You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik (14),  Siwa

Dewa Dewi Masa Klasik (14), Siwa

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Siwa adalah anggota ketiga dalam kelompok Trimurti, yang secara umum didudukkan sebagai dewa perusak. Karena kedudukannya itulah maka Siwa mempunyai banyak pemuja, supaya tidak menganggu dunia. Di dalam Rg Weda nama Siwa belum diperhitungkan sebagai dewa perusak, kedudukannya dipegang oleh Rudra, yang juga diistimewakan dengan doa-doa khusus untuk “menenangkannya”.

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa Siwa sebagai dewa perusak hendaknya tidak diberi makna yang destruktif negatif. Siwa adalah Ishwara, yang mempunyai peran mengembalikan segala hal yang telah diciptakan oleh Brahma kepada asal penciptanya, apabila takdir yang ditetapkan baginya telah tiba. Berkaitan dengan hal itu, maka Siwa pun dikenal sebagai Mahakala, Sang Penguasa Waktu, yang menentukan waktunya kembali kepada penciptanya. Karenanya, Siwa pun sering dihubungkan dengan Yama, dewa penguasan kematian.

Bahwa Siwa tidak bersifat destruktif negatif dapat ditunjukkan dari julukannya sebagai Sankhara, yaitu yang selalu berbuat baik. Lebih lanjut Kitab Mahabharata memberikan justifikasi kedudukan Siwa sebagai Mahadeva, karena prestasinya dalam menyempurnakan tugas para dewa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Dari sinilah Siwa kemudian diidentikkan sebagai Rudra, yaitu yang menghancurkan segala makhluk jahat dan juga kesusahan manusia. Bahkan, dalam rangka menyelamatkan semua mahluk, Siwa rela menghisap berbagai jenis racun yang ada di dunia hingga lehernya menjadi nila. Karenanya Siwa kemudian mendapat julukan Nilakanta (Si Leher Nila). Demikianlah sejumlah julukan Siwa yang dilatari oleh kapasitasnya dalam menyelesaikan permasalahan, sesuai dengan peran yang dimainkannya. Keberhasilannya tersebut tentu didasari oleh penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan, karenanya tidaklah mengherankan jika Siwa kemudian dijuluki sebagai Maheswara (the Lord of Knowledge).

Selain julukan Siwa yang telah disebutkan, masih banyak yang lainnya. Bahkan menurut Siwa Purana, Siwa mempunyai seribu julukan. Banyaknya julukan Siwa tersebut, berpengaruh pula terhadap variasi penggambarannya. Akan tetapi, dalam bentuk ikon Siwa memiliki ciri umum yang sering muncul di sebagian besar penggambaran Siwa. Ciri yang dimaksud adalah mata ketiga yang disebut jnananetra, jatamakuta dengan hiasan ardhacandra kapala, pakaian kulit harimau yang disebut ajina, dan atau upawita ular. Sejumlah laksana adalah trisula, aksamala, camara.

Temuan arca perak dari kompleks Candi Sewu yang diidentifikasikan sebagai Siwa merupakan arca yang istimewa. Keistimewaan arca ini terletak pada mudra-nya yang menampilkan sikap anjali (menyembah). Mudra semacam ini, biasanya dipresentasikan oleh ikon-ikon yang berkedudukan sebagai dewa sub-ordinat. Padahal, dalam sistem panteon Hindu, Siwa mempunyai kedudukan sebagai mahadewa. Dengan berpegang pada mudra-nya, dapat dikemukakan bahwa Siwa ini pun berkedudukan sebagai dewa sub-ordinat.

siwaArca Siwa dengan sikap anjalimurda (Koleksi : BP3 Jawa Tengah)

         Meskipun arca Siwa tersebut kemungkinan besar merupakan istadewata yang sifatnya moveable, akan tetapi keberadaannya di Candi Sewu yang merupakan kompleks percandian Buddhist tentu mempunyai latar belakang yang terkait dengan fungsi arca sebagai sarana upacara. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sejumlah ahli mengemukakan bahwa keberadaan arca Siwa dengan sikap anjalimudra di Candi Sewu terkait dengan sistem panteon yang digunakan, yang didasakan pada mandala Dharmadhatuwagiswara. Dalam sistem mandala tersebut, dewa-dewa Trimurti didudukkan sebagai sub-ordinat Wagiswara. Wagiswara adalah salah satu perwujudan Manjusri yang didudukkan sebagai Wairocana. Wairocana sendiri adalah salah satu wujud antropomorfik Adibuddha sebagai dewa yang tertinggi di dalam agama Buddha.

            Siwa dari Candi Sewu digambarkan duduk di atas padmasana dengan posisi yogasana. Tangannya empat. Dua tangan yang di belakang, masing-masing memegang laksana Siwa yang berupa aksamala dan camara. Sementara, kedua tangan lainnya menampilkan sikap anjali. Abharana yang dikenakan terdiri atas: jatamakuta, kundala, hara, keyura, upawita yang berupa pilinan benang, kangkana, katisutra, dan pakaian penutup tubuh bagian bawah (lower garment). Pakaiannya memiliki hiasan, dengan motif crosshatching.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah