Agastya

Agastya adalah resi (rishi), yang di dalam beberapa sumber disebutkan sebagai salah satu dari kelompok saptaresi. Tugasnya adalah menyebarkan agama Hindu ke arah selatan (dari India), termasuk ke Semenanjung Malaka dan Indonesia. Karena jasa besarnya dalam menyebarkan agama Siwa itu lah, maka Agastya didudukkan sebagai representasi Siwa, bahkan selanjutnya dianggap sebagai salah satu aspek Siwa. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri Agastya yang menggunakan atribut Siwa, mulai dari jatamakuta, aksamala, camara, kamandalu hingga trisula.

Ciri resi pada Agastya dapat dilihat pada penggambarannya sebagai orang tua yang berkumis dan berjenggot lebat. Juga pada perutnya yang tundila (buncit). Arca Agastya dari Candi Banon di bawah ini adalah salah satu contoh visualisasi gambaran yang dimaksud. Meskipun pada umumnya Agastya digambarkan tundila, akan tetapi terdapat penggambara Agastya yang tidak berperut buncit, antara lain adalah yang ditemukan di Dieng, Agastya di ruang koleksi BP3 DIY, dan Agastya di Candi Sambisari. Bahkan, Agastya di Candi Sambisari penggambarannya berkesan kurus. Penggambaran yang demikian ini, kiranya dapat dihubungkan dengan sejarah pengarcaannya. Di India, penggambaran Agastya yang ramping muncul pada periode Gupta. Dengan demikian, dapat pula diasumsikan bahwa Agastya Jawa Tengah Kuna yang digambarkan ramping juga dapat menunjukkan kronologinya secara relatif.

Penyimpangan penggambaran tampak pula pada Agastya yang ditemukan di Dieng. Agastya Dieng tidak hanya digambarkan mempunyai perut langsing, tetapi juga tanpa jenggot dan kumis. Dalam bukunya yang berjudul Agastya di Nusantara, Poerbatjaraka telah menyinggung penggambaran Agastya yang memiliki ciri langsing, serta tidak berjenggot dan tidak berkumis, yang disebutnya sebagai Agastya-Guru. Penggambaran Agastya yang demikian ini ditengarai menunjukkan kronologi yang lebih tua dari pada penggambaran Agastya yang bercirikan resi.

            Perbedaan penggambaran Agastya tersebut, tampaknya dapat dikaitkan dengan peran dan status Agastya itu sendiri. Pada awalnya, Agastya-Guru bersama-sama dengan Ganesa berperan sebagai penjaga pintu kahyangan Siwa, mengingat Ganesa adalah kepala pasukan gana yang bertugas menjaga Siwa. Kemudian, keduanya mengalami perubahan status, menjadi dewa yang dipuja secara mandiri. Perannya sebagai penjaga kahyangan Siwa digantikan oleh Mahakala dan Nandiswara.

            Keberadaan Agastya menarik untuk diungkapkan, tidak hanya dari segi kuantitas temuan arcanya yang signifikan. Arca Agastya hampir selalu hadir di candi Hindu yang diperuntukkan bagi pemujaan terhadap Siwa. Meskipun masih memerlukan penelitian lebih lanjut, pendapat para sarjana Belanda yang mengatakan bahwa Agastya adalah tokoh historis, seorang brahmana yang datang dari India dan menetap di wilayah Jawa Tengah. Berkaitan dengan hal tersebut, Agastya diidentikkan dengan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni yang disebut dalam Prasasti Pereng (863 M). Prasasti tersebut ditemukan di kaki Plato Siwa, dan secara kebetulan di Plato Siwa tersebut juga ditemukan arca Agastya yang cukup besar, yang oleh penduduk sekitarnya dikenal sebagai arca Gupala.

Meskipun secara umum diketahui bahwa keberadaan Agastya tekait erat dengan Agama Hindu, khususnya pemuja Siwa, akan tetapi Agastya juga dikenal di dalam agama Buddha. Di dalam relief cerita Jatakamala yang dipahatkan di Candi Borobudur, terdapat penggambaran resi yang diidentifikasikan sebagai Agastya. Di dalam cerita tersebut Agastya adalah rishi yang mempunyai memampuan untuk mengontrol para raksasa jahat (asura) yang menempati belahan bumi selatan, supaya tidak mengganggu ketentraman kahyangan dan dunia manusia.