You are currently viewing Kriya Tanah Liat

Kriya Tanah Liat

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Dilihat dari proses pembuatannya kriya tanah liat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelompok dengan dan tanpa melalui proses pembakaran. Akan tetapi data arkeologis berupa kriya tanah liat tanpa dibakar jarang dijumpai. Kriya tanah liat bakar secara umum disebut keramik (ceramic). Akan tetapi sebenarnya keramik masih dibedakan lagi berdasarkan bahan dan suhu pembakarannya menjadi earthenware, stoneware, dan porcelain.

Earthenware (grerabah, tembikar, atau terakota) merupakan keramik yang dibuat dari bahan dasar lempung (tanah liat) tidak murni, disebut temper tertentu, dan dibakar suhu antara 350˚-1000℃. Stoneware adalah keramik yang dibuat dari bahan dasar tanah liat yang bersifat silika dan dibakar pada suhu 1.150˚-1300℃. Faktor bahan dan suhu pembakarannya, menyebabkan daya serap air pada Stnoeware lebih kecil dari gerabah, tingkat kekerasannya pun lebih tinggi dari gerabah. Porcelain (Porselin), adalah keramik yang dibuat dari campuran antara tanah liat putih jenis kaolin yang mengandung mineral silika, aluminium, feldspar, dan kwarsa. Suhu pembakaran untuk jenis porselin antara 1.250˚-1.400℃, sehingga tidak menyerap air dan mempunyai daya tahan terhadap bahan yang bersifat asam.

Teknologi gerabah dapat digolongkan sebagai teknologi penambahan, dengan bahan baku tanah liat dan temper yang dapat berupa pasir, sekam padi, atau remukan gerabah (grog). Teknik pembuatan gerabah yang sudah dikenal dengan teknik tangan (hand made) kemudian tenkin tatap-pelandas ( Paddle and anvil), dan yang paling akhir adalah teknik tatap pelandas kemudain dipadukan dengan teknik roda putar lambat ( Potter’s Wheel). Dalam perkembangannya teknik tangan tidak begitu saja ditinggalkan, tetapi terus diterapkan dan dipadukan dengan teknik – teknik yang kemudian dikenal. Pada masa selanjutnya selain teknik roda putar lambat, dikenal pula teknik roda putar cepat. Metode roda putar yang dipadukan dengan tatap-pelandas merupakan teknologi gerabah yang kini masih digunakan oleh kelompok perajin gerabah di beberapa wilayah di Jawa Tengah, misalnya pengarjin gerabah di Pager Jurang (Bayat), Mayong (Jepara), dan Ayam Putih (Kebumen) . Hasil kriya gerabah seringkali mempunyai hiasan yang dibuat dengan berbagai teknik, misalnya teknik tera, cungkil, gores, tempel dan lukis. Penyelesaian permukaannya dapat dilakukan dengan cara diupam, diberi slip atau diglasir. Teknik lukis dan penggunaan glasir paling sering dijumpai pada benda-benda jenis porselin.

Teknik yang digunakan untuk menghasilkan gerabah seperti diuraikan diatas digunakan pula dalam pembuatan Stoneware dan porselin. Dapat dikatakan pula bahwa teknologi keramik telah mencapai fase morfostatis, artinya telah mencapai tahap yang stabil dan tidak berkembang lagi. Jadi teknologi yang digunakan untuk membuat gerabah pada masa prasejarah sama dengan yang digunakan pada masa sekarang. Dengan demikian juga terdapat persamaan antara teknologi gerabah dengan porselin, perbedaannya hanya terletak pada jenis bahan dan suhu pembakarannya.