkan Sthapati bertanggung jawab atas proses fisik perencanaan dan pembangunan. Selain itu, Sthapati masih membawahi Sutragahin (pelaksana dan pemimpin umum teknis teknis), Vardhakin (perancang seni hias) dan Thasaka (ahli pahat). Hal inilah yang menunjukkan bahwasanya desain candi melibatkan unsur fisik dan juga metafisik. Arsitektur candi tidaklah terlepas dari India, mengingat Agama Hindu maupun Budha berasal dari India. Oleh karenanya, tidak dipungkiri juga bahwa sumber referensi desain-teknologi arsitektur candi juga berkiblat dari India. Pada Candi Sewu, landasan yang digunakan dalam desain ialah mandala. Mandala sendiri berkaitan dengan sifat suatu candi.

Melalui konsep dualitas merujuk pada sinkritisme-tantrayana seperti pemujaan Siwa dan Budha, maskulin-feminim. Nilai-nilai yang terkandung pada dualitas sebenarnya dapat dipahami bahwa konsep tersebut mendasari tradisi Jawa. Pada komplek Candi Sewu ini terdapat arca Dhyani Budha, dimana 50 arca yang terdiri atas 46 arca Dhyani Budha dan 4 arca Bodhisatwa. Kedua arca tersebut dapat dibedakan melalui jenis pakaian yang dikenakan dan juga asananya. Pada arca Dhyani Budha digambarkan dengan asana vajrasana (Jawa: sila tumpeng) dan pakaian yang sederhana, seperti jubah yang disebut dengan triwicara. Arca Bodhisatwa dapat diketahui melalui sikap duduknya yakni, paryangkasana (bersila). Sedangkan untuk pakaiannya araca Bodhisatwa ini terlihat lebih raya apabila dibandingkan dengan arca Dhyani Budha. Selain itu pada bagian perwara Candi Sewu ini juga memiliki unsur yang saling melengkapi seperti dengan adanya keben dan stupa, bentuk atap kumis militer dengan lereng bangku, kala dengan makara. Dari berbagai ornament-ornamen candi ini tidak hanya sekedar menggambarkan mengenai dualisme seperti halnya dalam aliran Mahayana itu sendiri. Melainkan setiap ornament juga memiliki makna tersirat seperti penempatan hiasan kaben yang diletakkan pada bagian atap yang berada pada tingkatan yang paling bawah sedangkan pada hiasan stupa ditempatkan pada bagian paling atas. Hal ini mampu dijelaskan bahwasanya penempatan ornament tersebut menggambarkan proses perjalanan manusia dari dunia yang fana menuju alam kedewataan. Sementara itu, selain ornament tersebut, aspek perempan selalu dikaitkan dengan aspek laki-laki. Melalui keberadaan dua unsur yang saling melengkapi tersebut juga merupakan salah satu rangkaian proses pencerahan yang dikenal dengan prajna dan upaya. Kata prajna memiliki arti kebijaksanaan dan pengetahuan mendalam serta symbol bagi sifat feminim. Sama halnya perempuan dapat diartikan dengan vama yang berarti kiri dan keindahan. Sedangkan upaya dapat berarti cara atau jalan dalam mencari pencerahan yang disamakan dengan kanan.

KESIMPULAN

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya, banyak candi menggambarkan suatu makna yang disajikan secara tersirat. Sehingga masih perlu adanya suatu penelitian lanjutan. Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa keberadaan Kompleks Candi Sewu ini telah menggambarkan suatu konsep nondualisme. Dimana konsep tersebut digambarkan melalui bentuk arsitektur candi itu sendiri. Konsep nondualisme tersebut merupakan karakter dari agama Budha aliran Mahayana. Dimana konsep ini menjelaskan sifat yang bertolak belakang. Hal ini sangat sesuai dengan berbagai ornament yang terdapat pada bangunan Candi Sewu. Selain itu, Candi Sewu yang kental akan agama Budha ini juga masih membawa unsur kebudayaan sesuai dengan tempat dibangunnya candi tersebut yakni, Jawa Tengah. Beberapa unsur bangunan candi juga menunjukkan makna filosofis yang dapat dijelaskan melalui kosmologi Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Artbanu Wishnu Aji, Candi-Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 2018.

Ashar Murdihastomo, Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara di Kompleks Candi Sewu, Kalpataru, Vol.27 No.2, November 2018.

Bertha L.A Wasisto, “Candi Boyolangu: Tinjauan Arsitektur dan Arkeologis”, Skripsi, Depok: UI, 2009.

Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna: Tinjauan Prasasti Kalasan, Sejarah dan Budaya, Tahun ketujuh No.2, Desember 2013.

I Noman Widya Paramahyaaksa, dkk, ‘’Kajian Komperehensif Tentang Makna Filosofis Arsitektur Candi Jawa’’, Laporan Hasil Penelitian Hibah Fundamental, Bali: Universitas Udayana, 2013.

Jacques Dumarcay, Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Buda di Jawa Tengah, Jakarta: Gembira, 1986.

M. Darmawan, dkk, Atlas Budaya Edisi Candi: Meneropong Candi dari Aspek Geospasial Tahun 2015. Cibinong: Badan Informasi Geospasial, 2015.

Rahadhian PH, Candi Prambanan dan Candi Sewu dalam Prespektif Arsitektur, ___________:__________, ______.