Kliping koran ini berjudul “Perpaduan Budaya Islam dan Cina“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Sriwijaya Post terbitan tanggal 6 Februari 1999. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya.

ririfahlen / bpcbjambi

Pengaruh budaya Islam dan Cina terlihat di beberapa mesjid tua di Palembang. Beberapa yang terlihat jelas pengaruh tersebut antara lain pada Mesjid Agung dan Mesjid Jami’ Sungai Lumpur. Kedua mes­jid dibangun oleh arsitek keturunan Cina. Cirinya adalah kubah mesjid yang bertanduk seperti bangunan-bangunan Cina. Mesjid Agung dibangun tahun 1738 dan Mesjid Jami’ di­bangun tahun 1869.

Di Mesjid Agung, kubah mesjid dibuat dengan atap berudak agung, mempunyai jurai kelompok simbar 50 duri (tanduk kambing) dengan 2 sisi berjumlah 2×13 dan 2 sisi lainnya 2×12. Bentuknya mustaka yang terjurai ini melengkung ke atas pada keempat ujungnya.

Genteng yang digunakan untuk menutup kubah, bangunan utama yang dibangun adalah genteng belah bambu. Namun, seiring dengan waktu, genteng belah bambu ini ada yang pecah dan sudah tidak diproduksi lagi maka diganti dengan genteng biasa.

“Arsitektur asli mesjid akan dipertahankan begitupun de­ngan bangunan utama yang di­buat tahun 1738. Ini sesuai de­ngan UU Cagar Budaya. Berpadunya unsur budaya Islam dan Cina pada Mesjid Agung, dulu kiranya dapat menjadi bahan bagi generasi sekarang dan mendatang untuk mempertahankan integrasi bangsa,” kata Kepala Dinas Tata Kota Palem­bang Ir RA Rachman Zeth.

Ia juga mengungkapkan pada bagian-bagian tertentu seperti genting akan diusahakan untuk dipertahankan. Begitupula deng­an pintu-pintu yang terbuat dari kayu.

“Semua akan kita kembalikan ke aslinya. Pintu-pintu berukir yang terbuat dari dua potong ka­yu setiap daun pintunya akan dikembalikan ke aslinya. Dulu as­linya dipelitur tetapi sekarang dicat, akan diusahakan untuk kembali dipelitur.” katanya.

Daun pintu itu sekarang dicat dengan warna hijau. Setiap daun pintu itu terbuat dari dua potong kayu langsung yang disambung dan diukir. Menurut seorang jemaah kayunya dari jenis unglen. Sepintas kilas kalau tidak dipegang dan dilihat dari dekat, pin­tu-pintu ke arah ruang utama Mesjid Agung ini seperti pintu besi berukir, tapi kalau sudah de­kat dan dipegang baru diketahui bahwa pintu tersebut terbuat dari kayu.

Kepala Dinas Tata Kota ini belum dapat mengungkapkan secara detail mengenai pengembalian kolam untuk wudhu atau kolam ijo Kolam ini disebut dengan ko­lam ijo karena banvaknya lumut yang berwarna hijau” Khusus un­tuk pengembalian kolam kalau memang ada, barangkali akan dibicarakan oleh tim teknis, ka­ta Rachman.

Menurut seorang jemaah mes­jid. kolam ijo untuk berwudhu itu ada dua. Penama yang dekat dengan J1 Faqih Jalaluddin atau Guru-Guru dan yang kedua agak menjorok ke dalam lagi. Kolam kedua sudah ditutup, letaknya dulu dekat mushalla atad rumah penghulu.

Kolam ijo ini diharapkan dapat dibuka kembali. Dikembalikan fungsinya untuk tempat wudhu. Selain sebagai tempat wudhu, kolam ini ka­rena rendah akan menjadi tem­pat penampungan air hujan da­ri Mesjid Agung yang sekarang lebih tinggi dibandingkan jalan,” katanya.

Penimbunan menurutnya dilakukan sekitar tahun 1950-an sehingga mesjid lebih tinggi dari jalan. Mesjid menjadi kering walaupun hujan karena letaknya yang lebih tinggi.

Dua kolam ijo ini termasuk pada lahan yang akan dibebaskan. Kolam bagian kedua kalau memang terwujud letak­nya akan berada di pinggir ja­lan tembus. Jl Faqihjalaluddin dan Sudirman. Jalan ini pan- jangnya sekitar 150 meter dan lebarnya termasuk daerah hi­jau 17 meter.

Jemaah lainnya bahkan me­ngungkapkan kalau memang nanunya terwujud, pada kolam ijo dibuat sekalian taman se­hingga tempatnya menjadi indah dan rapi. (edi s)