Candi Gedong Songgo, Sebuah Bukti Ketahanan Budaya

4

BPCB Jateng. Di lereng Gunung Ungaran pada koordinat 110º20’27’’ BT dan 07º14’3’’ LS terdapat sebuah kompleks percandian bagi penganut Hindu yang dibangun pada sekitar abad VIII M. Tepatnya di Desa Darum, Kelurahan Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, PropinsiJawa Tengah. Gedongsongo adalah nama yang diberikan oleh penduduk bagi kompleks tersebut. Berasal dari Bahasa Jawa, Gedong berarti rumah atau bangunan, Songo berarti sembilan. Arti kata Gedongsongo adalah sembilan (kelompok) bangunan. Apakah ini berarti bahwa di kompleks Candi Gedongsongo sejak awal terdiri dari sembilan kelompok atau memiliki arti lain belum dapat dijawab. Tetapi pada saat ini hanya terdapat lima kompleks bangunan.

Kompleks candi ini dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan di lereng gunung Ungaran. Hal ini menunjukkan karakter Candi Gedongsongo yang sangat spesifik yaitu sebuah perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal dan global. Gunung adalah tempat persembahan kepada roh nenek moyang. Kepercayaan ini merupakan tradisi masyarakat lokal pra Hindu. Sedangkan gunung juga merupakan tempat tinggal dewa-dewa menurut tradisi Hindu yang pada saat itu sedang berkembang secara global mempengaruhi hampir separuh dunia.T radisi lokal yang biasanya terkurangi perannya oleh tradisi global, ternyata keduanya mampu berdiri setara di Gedongsongo. Kesetaraan tersebut ditunjukkan dengan pemberian arti baru pada situs Percandian Candi-candi di kompleks Gedongsongo juga menunjukkan kekhususannya sebagai budaya campuran seperti tersebut di atas yaitu kecenderungan kepada Parswadewata. Di India, tradisi Hindu lebih di-utamakan kepada Tri Murti yang terdiri dari dewa Brahma, Wishnu, dan Siwa. Tetapi di Gedongsongo berwujud kepercayaan kepada Parswa dewata (di India juga terdapat kepercayaan ini meskipun tidak populer). Parswadewata di  Jawa dapat ditafsirkan sebagai persembahan kepada ruh nenek moyang yang telah bersatu dengan Siwa dan di candi disimbolkan dengan Lingga-Yoni yang dikawal oleh dewa pengiring yaitu: Durga (istri Siwa), Ganesha (anak Siwa), dan Agastya (seorang resi yang memiliki kemampuan spiritual setara dengan dewa). Ciri kejawaannya ditunjukkan dengan adanya arca Agastya ini yang menunjukkan peran manusia. Hal ini dapat ditafsirkan dengan peran nenek moyang seperti tersebut di atas. Sedangkan Parswadewata di  India posisi Agastya ditempati oleh Kartikeya, anak Siwa yang berperan sebagai dewa perang. Sedangkan sebagai pengawal Dewa Siwa, dikenal Nandiswara dan Mahakala yang bertugas sebagai penjaga pintu candi Hindu. Nandiswara kadang-kadang dianggap sebagai perwujudan Siwa sendiri atau perwujudan kendaraan Siwa (nandi) dalam bentuk manusia. Mahakala sebagai dewa waktu juga merupakan aspek Siwa dalam bentuk krodha (mengerikan).  Ciri khas candi-candi Gedong songo juga ditunjukkan dengan posisi candi yang berderet dari bawah hingga atas. Posisi demikian mengundang pertanyaan apakah ini dapat dikatakan sebagai hirarkhi kesucian yang berarti bahwa candi yang berada di atas lebih suci dari candi di bawahnya. Atau deretan candi ini dapat dijelaskan sebagai  petunjuk adanya suatu prosesi keagamaan yang dilakukan dari candi terbawah hingga teratas. Kedua pertanyaan ini belum dapat dijawab karena belum ditemukan petunjuk-petunjuk yang mengarah kepada salah satu pertanyaan tersebut. Para pendukung budaya masa lalu ini tentu memanfaatkan potensi  lingkungan yang tersedia untuk menciptakan sebuah kompleks peribadatan dikawasan perbukitan penuh pepohonan sehingga menimbulkan suasana tenang, berhawa sejuk, bahkan dilengkapi dengan sumber air panas yang mengandung belerang. Suasana hikmat yang tercipta pada tempat ibadah tersebut akan mendukung pelaksanaan ritual yang sempurna. Bangunan peribadatan yang berupa candi-candi dan lingkungan sekitarnya -bukit serta hutannya- merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pelestarian tidak hanya ditujukan kepada candinya tetapi juga lansekap yang perlu dipelihara agar suasana yang dibangun oleh nenek moyang dahulu tidak hilang.

 

7

(Lanskap Kompleks Candi Gedong Songo)

5

(Sumber Air Panas di Kompleks Candi Gedong Songgo)

Loten, tahun 1740 menemukan kompleks Candi Gedongsongo. Tahun 1804, Rafles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena hanya ditemukan tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1925, Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo tahun 1865, tahun 1908 Van Stein  Callenfels melakukan penelitian terhadap Kompleks Candi Gedongsongo, dan Knebel melakukan inventarisasi temuan pada tahun 1910-1911. Penelitian oleh Dinas Purbakala Belanda baru dilakukan pada tahun 1916. Kemudian, dilanjutkan dengan pemugaran Candi Gedong I tahun 1928/1929 dan Candi Gedong II tahun 1930/1931. Sedangkan pada masa pemerintahan RI pemugaran Candi Gedong III, IV, dan V dilaksanakan oleh SPSP (sekarang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Jawa Tengah pada tahun 1977-1983. Tahun 2009 dilakukan pemugaran terhadap Candi Perwara C1 dan Konsolidasi terhadap Candi Perwara C2 di gedong IV serta pemetaan ulang. Arsitektur candi secara umum dibagi menjadi bagian kaki, tubuh dan atap, demikian pula di Kompleks Candi Gedongsongo. Kaki candi dapat dikenali melalui profilnya yang terdiri dari sisi genta dan pelipit lurus. Pada bagian luar tubuh candi terdapat relung-relung yang dahulu berisi arca Parswadewata, namun sekarang sebagian besar dalam kondisi kosong, demikian pula bilik candi yang dahulu berisi lingga-yoni dan relung di dalam bilik. Relung bagian luar tubuh dihias dengan motif flora dan kadang ada hiasan berupa Kala. Atap candi bertingkat tiga dengan hiasan miniatur candi dan antefix baik polos maupun berhias. Denah candi hampir seluruhnya berbentuk bujur sangkar namun terdapat pula candi dengan denah persegi panjang, sedangkan ukuran  candinya sangat bervariasi, ebarnya berkisar antara 4,5 m – 9,5 m; panjang 4,8 m – 9 m dengan tinggi yang berbeda pula dari 3 m 8,9 m.

 

 

 

 

5