Berita pertama tentang Jambi datang dari kitab sejarah Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan kerajaan Mo-lo-yue ke Cina pada tahun 644 dan 645 Masehi (Pelliot 1902:324). Nama Mo-lo-yeu ini dapat dikaitkan dengan sebuah kerajaan tua bernama Malayu di pantai timur Sumatera yang berpusat di sekitar kota Jambi (Sartono Kartodirjo 1976:51).
Negeri ini menghasilkan lada dalam jumlah besar, berita Arab masa pemerintahan Khalifah Muawiyah (661-681) menyebutkan, dikatakan bahwa bandar lada terbesar di Sumatera bagian selatan terletak di Zabag Sribusa. Semula nama tersebut diduga identik dengan Sriwijaya (Krom 1931), namun para pengamat sejarah akhir-akhir ini lebih condong menyamakan Zabag dengan daerah Muara Sabak, sebuah daerah pesisir sekitar 46 kilometer sebelah timur Muarajambi (Satyawati Suleiman 1976:87).
I-tsing seorang pendeta buddha mengisahkan bahwa pada tahun 671 M dia tinggal untuk sementara di Mo-lo-yeu sambil memperdalam bahasa sansekerta ketika dalam perjalanan dari Kanton sebelum ke Nagapattam di India. Kemudian I-tsing singgah lagi di Mo-lo-yeu ketika pulang dari India pada tahun 685 M.
Jalur-jalur dagang dan pusat perdagangan tumbuh berkembang dengan memanfaatkan jalur sungai yang banyak ditemukan di wilayah ini. Tidak terbatas dilakukan di sepanjang Sungai Batanghari, namun juga anak sungainya hingga sampai pedalaman. Komoditi lokal seperti madu, kayu gharu (Gharuwood), damar, gading, serta emas yang didapat dari hasil mendulang (goldwashing) menjadi komoditi andalan pada waktu itu.
Emas yang sangat banyak ditemukan di sepanjang aliran Sungai Batanghari menjadi populer di kalangan pedagang asing yang kemudian menberi nama “Swarnabhumi” atau “Swarnadwipa” yang berarti pulau emas. Kemajuan Jambi pada masa klasik terlihat dengan ditemukannya Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, yang terletak di tepi Sungai Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi.