You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Arca dan Penyebarannya (2)

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Arca dan Penyebarannya (2)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Secara garis besar, dewa-dewa dalam agama Hindu dapat dikelompokkan menjadi dewa utama (major deities). Termasuk di dalam kelompok dewa utama adalah Dewa Trimurti, yang terdiri atas Brahma, Siwa, dan Wisnu, sedangkan yang termasuk dewa tidak utama adalah para sakti dewa, anak dewa, dan dewa-dewa pengiring yang jumlahnya sangat banyak.

Dalam agama Hindu, Brahma dianggap sebagai dewa pencipta alam semesta, karena di dalam dirinya terkandung benih kehidupan (hiranyagarbha). Selain itu, Brahma juga disebut sebagai swayambu, yaitu yang menciptakan dirinya sendiri brahma digambarkan caturmukha (berkepala empat), masing-masing kepalanya menggambarkan keempat kitab suci Weda, Rig Weda (timur), Yajurweda (selatan), Samaweda (barat), dan Atharwaweda (utara). Ia sering digambarkan bertangan empat, satu di antaranya memegang kamandalu (kendi) yang dipercaya berisi air kehidupan. Dikisahkan bahwa seluruh alam semesta “keluar” dari air di dalam kendi tersebut. Satu tangan lainnya membawa aksamala (tasbih) yang menggambarkan perjalanan waktu. Wahana Brahma adalah kereta yang ditarik tujuh ekor hamsa (angsa putih) yang melambangkan tujuh loka (dunia). Sakti (istri) Brahma adalah Saraswati, yang dipercaya sebagai dewi kesenian sehingga sering digambarkan membawa vina (alat musik).

Dewa kedua dalam Trimurti adalah Wisnu yang dipercaya sebagai dewa pemelihara dunia. Dalam kitab Rigweda dari India. Wisnu disamakan sebagai matahari yang mempunyai tiga tahap putaran (terbit, kulminasi, dan terbenam). Dalam melaksanakan tugasnya memelihara dunia, Wisnu turun ke dunia dalam beberapa bentuk. Bentuk penjelmaan Wisnu tersebut dapat dikelompokkan menjadi awatara (penjelmaan Wisnu dalam bentuk fisik yang sempurna), awesa (penjelmaan wisnu hanya untuk sementara waktu saja), dan amsa penjelmaan Wisnu dalam bentuk kekuatan). Namun demikian, yang dikenal secara meluas adalah penjelmaan Wisnu ke dalam berbagai bentuk yang disebut awatara. Sebenarnya terdapat 22 awatara Wisnu, akan tetapi yang dikenal secara luas hanya sepuluh saja (disebut dasawarta) yang terdiri atas matsya (sebagai ikan), kurma (sebagai kura-kura), wamana (sebagai kerdil), waraha (sebagai babi hutan), Narasinghamurti (sebagai manusia berkepala singa) Parasurama, Rama, Krishna, Buddha, dan Kalki (penjelmaan Wisnu yang akan datang).

Dalam pengarcaanya, Wisnu sering digambarkan bertangan empat. Dua tangannya masing-masing membawa sangka dan cakra., sedang dua tangan lainnya bersikap abhayamudra atau varamudra atau anjalimudra. Sangka dan cakra sebagai laksana Wisnu sering kali digantikan dengan gada atau padma. Wahana Wisnu adalah Garuda Suparna dan Sakti Wisnu adalah Dwi Laksmi atau Sri.

Dewa Siwa adalah dewa tertinggi dalam Trimurti dan dianggap sebagai dewa penghancu dunia. Ia merupakan dewa yang paling banyak pemujanya, dan digambarkan dalam berbagai bentuk. Pada jaman Weda di India misalnya Siwa digambarkan sebagai Rudra yang menakutkan dan kejam. Penggambaran Siwa lainnya adalah sebagai Pasupati (dewa pelindung binatang), Mahadewa (dewa tertinggi), Iswara atau Maheswara (‘’Tuhan’’ yang tunggal), Trilocana (yang mempunyai mata ketiga), Mahakala (penguasa waktu), Bhairawa (raksasa yang menakutkan), dan masih banyak lagi. Dalam pengarcaanya Siwa sering digambarkan bertangan empat, masing-masing tangan memegang trisula (tombak bermata tiga), camara (seperti kebut lalat), aksamala (tasbih), dan kamandalu (kendi). Laksana yang lainnya adalah jatamakuta (mahkota yang dibentuk dari jalinan rambut), ardhacandrakapala (tengkorak di atas bulan sabit yang diletakkan pada bagian muka mahkotanya), dan ajina (pakaian dari kulit binatang). Laksana Siwa yang telah disebutkan dapat digolongkan ke dalam laksana standar. Dalam kenyataanya, karena Siwa digambarkan dengan berbagai bentuk, maka laksana yang digambarkan pun bervariasi, sesuai dengan penggambaran perwujudannya. Wahana Siwa adalah lembu jantan Nandi, sakti Siwa adalah Parwati dan putranya adalah Ganesa. Di India, Siwa digambarkan mempunyai sakti lain, selain Parwati, yaitu Dewi Gangga dan mempunyai putra Kartikeya. Akan tetapi kedua dewa tersebut, Dewi Gangga dan Kartikeya, tidak populer di Indonesia. Bentuk perwujudan Parwati yang paling populer di Jawa adalah Durgamahisasuramardhini, yang berarti Durga yang mengalahkan raksasa Mahisa. Durga merupakan aspek ugra (marah) Parwati yang muncul untuk mengalahkan raksasa Mahisa. Dalam penggambarannya, Mahisa diwujudkan dalam bentuk raksasa yang keluar dari kepala lembu yang diinjak Durga. Durga juga digambarkan bertangan banyak, masing-masing tangannya membawa senjata yang merupakan hadiah para dewa sebagai sarana untuk mengalahkan raksasa tersebut.

(keterangan foto : arca Siwa dan Parwarti)