You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik, Fungsi Arca (4)

Dewa Dewi Masa Klasik, Fungsi Arca (4)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Telah disebutkan bahwa di India arca adalah penggambaran wujud dewa-dewi. Keberadaannya sangat terkait dengan ritual keagamaan, karena arca merupakan bagian dalam ritual tersebut. Arca adalah objek pemujaan, yang sebenarnya merupakan media bagi manusia untuk melakukan komunikasi dengan dewa yang dipuja. Terdapat kepercayaan bahwa dalam melakukan pemujaan, para pemuja diwajibkan melakukan kontak mata dengan mata dewa yang diarcakan. Oleh karena itu, penglihatan mata arca (darshan) yang jatuh pada mata pemujanya menjadi salah satu syarat dalam pengarcaan dewa.

Dapat juga, arca digunakan sebagai alat bantu konsentrasi pada saat melakukan meditasi. Sejumlah arca menggambarkan praktek-praktek meditasi, yang ditunjukkan melalui mudra dan asana-nya. Arca yang demikian menjadi referensi atau panduan bagi pemujanya dalam melakukan praktek meditasi serupa.

Sebagaimana di India, arca klasik Jawa secara umum memang digunakan untuk menggambarkan perwujudan dewa-dewi yang disemayamkan di dalam garbhagreha. Beberapa prasasti, misalnya Prasasti Kalasan (778 M), Prasasti Manjusrigreha (782 M), dan Prasasti Siwagreha (856 M), menyebutkan adanya arca dewa yang disemayamkan di dalam candi. Akan tetapi, dalam perkembangannya arca digunakan untuk menggambarkan raja yang sudah diperdewakan.  Berdasarkan konsep dewaraja yang berkembang di Asia Tenggara, raja adalah representasi dewa di dunia. Oleh karena itu, ketika raja meninggal maka ia akan diarcakan dalam wujud dewa penitisnya untuk didharmmakan di dalam bangunan candi. Prasasti Pucangan (1041 M) misalnya, menyebut bangunan pendharmaan untuk Pu Sindok yang bernama Isanabhawana, yang berarti tempat untuk Isana (Siwa). Kemudian, Nagarakretagama secara gamblang menyebutkan bahwa ketika meninggal Wisnuwarddhana dicandikan di Weleri sebagai Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) sebagai Buddha.

Meskipun telah disebutkan bahwa bangunan candi pada umumnya mempunyai arca di bagian garbagreha-nya, tetapi tidak semua arca terkait dengan bangunan candi. Arca dewa dapat dipuja oleh individu, dan masing-masing individu dapat memiliki dewa favorit.  Di dalam kitab primbon jawa pun didapati keterangan bahwa setiap individu memiliki dewa sendiri-sendiri, sesuai dengan saat individu tersebut dilahirkan. Dewa-dewi yang dipuja secara individu disebut istadewata, sedangkan yang dipuja di dalam candi disebut kuladewata  dan gramadewata. Kuladewata adalah dewa yang dipuja oleh keluarga dan gramadewata adalah dewa yang dipuja secara bersama oleh umat.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah