You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Masa Pengaruh Islam

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Masa Pengaruh Islam

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Wilayah Jawa Tengah secara formal dikenal sebagai pusat awal berkembangnya pengaruh kebudayaan Islam di Jawa, terutama dengan berdirinya kerajaan Demak sekitar tahun 1476 TU. Sebelum Demak muncul sebagai kerajaan Islam, daerah ini merupakan vasal Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi, daerah yang semula bernama Bintoro ini diberikan oleh Raja Majapahit kepada Raden Patah, salah seorang kerabat Majapahit.

Kerajaan ini terbukti menjadi kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang tidak saja menurunkan raja-raja Islam berikutnya, tetapi juga mendorong tumbuh dan berkembangnya ajaran agama Islam yang disebarkan oleh para wali yang kemudian dikenal dengan nama walisanga. Pada masa kejayaannya, para wali ini tidak hanya berpengaruh dalam menyebarkan agama Islam, tetapi juga mempunyai pengaruh besar dalam pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, para wali bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panebahan Palembang Sayidin Panatagama.

Pusat kerajaan Demak terletak di daerah Bintara, di muara Sungai Demak, antara Bergota dan Jepara bergota adalah sebuah Pelabuhan yang pada masa Mataram Kuna pernah menjadi Pelabuhan ekspor. Adapun Jepara kemudian berkembang menjadi Pelabuhan penting bagi kerajaan Demak.

Penguasa Demak setelah Raden Patah adalah Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, yang memerintah sangat singkat dan kemudian digantikan oleh Sultan Trenggana. Menurut Serat Kandha, Sultan Trenggana adalah saudara pangeran Sabrang Lor. Keduanya adalah putra penguasa pertama, yaitu Raden Patah. Sultan Trengganapada tahun 1504 TU telah memegang pemerintahan, menurut berita Portugis, pada tahun 1546 M gugur dalam ekspedisi Panarukan. Dalam masa pemerintahanSultan Trenggana, wilayah kerajaan tela diperluas ke seluruh tanah Jwa bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Daerah-daerah di Jawa, baik daerah pantai utara maupun pedalaman, berada dibawah hegemoni Demak. Kota-kota Pelabuhan penting yang enjadi pusat perdagangan di bawah dominasi Sunda Kelapa, dan yang masih dalam penguasaan raja Sunda, dapat ditaklukkan pada tahun 1527 TU. Penaklukkan tersebut dilakukan oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fadilah Khan.

Pelabuhan yang penting di Jawa Timur, yaitu Gresik dan daerah di sekitar Sungai Serayu menyatakan tunduk kepada Demak. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa, seperti Palembang dan Banjarmasin juga mengakui Demak. Demikian pula daerah Jawa bagian selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, Panjang berhasil dikuasai berkat usaha pemuka Islam yang bernama Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat.

Keberhasilan pengusa Islam di Demak dibuktikan pula melalui karya budaya fisik berupa Masjid. Masjid Agung Demak yang berada di pusat kerajaan dianggap sebagai symbol kebesaran kekuasaan kerajaan yang bercorak Islam, apalagi masjid ini memiliki nilai legitimasi yang tinggi karena pembangunnaya diprakarsai oleh Walisanga.

Seperti disebutkan di atas, pada tahun 1546 TU, dalam penyerbuan ke Panarukan, Sultan Trenggana terbunuh. Wafatnya Sultan Trenggana memberi peluang perebutan kekuasaan antara keturunan Pangeran Lor atau Sekar Seda Lapen yang merasa berhak atas tahta kerajaan Demak. Bupati Jipang (Blora), sedangkan tokoh keluarga tokoh Sultan Trenggana yang berasal dari Pajang, yaitu Jaka Tingkir dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Adiwijaya. Pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke daerah pedalaman, yaitu Pajang. Nama Pajang sebenarnya tak pernah disebutkan dalam prasasti Penambangan tahun 903 TU, alam prasasti tersebut dinyatakan bahwa letak Pajang berada dalam perjalanan menyebrangi sungai dengan perahu tambang, karena itu terdapat jalan perdagangan lama yang bersilangan dengan bagian udik Bengawan Solo dari distrik Wonogiri.

Dengan tergesernya pusat kerajaan dari Demak ke Pajang ada pengaruh-pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Indonesia pada umumnya, dan sejarah di Jawa Tengah pada khususnya yaitu,

  1. Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris.
  2. Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, dan dengan demikian juga peranan pedagang dan pelayaran di Jawa.
  3. Menimbulkan pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad XVII TU dengan segala akibatnya.

Jaka Tingkir sebagai pendiri Kerajaan Pajang banyak memperoleh bantuan dari ki Gede Pemanahan dalam mengalahkan Arya Panangsang. Sebagai balas jasa maka Ki Gede Pemanahan mendapatkan daerah di sekitar Yogyakarta, dan menjadi bupati di daerah tersebut dengan Kota Gede sebagai tempat kedudukannya.

Perkembangan selanjutnya terjadi perang antara Pajang dengan Sutawijaya, putera ki Gede Pemanahan, yang merasa cukup kuat dengan merangkul daerah-daerah yang sudah tidak setia untuk memberontak. Akhirnya pada tahun 1586 TU Sutawijaya berhasil menaklukan Pajang, dan berdirilah kerajaan Mataram di Kotagede (1586-1601 TU) Sutawijaya sebagai raja raja pertama bergelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Setelah Sutawijaya wafat digantikan oleh Mas Jolng (Panembahan Seda Krapyak), yang memerintah dari tahun 1601-1613 TU. Pada masa ini kedudukan Mataram mengalami kemunduran.

Raja terbesar kerajaan Matarm adalah Sultan Agung Anyakrakusuma (1613-1645 TU). Masa pemerintahan Sultan Agung dibedakan menjadi dua periode yaitu masa penyatuan negara (1613-1629 TU), dan masa pembangunan negara (1629- 1645 TU). Masa penyatuan negara merupakan masa peperangan untuk mewujudkan cita-cita penyatuan Pulau Jawa. Adapun masa pembangunan negara merupakan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Usaha pertama Sultan Agung dalam rangka meluaskan pengaruhnya ialah melakukan ekspedisi militer ke daerah Jawa Timur. Daerah-daerah yang berhasil dijadikan daerah di bawah pengaruhnya adalah Pasuruan, Lumajang, Madura. Adapum Lasem bersama pasuka Jawa Timur lainnya, ketika berusaha menyerang Mataram berhasil ditahan berkat bantuan Pajang. Pada tahun 1619 TU daerah Tuban berhasil dikusai oleh Sultan Agung, sehingga dengan demikian praktis daerah Jawa bagian Timur jatuh ke dalam kekuasaanya.

Pada tahun 1641 TU raja Mataram memperoleh gelar sultan dari syarif Mekah. Hal ini dianggap perlu karena raja Banten, Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir, telah lebih dulu memperoleh gelar sultan dari syarif Mekah. Gelar sultan diperoleh dengan mengirim utusan ke Mekah. Utusan ini dapat berangkat atas bantuan kantor dagang Inggris yang diperbolehkan membuka loji di Jepara.

Salah satu usaha yang sangat berharga bagi penelitian sejarah ialah perintah Sultan Agung kepada pujangga-pujangga Mataram untuk menulis sejarah Jawa (Babad Tanah Jawi) yang mengisahkan tentang masa pemerintahan Sultan Agung, Babad Tanah Jawi dikerjakan dari tahun 1641 TU sampai dengan 1645 TU.

Sultan Agung wafat pada tahun 1645 TU dan dimakamkan di Imogiri (dekat Yogyakarta). Setelah Sultan Agung wafat, Kerajaan Mataram mengalami kemunduran yang disebabkan karena pemberontakan dan perebutan tahta kerajaan. Pemberontakan yang terkenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Trunajaya (1674-1679 TU). Trunajaya berasal dari Madura, keturunan Bupati Cakraningrat yang menghendaki daerahnya sebagai daerah merdeka. Pada saat itu Mataram diperintah oleh Amangkurat I (1645-1677 TU) dan Amangkurat II (1677-1703 TU). Penyerangan ke Jawa Tengah berhasil menguasai ibukota Mataram di Plered. Amangkurat I menyingkir ke Batavia untuk meminta bantuan kepada Belanda, namun, di daerah Tegalwangi ia wafat sehingga disebut sebagai Sunan Tegalwangi. Permintaan bantuan diteruskan oleh putra mahkota, dan oleh Belanda ia dinobatkan sebagai Amangkurat II, tetapi harus menandatangani perjanjian yang sangat merugikan Mataram.

Amangkurat II kembali ke Jawa Tengah dengan perlindungan Cornelis Spellemen. Dari pelabuhan Jepara pihak Belanda menyerbu Trunajaya di Jawa Timur. Akibat tekanan terus menerus dari lawan, akhirnya Trunajaya menyerah. Di samping menghadapi pemberontakan Trunajaya, Mataram juga menghadapi pemberontakan oleh Pangeran Kajoran seorang tokoh ulama. Perlawanan bersumber dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang menekan kaum ulama. Dalam perlawanannya itu ia tertangkap oleh Belanda dan kemudian dibunuh.

Setelah pemberontakan Trunajaya dan Pangeran Kajoran dapat diatasi, Amangkurat II memindahkan ibukota kerajaan dari Plered ke Kartasura (1680 TU). Amangkurat II menyadari bahwa perjanjian yang ia tandatangani dengan Belanda sangat memberatkan. Kedatangan Untung Surapati seorang budak yang berasal dari Bali disambut Amangkurat II dengan baik. Surapati adalah orang yang menantang Belanda. Di Kartasura Surapati terlibat peperangan melawan Belanda di bawah pimpinan Kapten Tack. Banyak tentara Belanda yang mati termasuk Kapten Tack. Di Jawa Timur, Surapati mengangkat dirinya sebagai Adipati Wiraguna.

Setelah Amangkurat II wafat, ia digantikan oleh Sunan Mas atau Amangkurat III (1703-1708 TU). Sunan ini juga bekerjasama dengan Untung Surapati dalam mengusir Belanda. Sementara itu Pangeran Puger yang merupakan adik Amangkurat II diakui oleh Belanda sebagai raja Mataram dengan gelar Pakubowono I (1703-1719 TU). Amangkurat III menyerah kepada Belanda setelah Surapati gugur di Bangil, dan ia diasingkan ke Ceylon (Srilanka).

Pengganti Pakubuwana I adalah putranya yang bergelar Amangkurat IV atau Sunan Prabu (1719-1727 TU). Saudaranya yang bernama Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi tidak puas dengan pergantian itu, kemudian mengadakan perlawanan.

Pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1727-1749 TU) Kerajaan Mataram dilanda kerusuhan akibat pemberontakan masyarakat Cina terhadap Belanda (1740-1743 TU). Di samping itu muncul kekacauan karena perlawanan yang diberikan oleh Raden Mas Said, putra Pangeran Diponegoro yang diasingkan akibat perang perebutan kekuasaan. Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Mas Said dalam perlawanan tersebut. Perlawanan mereka berhasil mengusai daerah Bagelan dan Pekalongan, tetapi kemudian di antara keduanya terjadi perselisihan, keadaan yang demikian kemudian dimanfaatkan oleh Belanda.

Peranjian perdamaian antara Pangeran Mangkubumi dengan Belanda dikenal perjanjian Gianti pada tahun 1755 TU. Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian tersebut adalah Pakubuwuna III, Pangeran Mangkubumi, dan Belanda. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa Mataram dibagi menjadi dua bagian. Bagian timu untuk Pakubuwana III yang beribukota di Surakarta, dan bagian barat untuk Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengkubuwana I dengan ibukota di Yogyakarta.

Kedudukan Raden Mas Said semakin tersedak dengan bertambahnya lawan yaitu Pangeran Mangkubumi yang telah diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Ia terpaksa mau berunding dan terjadi perjanjian Salatiga. Dalam perjanjia tersebut ditentukan bahwa Raden Mas Said menerima suatu daerah dalam kerajaan Surakarta sebagai daerah Kadipaten dan memperoleh gelar Pangeran Adipati Mangkunegaran I serta memiliki hak memelihara tentara.

Kerajaan Mataram yang semula sudah hampir mencakup Pulau Jawa menjadi sempit karena daerah lainnya dikuasai oleh Belanda. Daerah Bumi Mataram yang sempit itu dipecah menjadi dua kerajaan. Surakarta dan Yogyakarta (1755 TU). Kemudian sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegara selaku adipati (1757 TU), dan sebagian dari Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku adipati pula (1813 TU).

Di samping perjalanan politik, Kerajaan Mtaram juga dapat diketahui dari beberapa peninggalan fisiknya antara lain Kraton yang berada di Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa ini telah dikenal pula kehidupan masyarakat perkotaan dengan kraton sebagai pusatnya.