You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Ekofak

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Ekofak

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Berbeda dengan artefak, ekofak adalah data arkeologi yang tidak dibuat olehmanusia, tetapi berhubungan dengan kehidupan manusia. Data ekofak memegang peranan penting dalam merekrontruksi kehidupan masa lalu. Hal ini disebabkan karena analisis data ekofak dapat menghasilkan informasi yang berhubungan dengan lingkungan, keberadaan pemukiman, teknologi, mata pencaharian manusia yang berkaitan dengan pemnfaatan lingkungan, serta pola makannan. Selain itu, analisis ekofak juga dapat digunakan untuk menentukan unsur situs, baik secara absolut maupun relatif. Penentuan umur absolut situs dilakukan dengan cara analisis laboraturium terhadap unsur karbon dalam ekofak organik, sedangakn penentuan umur relatif dilakukan dengan cara membandingkan jenis tanaman atau binatang pada sebuah situs dengan data serupa dari situs yang lain.

Secara garis besar, ekofak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekofak anorganik dan ekofak organik. Ekofak anorganik adalah sisa-sisa non-biologis yang berkaitan dengan kehidupan makhluk hidup. Contoh ekofak anorganik adalah kandungan karbon dan fosfor dalam tanah yang dihasilkan oleh makhluk hidup. Unsur karbon penting dalam studi arkeologi karena dimanfaatkan untuk menentukan umur absolut, sedangakn unsur fosfor dalam tanah digunakan untuk menelusuri jejak-jejak pemukiman masa lalu.

Ekofak yang digunakan untuk menelusuri gamaran lingkungan kuna adalah ekofak organik, yang terdiri atas sisa-sisa flora (floral ecofact). Fauna (faunal ecofac). Dan manusia (human remains). Untuk memperoleh gambaran lingkungan masa lalu, yang terdiri atas berbagai jenis tumbuhan, hewan, manusia, dan iklim kuna, data yang diperlukan adalah sisa tanaman, dapat berupa fosil atau sisa-sisa kayu, biji-bijian, pollen (serbuk sari) , sisa-sisa binatang dan manusia, serta kaplorit (tinja). Akan tetapi, karena temuan ekofak jumlahnya terbatas, maka rekontruksi lingkungan yang dihasilkan melalui data yang ada kadang-kadang masih bersifat parsial. Oleh karena itu, untuk menggambarkan lingkungn kuna secara utuh, diperlukan sintesis dari berbagi data, baik data yang bersifat fisik (lingkungan abiotik) maupun data lingkungan biotik dari berbagai sumber.

Berikut ini adalah beberapa data ekofak yang berhasil dikumpulkan dari berbagai situs di Jawa Tengah yang dapat digunakan untuk merekrontruksi lingkungan kuna.

        Ekofak Sangiran

Secara administratif Situs Sangiran masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sreagen dan Kabupaten Karanganyar. Situs tersebut merupakan situs prasejarah yang memiliki potensi sangat penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan. Potensi tersebut antara lain ditunjukkan oleh temuan fosil yang dimiliki situs Sangiran. Fosil manusia yang dimiliki Situs Sangiran merupakan temuan yang paling lengkap, bahkan pada tingkatan dunia potensi Sangiran pun tidak ada duanya. Hal ini disebabkan karena temuan fosil manusia di Sangiran mewakili kurang lebih dari 50% populasi Homo erectus di seluruh dunia. Oleh sebab itu, Sangiran kemudian ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia dan dimasukkan ke dalam World Haritage List sejak tahun 1996.

 Gambaran evolusi lingkungan Sangiran dapat diungkapkan melalui rekaman seri stratigrafi yang tidak terputus sejak 2.000.000 sampai dengan 150.000 SS. Seri stratigrafi yang dimaksud, secara kronologis, terdiri atas seri Kalibeng (kurang lebih 2.000.000 SS), Pucangan (kurang lebih 1.700.000 – 800.000 SS), Grenzebank (kurang lebih 700.000 SS), Kabuh (kurang lebih 500.000 SS), dan Notopuro (kurang lebih 150.000 SS). Selain melalui seri stratigrafi, gambaran lingkungan Sangiran juga dapat diungkapkan melalui temuan ekofak yang terdiri atas fosil manusia, binatang, tumbuhan, dan pollen.

Menurut gambaran seri stratigrafi di atas, seri Kalibeng berumur paling tua. Seri ini merupakan endapan laut yang ditandai adanya lempung biru, fosil kerang, dan tulang-tulang ikan laut (misalnya ikan hiu). Dalam endapan tersebut juga dijumpai fosil pollen tumbuhan bakau yang merupakan ciri khas vegetasi garispantai. Berdasarkan data tersebut, maka lingkungan Sangiran pada kurang lebih 2.000.000 SS dapat direkronstruksi sebagai daerah rawa tepi pantai yang ditumbuhi hutan bakau.

Gambaran lingkungan Sangiran seperti di atas, mengalami perubahan pada kurang lebih 1.700.000-800.000 SS. Perubahan lingkungan terjadi akibat letusan Gunung Lawu purba. Lahar volkanik yang dikeluarkan oleh letusan tersebut diendapkan di daerah pantai Sangiran, dalam bentuk lempung hitam yang menjadi karakteristik seri Pucangan. Letusan tersebut telah menyebabkan matinya hutan bakau serta meluasnya daratan yang diakibatkan oleh mundurnya garis pantai. Temuan fosil tumbuhan maupun pollen dari seri stratigrafi ini diketahui berasal dari tumbuhan jenis Someralia, Ovata, dan Alba yang merupakan kelompok vegetasi pelopor terbentuknya hutan. Selain itu, juga ditemukan pollen dari tumbuhan Avecenis, Sukeda marina, dan Helioteropium, yang merupakan kelompok vegetasi semak belukar di daerah tropis sampai dengan daerah iklim sedang. Jenis tumbuhan lain yang berhasil diidentifikasikan adalah Podocarpus dan Faqaceae, yang merupakan keluarga rumput-rumputan.

Fenomena di atas memberikan gambaran bahwa wilayah Sangiran pada 1.700.000-800.000 SS, terdiri atas hutan tropis serta hutan terbuka yang memiliki semak belukar dan reremputan. Kondisi lingkungan tersebut merupakan habitan yang tepat bagi berbagai macam binatang yang fosilnya ditemukan pada seri Pucangan. Fosil binatang yang dimaksud antara lain adalah Hexoprotodon (sejenis kuda air) dan Tetralopodon bumiayuensis (sejenis gajah). Pada perkembanganya, kedua jenis binatang tersebut tampaknya punah, karena jenis binatang yang muncul kemudian (kurang lebih 1.000.000 SS) adalah jenis Stegodon trigonocephallus. Jenis binatang lainnya adalh Bovideae (jenis sapi) dan Axis lydekkeri (jenis rusa).

Fosil manusi yang ditemukan pad seri Pucangan adalah fosil manusia purba yang disebut Pithecanthropus robustus. Pithecantropus dubius, dan Meganthropus paleojavanicus. Mengingan ciri-ciri fosil manusia tersebut dapat dimasukkan ke dalam genus Homo atau tepatnya spesies Homo erectus. Oleh karena itu, sebagai sub spesies maka pembuatannya pun menjadi Homo erectus Robustus, Homo erectus.

Perubahan lingkungan Sangiran yang terjadi pada kurang lebih 700.000 SS diakibatkan oleh erosi yang terjadi di Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kendeng. Material hasil erosi yang berupa pecahan gamping pisoid dan kerikil volkanik kemudian diendapkan dan membentuk stratigrafi seri grenzbank. Stratigrafi ini merupakan lapisan kunci yang menandai perubahan lingkungan Sangiran dari rawa menjadi daratan yang permanen.

 Tanda-tanda kehidupan berupa fosil binatang yang ditemukan pada seri grenzbank mempunyai persamaan dengan fosil binatang yang ditemukan pada seri Pucangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa binatang yang hidup pada masa ini didominasi oleh jenis vertebrata dan mamalia, misalnya jenis gajah purba yang terdiri atas Stegodon, sp dan Elephas, sp. Selain itu terdapat Cervidae (rusa), Bovidae (kerbau, sapi, dan benteng, ) dan Rhinoceros sp. (badak).

Pada seri grenzbank juga ditemukan fosil manusia yang mirip dengan yang ditemukan pada seri Pucangan, sehingga dapat digolongkan sebagai Homo erectus yang secara spesifik disebut Homo erectus Javanicus pada akhirnya digunakan untuk menyebut seluruh temuan manusia dari seri Pucangan dan Grenzbank. Homo erectus ini tampaknya memiliki kearifan terhadap lingkungan di sekelilingnya. Hal tersebut ditunjukkan melalui kepandaiannya dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekelilingnya. Bahan alam yang dimanfaatkan adalah batuan volkanik jenis jaser dan kelsedon yang banyak ditemukan di Sangiran sebagai bahan membuat alat untuk menunjang kehidupannya.

Aktivitas volkanik yang berlangsung dalam waktu panjang, terutama yang diakibatkan oleh letusan Gunung Lawu, Merapi, dan Merbabu, menghasilkan seri stratigrafi Kabuh yang dicirikan oleh endapan pasir vluvio-volkanik. Seri stratigrafi ini berumur kurang lebih 500.000 SS. Lingkungan yang dapat direkonstruksikan melalui data ekofak pada seri Kabuh adalah lingkungan hutan terbuka dan padang rumput. Jenis binatang yang ditemukan pada lingkungan ini, antara lain adalah Stegodon, Bovidae, Rhinoceros, Tapirus javanicus (tapir), dan Axis lydekkeri (sejenis rusa). Fosil manusia yang ditemukan pada stratigrafi seri Kabuh ini jumlahnya paling banyak dan dapat dimasukkan ke dalam sub spesies Homo erectus Sangiran. Di antara sejumlah fosil yang ditemukan, terdapat fosil kepala bagian muka. Fosil ini sangat istimewa dan dianggap sebagai master piece karena di dunia hanya ditemukan dua buah (yang satu ditemukan di Afrika) dan di Asia temuan ini hanya satu-satunya. Temuan fosil bagian muka tersebut sangat penting, karena dari fosil inilah wajah manusia purba dapat direkronstuksikan.

Banyaknya fosilnya yang ditemukan pada seri Kubah menunjukkan bahwa lingkungan Sangiran pada kurang lebih 500.000 SS. Merupakan lingkungan yang paling ideal untuk dihuni. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu di daerah Sangiran beserta sungai-sungainya. Sungai-sungai yang dimaksud merupakan sungai purba yang airnya mengalir sepanjang tahun. Samapi sekarang sungai tersebut masih ada yang mengalir, di antaranya adalah Sungai Cemoro.

Jika dihubungkan dengan temuan alat dari segi stratigrafi yang sama, dapat dikemukakan bahwa spesies Homo erectus Sangiran mempunyai tingkat kearifan yang lebih dari manusia sebelumnya. Hal ini dapat ditunjukkan dari meningkatnya kepandaian dalam memanfaatkan sumber alam. Selain jasper dan kalsedon, batuan andesit serta limbah perburuan berupa tulang telah dimanfaatkan untuk bahan membuat alat.

Lingkungan Sangiran pada kurang lebih 150.000 SS dapat direkontruksikan melalui stratigrafi seri Notopuro yang dicirikan oleh endapan breksi dan lahar. Akan tetapi karena jenis stratigrafinya relatif masif, maka penelitian pada seri Notopuro sampai saat ini belum optimal. Akibatnya, data yang diperoleh belum dapat merekrontruksikan lingkungan yang ada secara tegas. Walaupun demikian, dapat diasumsikan bahwa lingkungan pada masa ini tidak berbeda jauh dari lingkungan yang direkrontuksikan melalui temuan ekofak pada seri stratigrafi Kabuh.

        Ekofak Kali Glagah

Situs Klai Glagah terletak di wilayah Bumiayu sampai Tegal. Walaupun sampai sekarang di situsKlai Glagah belum ditemukan data berupa artefak yang dapat menunjukkan aktivitas manusia di daerah tersebut, akan tetapi temuan ekofak berupa fosil binatang mamalia dapat dipakai merekontruksi lingkungan kuna yang ada. identifikasi terhadap fosil yang ditemukan menghasilkan jenis binatang Bos (sapi), Archidiskodon planifrons (gajah purba), Merocopotamus dan Hippopotamus (jenis kudanil), Stegodon (jenis gajah), Antilope (jenis rusa), dan Sus stremmi (babi).

Rekronstruksi lingkungan kuna di daerah Kali Glagah dapat dilakukan melalui kajian terhadap habitat jenis binatang yang ditemukan. Hoppopotamus, misalnya, mempunyai habitat di sekitar danau atau sungai yang mempunyai suhu di bawah 42o C dan ditumbuhi tanaman berdaun hijau (perennial green) sebagai sumber makannya. Bos adalah jenis binatang yang hidup di padang rumput dengan semak belukar terbuka yang menyediakan cukup air, sedangkan habitat Sus stremmi adalah di hutan sedang yang banyak menghsilkan buah-buahan dan umbi-umbian.

        Ekofak Rowo Pening

Rowo Pening terletk di dekat kota Ambawarawa Jawa Tengah, situs ini merupakan bagian dari dataran Ambarawa yang sampai dengan radius 50 km diperkirakan merupakan situs pemukiman pada sejak jaman prasejarah hingga sekarang. Situs ini memberikan sumbangan yang berharga, baik bagi rekrontroksi lingkungan maupun perubahan lingkungan yang terjadi selama rentang waktu tertentu.

Selama rentang masa yang panjang, iklim di dataran Ambarawa telah mengalami evolusi. Hasil analisis para ahli paleobotani terhadap ekofak berupa pollen yang diambil dari endapan Rawa Pening menunjukkan bahwa sekitar 4.000 SS di daerah ini terdapat vegetasi hutan rawa yang ditandai oleh tanaman pakis dan hutan terbuka. Jenis hutan semacam ini muncul pada daerah yang mempunyai iklim yang agak kering dengan musim kemarau yang panjang. Selanjutnya, pollen yang diambil pada endapan berumur 3.700 SS menunjukkan jenis vegetasi hutan rawa dan hutan hujan tropis. Perubahan jenis vegetasi tersebut disimpulkan sebagai akibat adanya peningkatan curah hujan, sehingga iklim yang kering dengan musim kemarau yang panjang. Selanjutnya, pollen yang diambil pada endapan berumur 3.700 SS menunjukkan jenis vegetasi hutan rawa dan hutan hujan tropis. Perubahan jenis vegetasi tersebut disimpulkan sebagai akibat adanya peningkatan curah hujan, sehingga iklim yang kering di daerah Ambarawa telah berubah menjadi iklim basah. Vegetasi hutan rawa dan hutan hujan tropis yang ada kemudian digantikan oleh vegetasi hutan sekunder campuran (mixed secondary forest) yang keberadaanya dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunung berapi. Endapan rawa termuda (500 SS) selain menghasilkan pollen dari vegetasi hutan sekunder campuran (mixed secondary forest) yang keberadaanya dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunung berapi. Endapan rawa termuda (500 SS) selain menghasilkan pollen dari vegetasi hutan sekunder campuran (mixed secondary forest) juga menghasilkan jenis-jenis vegetasi lain yang mirip dengan berbagai jenis tanaman yang berkaitan dengan kegiatan pertanian masa sekarang.

Dari gambaran di atas, diketahui bahwa pada suatu masa dataran Ambarawa mempunyai iklim kering dengan musim kemarau yang panjang. Kemudian karena terjadi peningkatan curah hujan, maka iklim kering di daerah tersebut berubah menjadi lembab. Iklim yang lembab kemudian berubah kembali menjadi agak kering, karena pengaruh aktivitas gunung berapi, sampai akhirnya iklim mencapai kondisi yang relatif sama dengan kondisi sekarang.

        Ekofak sebagi pripih

Pripih adalah benda-benda tertentu yang ditempatkan dalam wadah tertentu (misalnya kotak dari batu, wadah gerabah atau perunggu) untuk ditanam di beberapa tempat dalam bangunan candi (Jawa: pendheman). Pada umumnya pripih terdiri atas logam mulia, batu mulia, mantra atau rajah. Akan tetapi pada beberapa candi, misalnya di Candi Plaosan Lor (Klaten) yang berasal dari abad IX-X TU dijumpai pripih berupa biji-bijian (padi, jagung, kopi, jali), rempah-rempah (kemiri, kayu, cendana dan jinten), serta pinang. Selain Candi Plaosan Lor, Candi Selogriyo (abad VIII TU) yang terletak di Kabupaten Magelang juga mempunyai pripih ekofak yang terdiri atas biji-bijian (padi, jelai, jewawut), rempah-rempah (cengkeh dan biji pala), serta bunga-bungaan yang sudah tidak dapat diidentifikasikan.

Jenis-jenis tanaman yang digunakan sebagai pripih merupakan jenis tanaman yang hidup pada abad VIII-X TU, dan ternyata keberadaanya masih dapat dirunut dalam kehidupan sehari-hari hingga masa sekarang. Sebagian besar jenis tanaman yang digunakan sebagai pripih digunakan pula untuk berbagai keperluan, misalnya untuk makanan pokok, bahan minuman, bahan obat-obatan, serta sebagai ramuan penyedap masakan (bumbu).

Di antara sejumlah tanaman yang digunakan sebagai pripih, tampaknya hanya kayu cendana yang tidak tumbuh di daerah Jawa Tengah. Jenis kayu tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur. Terdapat bukti bahwa jenis kayu cendana merupakan komoditi perdagangan yang diperdagangkan sampai ke beberapa pelosok Nusantara, bahkan merupakan komoditas ekspor. Walaupun kayu cendana tidak ditanam di wilayah Jawa Tengah, tetapi penggunaanya pada masa klasik cukup populer di kalangan masyarakat, antara lain digunakan sebagai bahan untuk membuat gandhalepa (boreh wangi) yang merupakan salah satu perlengkapan dalam upacara. Pada periode yang lebih muda, yaitu masa Mataram Islam, kayu cendana banyak digunakan sebagai bahan perawatan tubuh serta sebagai bahan pengharum badan dan ruangan yang disebut ratus.